Transaksi Akad Mudharabah (Teori, dan Contoh Praktik)

 Transaksi Akad Mudharabah merupakan contoh praktik akad yang cukup terkenal dari semula konsep ekonomi syariah diterapkan dan dikenalkan kepada lembaga keuangan Indonesia. Sehingga Transaksi Akad Mudharabah sempat menjadi ciri khas perbankan syariah masa awal dulu.

A.    Pengertian Mudharabah                                                                                                           

    Mudharabah[1] berasal dari kata ضرب yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.[2] Secara terminologis, pengertian mudharabah adalah sebagai berikut: Ulama‟ fiqih memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang mudharabah.

             Ulama‟ Mazhab Hanafi memberikan definisi bahwa mudharabah merupakan akad perjanjian untuk bersama-sama dalam membagi keuntungan dengan lantaran modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lain.[3]

Ulama‟ Mazhab Maliki menerangkan bahwa mudharabah atau qiradh menurut syara‟ ialah akad perjanjian mewakilkan dari pihak pemilik modal kepada lainnya untuk meniagakannya secara khusus pada emas dan perak yang telah dicetak dengan cetakan yang sah untuk tukar menukar kebutuhan hidup. Pemilik modal secara segera memberikan kepada pihak penerima sejumlah modal yang ia kehendaki untuk [4] 

Ulama‟ Mazhab Hambali menjelaskan bahwa mudharabah atau kerjasama perniagaan adalah suatu pernyataan tentang pemilik modal menyerahkan sejumlah modal tertentu dari hartanya kepada orang yang meniagakannya dengan imbalan bagian tertentu dari keuntungannya.[5]

            

             Dan Ulama‟ Mazhab Syafi‟i menerangkan bahwa mudharabah atau qiradh ialah suatu perjanjian kerjasama yang menghendaki agar seseorang menyerahkan modal kepada orang lain agar ia melakukan niaga dengannya dan masing-masing pihak akan memperoleh keuntungan dengan beberapa persyaratan yang ditentukan.[6]

             Menurut Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul “Fiqh alSunnah”, menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan.[7] 

Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam bukunya yang berjudul “Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah”, menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad antara dua orang yang berisi kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif dan keuntungan usaha itu diberikan sebagian kepada pemilik modal dalam jumlah tertentu dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama.[8]

             Menurut The New Encyclopedia of Islam: Mudarabah is a business partnership where one partner puts up the capital and the other puts up the labour.[9] Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak yang satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan seluruh modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yaitu pengelola usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan.

   Sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola usaha. Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat Muslim sejak zaman Nabi, ketika itu Nabi melakukan akad mudharabah dengan Khadijah.[10]Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, praktek mudharabah dibolehkan, baik menurut al-Qur‟an11, Sunnah12 maupun Ijma‟13 .

 

B.    Dasar Hukum Mudharabah

             Secara umum, dasar hukum mudharabah lebih mencerminkan pada anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak pada dasar hukum mudaharabah sebagai berikut: Dalam praktik mudharabah antara Nabi dan Khadijah, saat itu khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi.

              Dalam kasus ini, Khadijah berperan sebagai shaḥibul maal, sedangkan Nabi berperan sebagai mudharib. [11]Menurut al-Qur‟an lihat misalnya dalam QS. (73:20).[12]Menurut Sunnah diantaranya hadits Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi mengakui syaratsyarat mudharabah yang diterapkan Al- „Abbas bin Abdul Muthallib kepada mudharib.[13] Menurut Ijma‟ karena sistem ini sudah dikenal sejak Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktikkannya dan tidak ada yang mengingkarinya.

1)    al-Qur‟an Dan dari orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…” (al- Muzzammil:20)[14] Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surat alMuzammil: 20 di atas adalah kata yadribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan uasaha.

             Selain itu, dalam QS. al-Jumu‟ah: 10 dan QS. al-Baqarah: 198 dan juga mendorong umat Muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha atau mencari karunia Allah yang tersebar di bumi. “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. al-Jumu‟ah: 10)[15] Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.(al-Baqarah:198).[16] 

             2) al-Hadits اخلّّلل حّدثنا بشر بن ثابت الب ّ ّ حّد ار حّدثنا نصر بن القاسم ثنا احلسن بن علي ز ّمحن بن داود عن صاحل بن عن عبد الر صهيب عن ابيو قال قال رسول اللّو رسول ّ الربكة البيع اىل اجل وادلقارضة واخّلط الرب ّ اللّو عليو وسلّم ثّلث فيهن ّ اللّو صل ّشعري للبيت الللبيع بال )رواه ابن ماجو([17]

             “Diceritakan kepada kami Hasan bin Ali al-Khallal, diceritakan kepada kami Bisri bin Tsabit al-Bazzar, diceritakan kepada kami Nashr bin al-Qasim dari Abdurrahman bin Daud, dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)

             2) Berdasarkan hadits diatas, dapat di pahami bahwa praktek karjasama mudharabah di perbolehkan dalam Islam dan terkandung keberkahan atau kemanfaatan di dalamnya.

              3) Ijma’ Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak seorangpun mengingkari mereka. Karenannya, hal itu dipandang sebagai ijma‟.18

              4) Qiyas Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah (mengambil upah untuk menyiram tanaman).

             Ditinjau dari segi kebutuhan manusia, karena sebagian orang ada yang kaya [18].

 dan ada yang miskin, terkadang sebagian orang memiliki harta tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga orang yang tidak mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.[19]

  

C.    Rukun dan Syarat Mudharabah

              Untuk menjamin kebaikan dan kemaslahatan antara para pihak yang berakad maka kedua belah pihak harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku. Dengan adanya ketentuan yang berlaku diharapakan antara pihak yang berakad dapat memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan tersebut dibahas dalam rukun[20] dan syarat[21] mudharabah. Adapun rukun dan syarat mudharabah adalah sebagai berikut:.

1) Pelaku (Pemilik Modal dan Pelaksana Usaha); Dalam akad mudharabah, minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). [22]Pelaku dalam akad mudharabah harus cakap hukum.

 2) Objek Mudharabah (Modal dan Kerja); Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya.

              Sedangkan kerja yang diserahkan dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.[23] Para fuqaha telah sepakat bahwa tidak boleh mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun. Ulama‟ Syafi‟i dan Maliki melarang hal itu, karena merusak akad.

             Para fuqaha juga tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Modal harus berbentuk uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran

harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah.

 

             Namun, para ulama‟ mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul maal. [24]

3)    Persetujuan Kedua Belah Pihak (Ijab Qabul);

       Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu: pertama, Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki; kedua, Tawafud, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul; ketiga, Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.[25] Persetujuan kedua belah merupakan konsekuensi dari prinsip an-taradhin minkum (sama-sama rela). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana. Sedangkan pelaksana usaha setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.

 4) Nisbah

             Keuntungan Nisbah keuntungan merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah. nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang ber-mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul maal berhak mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.[26]Salah satu segi penting dalam mudharabah adalah pembagian keuntungan diantara dua pihak harus secara proporsional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada pemilik modal (shahibul maal).[27] Dengan demikian, secara teknisnya skema penerapan akad mudharabah pada produk penghimpunan dana seperti produk deposito di BMT adalah yang berperan sebagai pemilik modal yaitu nasabah atau deposan.

              Sedangkan yang berperan sebagai pengelola usaha yaitu pihak BMT. Keuntungan usaha harus dinyatakan dalam bentuk nisbah bagi hasil yang dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Namun, jika mengalami kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal sepenuhnya selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola usaha. Apabila kerugian itu diakibatkan karena kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

  

D.    Macam-macam Mudharabah dan Contoh Aplikasinya

              Pada Perbankan Syariah Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak yaitu shahibul maal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada mudharib. [28] Kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana dalam mengaplikasikan akad mudharabah, yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account atau URIA) dan mudharabah muqayyadah (Restricted Investment Account atau RIA). [29]Berikut adalah penjelasan macam-macam mudharabah:

 1) Mudharabah Mutlaqah (Unrestricted Investment Account atau URIA) Mudharabah mutlaqah (investasi tidak terikat) yaitu pihak pengusaha diberi kuasa penuh untuk menjalankan proyek tanpa larangan atau gangguan apapun urusan yang berkaitan dengan proyek itu dan tidak terkait dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan dan pelanggan. Investasi tidak terkait ini pada Bank Syari‟ah diaplikasikan pada produk tabungan dan deposito.[30] Dari penerapan mudharabah muthlaqah ini dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis produk penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Adapun ketentuan umum dalam produk ini adalah sebagai berikut: [31]

              a) Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari [32] penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

             b) Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.

             c) Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenakan mengalami saldo negatif.                      d) Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.

             e) Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari‟ah.

2) Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment Account atau RIA) Jenis mudharabah Muqayyadah ini dibedakan menjadi dua yaitu:

              a) Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu [33]yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya, disyaratkan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan untuk nasabah tertentu.[34]

              Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:

i.               Pemilik dana wajib menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.

ii.             Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

iii.            Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya.

iv.            Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.

 

                         b) Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet merupakan jenis mudharabah yang penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.

Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:

i.               Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.

ii.              Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.

iii.            Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.

             Dengan demikian dapat diketahui bahwa mudharabah terdiri dari dua jenis yaitu yang bersifat tidak terbatas (mutlaqah) dan yang bersifat terbatas (muqayyad). Pada jenis mudharabah yang pertama, pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk menginvestasikan atau memutar uangnya. Pada jenis mudharabah yang kedua, pemilik dana memberi batasan kepada mudharib. Diantara batasan itu misalnya jenis investasi, tempat investasi dan sebagainya.

 

E.    Ketentuan Nisbah Keuntungan dan Perhitungan Bagi Hasil Deposito Mudharabah

             Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi. Inti mekanisme bagi hasil pada dasarnya terletak pada kerjasama yang baik antara pemilik modal (surplus spending unit) dan pengelola usaha (deficit spending unit). Kerjasama (partnership) merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi, yaitu: produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis atau ekonomi Islam adalah qirad atau mudharabah.[35]

             Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi dan pembungaan uang. Dalam investasi usaha yang dilakukan mengandung resiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian.                                     Dengan demikian, perolehan kembalinya (return) tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan return tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Inilah yang di sebut bagi hasil. Sebaliknya pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki resiko, karena adanya perolehan kembalinya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap karena dihitung berdasarkan persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal.[36]

             Sebagaimana penuturan Ibnu Arabi bahwa transaksi ekonomi tanpa unsur ‘iwadh sama dengan riba. ‘Iwadh dapat dipahamis sebagai equivalent countervalue yang berupa resiko (ghurmi), kerja dan usaha (kasb) dan tangung jawab (dhaman).[37]              Menurut Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. ‘Iwadh adalah transaksi bisnis yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil seperti proyek bagi hasil.

 

             Dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.[38] Dengan demikian, jika usaha mengalami resiko maka dalam konsep bagi hasil kedua belah pihak akan bersama-sama menanggung resiko.

             Disatu pihak pemilik modal menanggung kerugian modalnya, di pihak lain pelaksana proyek akan mengalami kerugian tenaga yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain, masing-masing pihak yang melakukan kerjasama dalam sistem bagi hasil berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan.

              Hal demikian menunjukkan keadilan dalam distribusi pendapatan. Berikut adalah perbedaan antara bunga dan bagi hasil:[39]

                         a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu                              untung. Sedangkan penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada       waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi;

             b. Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang                            dipinjamkan. Sedangkan besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah                   keuntungan yang diperoleh;

             c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah               proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Sedangkan dalam              bagi hasil, jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan                          jumlah pendapatan;

              d. Eksistensi bunga diragukan. Sedangkan dalam bagi haisl tidak ada yang                 meragukan keabsahannya. Dalam menentukan besar kecilnya bagi hasil yang                diperoleh deposan, antara bank syariah dan bank konvensional memiliki                          perbedaan.

 

 Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

             a. Bank Syariah Besar kecilnya bagi hasil yang akan diterima deposan                                  bergantung pada: - Pendapatan bank syariah; - Nisbah bagi hasil antara              nasabah dan bank; - Nominal deposito nasabah; - Rata-rata saldo deposito                                    untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank; - Jangka waktu deposito                                 karena berpengaruh pada lamanya investasi.

              b. Bank Konvensional Besar kecilnya bunga yang akan diterima deposan                                  bergantung pada: - Jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya    investasi; - Tingkat bunga yang berlaku; - Nominal deposito. - Jangka waktu               deposito.[40]

             Selanjutnya terkait dengan ketentuan nisbah keuntungan akad mudharabah, menurut Adiwarman A. Karim, dalam bukunya yang berjudul “Bank Syariah: Analisis Fiqh dan Keuangan “, menjelaskan bahwa ketentuan nisbah keuntungan akad mudharabah adalah sebagai berikut:

i.               Prosentase, artinya nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase, bukan dinyatakan dalam nilai nominal tertentu.[41]

ii.              Bagi untung dan bagi rugi, artinya dalam kontrak mudharabah, yang temasuk ke dalam kontrak investasi (Natural Uncertainty Contacts)[42], return dan timing cash flow tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Jika laba bisnisnya besar, maka kedua belah pihak mendapatkan bagian yang besar pula.

            Namun, jika laba bisnisnya kecil, mereka mendapatkan bagian laba yang kecil pula. Jadi, besarnya keuntungan yang diperoleh bersifat fluktuatif. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah keuntungan ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal tertentu.

             Jika bisnis dalam akad mudharabah mengalami kerugian dan kerugian yang terjadi hanya murni diakibatkan oleh resiko bisnis (business risk) bukan akibat kelalaian maupun kecurangan mudharib, maka pembagian kerugian bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak.

iii.            Menentukan besarnya nisbah, artinya besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah muncul sebagai hasil tawar menawar antara shahibul maal dan mudharib.

             Dengan demikian, angka nisbah bervariasi, bisa 50:50, 60:40, 70:30, 80:20, dan lain-lain. Namun, para ahli fiqh sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak diperbolehkan. Dalam praktiknya, di perbankan modern, tawar menawar nisbah antara pemilik modal dengan bank syariah hanya terjadi bagi deposan dengan jumlah besar. Kondisi ini disebut sebagai spesial nisbah. Sedangkan untuk deposan kecil, biasanya tawar menawar tidak terjadi.

            Bank syariah hanya akan mencantumkan nisbah yang ditawarkan, setelah itu deposan boleh setuju atau tidak. Bila deposan setuju maka ia akan melanjutkan menabung. Bila ia tidak setuju, maka deposan dipersilakan untuk mencari bank syariah lain yang menawarkan nisbah yang lebih menarik.[43]

 Berikut ini contoh sederhana perhitungan bagi hasil produk deposito berjangka:

Bapak A memiliki deposito Rp.10.000.000, jangka waktu yang dipilih adalah 1 bulan (1 Desember s/d 1 Januari) dan nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank 57% : 43%. Jika keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito 1 bulan per 31 Desember adalah Rp. 20.000.000,00 dan rata-rata deposito jangka waktu 1 bulan adalah Rp. 950.000.000,00 maka keuntungan yang akan diperoleh Bapak A adalah: (Rp.10.000.000,00 / Rp.950.000.000,00) x Rp. 20.000.000,00 x 57% = Rp. 120.000,00,- Jadi bagi hasil yang akan diterima oleh Bapak A adalah Rp.120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah).[44] Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh deposan tergantung pada pendapatan bank, nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank, jumlah nominal deposito nasabah, rata-rata deposito untuk jangka waktu yang sama pada bank dan jangka waktu deposito yang dipilih nasabah. Jadi tidak ada perolehan kembalian (return) yang bersifat pasti atau tetap.



[1]Mudharabah disebut juga “qiradh” atau “muqaradah” karena mudharabah adalah pemberian modal niaga dari ṣaḥibul maal kepada mudharib, maka para ulama menyamakan mudharabah dengan qiradh. Dalam Fiqh al- Sunnah juga disebutkan bahwa mudharabah bisa dinamakan dengan qiradh yang artinya memotong, karena pemilik modal memotong sebagian hartanya agar diperdagangkan dengan memperoleh sebagian keuntungan. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan masyarakat hijaz.

 

[2] Syafi‟i Antonio, op.cit., hlm. 95.

[3] Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz III, Beirut: Dar al-Qalam, t.th, hlm. 35.

[4] Ibid., hlm. 37.

[5] Ibid., hlm.40-41                                                        

[6] Ibid., hlm. 42.

 

[7] Sayyid, Sabiq, Fiqih Sunnah, diterjemahkan oleh Abdurrahim dan Masrukhin dalam “Fiqh al-Sunnah”, Juz 3, Beirut: Darul-Falah al-Arabiyah, t.th,.hlm. 297.

[8] Abdurrahman al-Jaziri, op.cit., t.th, hlm. 34

[9] Huston Smith, The new Encyclopedia of Islam, North America: Altamira Press, Revised Edition, 2001, hlm. 319.


[10] dan QS. al-Baqarah: 198

3

[11] Menurut al-Qur‟an lihat misalnya dalam QS. (73:20)

[12] Menurut Sunnah diantaranya hadits Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi mengakui syaratsyarat mudharabah yang diterapkan Al- „Abbas bin Abdul Muthallib kepada mudharib.

[13] Menurut Ijma‟ karena sistem ini sudah dikenal sejak Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktikkannya dan tidak ada yang mengingkarinya.

[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Syaamil Qur‟an, 2012, hlm. 575.

[15] Ibid, hlm. 555.

 

 


[16] Ibid, hlm. 31.

 

[17] Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 3, Beirut: Darul-Fikr, 1992, hlm. 768.

[18] Wahbah Zuhaily, Fiqih Islam 7, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al- Kattani, dkk dalam “al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu”, Damaskus, Darul Fikr, jilid IV, 1989.hlm. 838.

5

[19] Ibid

6

[20] Rukun adalah: ّشيئ ووجوده حبيث بعد جزء داخّل يف ماىيتو ما يكون بو قوام ال “Sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu sedangkan ia bersifat internal (dakhily) dari sesuatu yang ditegakkannya”. (Lihat: Musthafa Ahmad al-Zarqa‟, al-Fiqh al-Islami fii Tsaubihi al-Jadid: al-Madkhal al-Fiqh al-‘Aam, Damaskus: Mathbaa Jamiah Dimasq, 1959, hlm. 300-304).

[21] Syarat adalah: امر ربط بو غريه عدما ال وجودا وىو خارج عن ما ىيتو ّ كل “Segala sesuatu yang dikaitkan padanya sesuatu yang lain, tidak ada padanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijy)”. (Lihat: Musthafa Ahmad al-Zarqa‟,op.cit., hal. 300-304).

[22] Adiwarman, A. Karim, op.cit., hlm. 205-208

[23] Ibid.


[24] Ibid.

[25] Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Fakultas hukum Universitas Indonesia, 2006, hlm .48.

[26] Adiwarman, A. Karim, loc.cit.


[27] Mervyn K. Lewis dan Lativa M. Algaoud, Perbankan Syariah, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dari “Islamic Banking”, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004, hlm. 66.


[28] Hal ini karena ciri khas mudharabah jaman dahulu adalah berdasarkan hubungan langsung dan personal yang melibatkan kepercayaan atau amanah yang tinggi.

[29] Adiwarman A. Karim, op.cit., hlm. 352.

[30] Wiroso, Penghimpunan Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, Jakarta: PT Grasindo 2005, hlm. 35.

[31] Adiwarman A. Karim, op.cit., hlm. 98-99.

[32] Ibid.


[33] Ibid, hlm. 99.

[34] Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta : Ekonisia 2004, hlm. 60


[35] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 26.

[36] Muhammad Syafi‟i Antonio, op.cit., hlm. 59-60.

[37] Ascarya, op.cit., hlm. 28.


[38] Muhammad Syafi‟i Antonio, op.cit., hlm. 38-39.

[39] Ibid, hlm. 61.


[40] Ibid, hlm. 159.

[41] Adiwarman A. Karim, op.cit., hlm. 206.

[42] Natural Uncertainty Contracts adalah suatu kontrak yang berkarakter tidak pasti. Dikatakan demikian karena kotrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return) , baik dari segi jumlah (amount) maupun waktunya (timing).


[43] 43 Ibid, hlm. 207.


[44] Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm.57.



0 Response to "Transaksi Akad Mudharabah (Teori, dan Contoh Praktik)"

Post a Comment