Akad Murabahah Teori Dan Contoh Praktik

            Akad Murabahah merupakan salah satu contoh praktik akad yang banyak dicari oleh para pegiat teori ekonomi syariah. Akad Murabahah Teori dan Contoh Praktik akan kita bahas secara mendalam pada artikel ini. Sebab Akad Murabahah Teori dan Contoh Praktik adalah akad yang cukup laris diaplikasikan oleh masyarakat.

Pendahuluan Akad Murabahah Toeri dan Contoh Praktik

Perjanjian atau akad mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan dasar dari kesekian banyak aktifitas keseharian kita.[1] Akad memfasilitasi setiap orang memenuhi dalam kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri dan tanpa bantuan jasa orang lain kerenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Akad murabahah, adalah salah satu akad yang sering dimunculkan dalam perbankan syariah untuk kegiatan perusahaan dalam pembiayaan syariah. akad ini sering ditawarkan oleh pihak bank kepada nasabah dan sering juga masyarakat menggunakannya.
Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati (lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah).
Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal (pemilik modal) dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur (lihat Pasal 20 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah).
Hal ini terkait dengan perjanjian pada akad murabahah, perjanjian pembiayaan pada nomor 8854/MBA/ II/ 2010 pada PT BPR Syariah Jl. Latan 131 Yogyakarta.

     Bagaimana pelaksanaan akad/ perjanjian Murabahah di PT BPR Syariah pada nomor 8854/MBA/II/2010?

Akad Pembiayaan Murabahah

A.      Definisi Perjanjian/ Akad Murabahah

Menurut hukum Islam perjanjian berasal dari kata aqad ( عقد ) yang secara etimologi berarti “menyimpulkan”.
جمع طرفي حبلین و یشذّ احدھما بالأخر حتى یتصلا فیصبحا كقطعة واحدة
Artinya: “mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda”.[2]
Akad berasal dari kata al- ‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt),[3]antara beberapa pihak dalam hal tertentu. Akad ini merupakan pertemuan antara para pihak, yang dimana salah satu pihak mengajukan penawaran, dalam bentuk pernyataan kehendak masing-masing pihak yang tidak berhubungan satu sama lain. Tujuannya menimbulkan akibat hukum pada objek yang diakadkan oleh kedua belah pihak.
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat diartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syari’ah.[4]Perjanjian atau perikatan secara etimologi perjanjian atau perikatan adalah ikatan. Sedangkan menurut terminology perjanjian atau perikatan adalah suatu perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa lain.[5]
Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan bahkan untuk menyebut kontrak (contract).[6]Kontrak merupakan suatu perjanjian/ perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.[7]Istilah kontrak ini berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract. Dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenkomst (perjanjian).
Hukum kontrak dalam Ensiklopedi,[8]mengkajinya dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan kajiannya dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum. Sepertinya, definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan persetujuan. Sementara, antaranya keduanya adalah berbeda. Kontrak (perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan salah satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.[9]
Menurut Salim hukum kontrak adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi ini didasarkan pada pendapat Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontraktual semata-mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan sebelumnya. Perbuatan sebelumnya mencakup tahap pracontractual dan postcontractual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan, sedangkan post contractual adalah pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Hak merupakan sebuah kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.[10]
Dengan demikian, maka bisa disimpulkan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak adalah sebagai berikut:
1.      Adanya kaidah hukum
2.      Subjek hukum
3.      Adanya prestasi
4.      Kata sepakat
5.      Akibat hukum[11]
Perjanjian atau kontrak ini diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pasal tersebut berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Definisi perjanjian dalam pasal 1313 ini adalah:
1.      Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian
2.      Tidak tampak asas konsensualisme, dan
3.      Bersifat dualisme
Jadi, perikatan yang dilakukan dengan suatu kontrak, tidak lagi hanya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan, tetapi sudah merupakan perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi para pihak. Hubungan hukum yang terjadi karena adanya kontrak (perjanjian tertulis) dikatakan perikatan karena kontrak mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya.

B.       Murabahah
Murabahah merupakan salah satu bentuk menghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha yang bersifat produktif maupun yang bersifat konsumtif. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dan tidak terlalu memberatkan calon pembeli.[12]
Istilah buku himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Murabahahadalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Jual beli ini berbeda dengan jual beli musawwamah (tawar menawar). Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian penjual diketahui oleh pembeli dan keuntungan penjual pun diberitahukan kepada pembeli, sedangkan musawwamah adalah transaksi yang terlaksana antara penjual dengan pembeli dengan suatu harga tanpa melihat harga asli barang. Murabahahmerupakan bagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini mendominasi pendapatan Bank dari produk-produk yang ada di semua Bank Islam.[13]
Adapun dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), murabahah diartikan sebagai pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.[14]
Pengertian Murabahah secara lafdzi berasal dari masdar ribh un (keuntungan). Murabahah adalah masdar dari rabaha yurabihu murabahatan(memberi keuntungan). Sedangkan pengertian Murabahah secara istilah adalah sebagai berikut:
1.      Murabahah adalah persetujuan jual beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan pembayaran yang ditangguhkan 1 bulan sampai 1 tahun.
2.      Murabahah adalah jual beli barang dengan harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
3.      Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak Bank dan nasabah.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak Bank dengan nasabah. Dalam Murabahah, penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu. Pada perjanjian Murabahah, bank syariah membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dan menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga jual sebesar harga pokok dengan ditambah keuntungan yang disepakati antara bank dengan calon nasabah dan pembayaran dapat dilakukan dengan cara ditangguhkan. Atau dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara BPR Islam dengan nasabah, dimana BPR Islam menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan oleh nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual Bank (harga beli Bank plus margin keuntungan pada saat jatuh tempo).
1.      Pengertian dalam praktek
Murabahah dalam praktik adalah apa yang diistilahkan dengan bai’ almurabahah liamir bisy-syira, yaitu permintaan seseorang atau pembeli terhadp orang lain untuk memberkan barang dengan ciri ciri yang ditentukan. Bentuk ini dinamakan Murabahah permintaan atau pesanan pembeli (MPP), ini merupakan kesepakatan dari transaksi jual beli barang dan permintaan dianggap bersifat mengikat bagi pemesan. Sedangkan besarnya keuntungan, harga jual, penyerahan barang, dan cara pembayaran dalam MPP ini ditentukan atas kesepakatan para pihak.[15]
Dalam jual beli MPP ini ada tiga pihak yang terlibat, yaitu A,B, dan C. A meminta kepada B untuk membelikan barang untuk keperluan A. B tidak memiliki barang-barang tersebut tetapi berjanji untuk membelikannya dari pihak lain yaitu C. B adalah sebagai perantara dan  penjual, dan dalam perjanjian MPP hubungan hukum terjadi antara A dan B. Bentuk perjanjian murabahah diartikan sebagai menjual komoditi dengan harga yang ditentukan penjual B ditambahkan dengan keuntungan untuk B dan dibeli oleh A.[16]
Menurut Muhammad Sholahuddin dalam bukunya kamus istilah, keuangan, & bisnis syariah Murabahah ialah menjual barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membelinya dengan harga yang lebih sebagai laba. Dalam hal ini, bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungan. [17]
Dalam murabahah, penjual harus menyebutkan keuntungan. Transaksi seperti ini telah dipraktekkan dalam masa sebelum peradaban Islam. Menurut Taqi Usmani (2002: 95-96), “Murabahah in its original Islamic connotation is simply sale”. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang membedakan Murabahah dengan jenis jual beli yang lain adalah dalam Murabahah si penjual harus tegas menjelaskan kepada si pembeli berapa besar harga kulakannya dan berapa besar keuntungan yang ditambahkannya. Karenanya, Murabahah adalah “cost-plus” concept. Dalam pengertian aslinya terkait fiqh Islam, Murabahah tidak ada hubungannya dengan “pembiayaan”. Murabahah adalah salah satu jenis jual beli, yang mana penjual menyebutkan berapa besar harga pokok barang yang dia beli, dan kemudian menambahkan sejumlah labanya. Cara pembayaran dalam Murabahah, dapat secara tunai atau tangguh/tunda tergantung pada para pihak yang terkait. Zuhayli (2003: 354-355) menegaskan bahwa Murabahah “cost-plus sale”, yang mana pembeli harus mengetahui harga pembelian barang, dan informasi ini merupakan syarat fundamental berlakunya Murabahah. Selain itu, juga ditegaskan bahwa si penjual sudah memiliki barang yang akan diperjualbelikan, dan jika penjual tidak memiliki barang, maka jual beli Murabahah menjadi tidak sah (batal). Sementara itu, menurut Ashraf Usmani (2002: 118): “Murabahah adalah salah satu dari berbagai jenis transaksi jual beli di mana penjual secara tegas menyebutkan harga beli/kulakan/perolehan (cost) dari komoditas yang dijual, dan menjualnya kepada pihak lain dengan menambahkan keuntungan. Dengan demikian, Murabahah bukanlah pinjaman yang berbunga (Murabahah is not a loan given on interest), tetapi adalah transaksi jual beli komoditas dengan harga tunai/kredit/tangguh/tunda (it s a sale of commodity for cash/deffered price).”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengertian Murabahah adalah: “jual beli yang mana si penjual berkewajiban menyampaikan harga kulakannya kepada si pembeli ditambah keuntungan yang telah disepakati antara si penjual dengan si pembeli. Negosiasi atau tawar menawar dalam jual beli Murabahah terjadi bukan pada “harga jual beli barang” tetapi lebih pada besarnya keuntungan yang akan disepakati para pihak.[18]
2.      Landasan Hukum
Murabahah ini merupakan salah satu bentuk jual beli, mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum murabahah sama seperti dasar hukum jual beli pada umumnya. [19]Diantara dasar hukum yang digunakan jumhur ulama adalah:
a.       Al-Qur’an
Q.S. An-Nisa (4): 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b.      Hadits
Hadits Rasul yang sering digunakan terkait dengan murabahah, salah satunya ialah:
اِنَّ انَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ ، وَالْمُقَارَضَةُ ، وَأَخْلاَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ  لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka , ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai, muqorodha, dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual (HR. Ibnu Majah dari Shuhayb)”
c.       Ijma’
Mayoritas ulama sepakat mengatakan bahwa dibolehkan jual beli dengan cara murabahah.[20]
d.      Kaidah fikih
الأَ صْلُ فِي المُعَا مَلَةِ الإبَا حَةُ إلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِ يْمِهَا
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”[21]


e.       Undang-undang, Fatwa, dan aturan lainnya
Untuk aplikasi ruang lingkup Indonesia, berlaku fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.[22]
Pertama: Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1)      Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2)      Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3)      Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang         telah disepakati kualifikasinya.
4)      Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank     sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5)      Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6)      Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya.Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu  secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7)      Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8)      Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan         nasabah.
9)      Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang       dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah    barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua: Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1)      Nasabah  mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu  barang atau aset kepada bank.
2)      Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih           dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3)      Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang        telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4)      Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5)      Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6)      Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7)      Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
a)      jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b)      jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga: Jaminan dalam Murabahah:
1)      Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 
2)      Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat: Utang dalam Murabahah:
1)        Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap      berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2)        Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir,             ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3)        Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap    harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima: Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1)      Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2)      Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika     salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam: Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
Ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahahdi perbankan syariah diatur berdasarkan UU No. 21 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008. Kemudian ketentuan tentang murabahah juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam buku II tentang akad.
1.      Rukun dan Syarat
Rukun Murabahah:[23]
a.       Penjual (al-ba’i)
b.      Pembeli (al-musytari’)
c.       Barang dibeli (al-mabi’)
d.      Harga (al-tsaman)
e.       Sighat (ijab-qabul)
Syarat Murabahah:[24]
2.      Mengetahui Harga pokok
Dalam jual beli Murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok atau asal, karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli. Syarat mengetahui harga pokok atau harga asal ini juga diperuntukkan bagi jual bel at-tauliyyah dan al-wadhi’ah.
3.      Mengetahui Keuntungan
Hendaknya margin keuntungan juga diketahui ole si pembeli, karena margin keuntungan tersebut termasuk bagian dari harta yang harus diserahkan oleh pihak pembeli kepada pihak penjual. Sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
a.         Harga pokok
Harga pokok merupakan suatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan penjual yang pertama atau setelahnya. Oleh karena itu, harga pokok ini biasanya ditentukan oleh nilai, seperti nilai mata uang.
Sedangkan menurut M. Nurianto al-Arif dalam bukunya lembaga keuangan syariah, syarat murabahah lebih diperinci lagi menjadi lima, yakni:
1)      Penjual harus memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2)      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3)      Kontrak harus bebas dari riba
4)      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
5)      Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Jika syarat (1), (4), atau (5) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
1)      Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
2)      Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang   yang dijual
3)      Membatalkan kontrak[25]
            Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut (SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 maret 2008):[26]
1)      Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang;
2)      Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya
3)      Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakterisitik produk pembiayaan atas dasar akad murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah
4)      Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad murabahah dari nasabah antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition);
5)      Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya
6)      Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan  penyediaan barang yang dipesan nasabah
7)      Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan; 
8)      Bank   dan   nasabah   wajib   menuangkan   kesepakatan  dalam bentuk  perjanjian  tertulis  berupa  Akad  Pembiayaan  atas  dasar  Murabahah
9)      Jangka  waktu  pembayaran  harga  barang  oleh  nasabah  kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.

4.      Implementasi Murabahah dalam perbankan syariah
praktik skema akad murabahah di lembaga keuangan syariah

Dalam perspektif perbankan syariah, murabahahdiartikan dengan suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah  dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah dan akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank ditambah margin keuntungan) pada waktu yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dengan nasabah, dimana bank membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan  sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Secara legal ke-Indonesi-an, murabahahdapat diartikan dengan akad pembiayaan untuk pengadaan barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan angsuran dengan harga lebih sebagai laba.[27]Namun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bank hanya boleh bergerak dalam sektor keuangan dan tidak boleh dalam sektor riil. Oleh karena itu, Implementasi murabahah dalam perbankan syariah itu perlu dilakukan modifikasi. Agar bank syariah tidak tergiring pada sektor riil tersebut.
Maka mekanisme operasional murabahah, Antara bank dan pihak ketiga tidak terjadi serah terima barang secara langsung. Barang yang diperjual belikan langsung diserahkan oleh pihak ketiga kepada nasabah tanpa melalui bank terlebih dahulu.[28]Sebelum melakukan pembelian barang kepada pihak ketiga, LKS ini dapat meminta urbun sebagai uang muka pembelian kepada nasabah apabila kedua belah pihak ini bersepakat. Apabila akad murabahah dilaksanakan, urbun tersebut menjadi bagian pembayaran piutang murabahah. Apabila batal, yaitu tidak terjadi transaksi murabahah ,maka urbun dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi kerugian yang telah ditanggung LKS. Jika urbun itu lebih kecil dari kerugian LKS, maka LKS bisa meminta tambahan dari nasabah.[29]
Namun, apabila mekanisme ini hendak dilaksanakan diperbankan syariah, maka diperlukan instrumen akad pelengkap, yakni akad wadhi’ah atau akad wakalah. Akad wadhi’ah dilaksanakan ketika bank telah melakukan transaksi jual beli dengan pihak ketiga, bank menitipkan barang yang sudah dibelinya kepada pihak ketiga. Pihak yang mengambil barang kepada pihak ketiga dilakukan oleh nasabah. Sedangkan wakalah dilaksanakan ketika bank mewakilkan kepada nasabah untuk mengambil barang yang berada di pihak ketiga.
Apabila sudah ada serah terima barang, maka kewajiban nasabah adalah melakukan pembayaran sesuai kesepakatan baik secara angsuran atau diakhir secara lumpsum. Manakala nasabah ingin mempercepat cicilan, atau melunasi piutangnya sebelum jatuh tempo, maka boleh nasabah. Nasabah yang melakukan pembayaran lebih cepat dari waktu yang disepakati, LKS dapat memberikan potongan pelunasan sesuai kebijakan dan pertimbangan.[30]Oleh karena diserahkan kepada kebijakan dan pertimbangan LKS, maka berkaitan dengan potongan pelunasan dalam murabahah tidak perlu dimasukkan dalam akad.[31]
Dengan kata lain mengimplementasikan murabahah diperbankan syariah dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama dilakukan akad murabahah antara perbankan syariah dan pihak ke-3 (supplier), dimana pihak-3 bertindak sebagai penjual dan bank syariah sebagai pembeli. Setelah itu dilakukan akad wadhi’ah anatara bank syariah dengan pihak ke-3, dimana bank sebagai rab al-maal atau muwadhi’ dan pihak ketiga sebagai wadi’. Setelah itu, kemudian dilakukan wakalah antara bank syariah dan nasabah, dimana bank syariah bertindak sebagai muwakil dan nasabah sebagai wakil.[32]
Dalam implementasinya murabahah ini dapat dipilah menjadi dua jenis yaitu murabahah dengan pesanan dan murabahah tanpa pesanan. Dalam pelaksanaan murabahah berdasarkan pesanan, lembaga keuangan syariah sebagai penjual (bai’) melakukan pembelian barang setela ada pesanan dari konsumen sebagai pembeli (musytari’). murabahah ini bersifat mengikat pembeli atau pihakyang berutanguntuk membeli barang yang dipesannya. Sedangkan dalam murabahah tanpa pesanan, lembaga keuangan syariah atau perbankan sebagai penjual (bai’) menyediakan barang yang kemudian dibeli oleh nasabah. Murabahah dengan tanpa pesanan ini tidak mengikat konsumen sebagai pembeli dan dapat membatalkan pesanannya.[33]
C.      Analisis Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Nomor 8854/MBA/II/2010
Akad pembiayaan murabahah yang di buat pada hari rabu tanggal 24 bulan februari tahun 2010 pukul 10.30. pelaksanaan akad ini di berlangsung di lakukan oleh tuan A sarjana ekonomi, Direktur Utama PT BANK PERKREDITAN RAKYAT bertempat tinggal di jalan Kenari 44, Rukun Tetangga 010, Rukun Warga 003, kelurahan Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, kota Yogyakarta. Dalam keterangannya bertindak dalam kedudukannya tersebut, mewakili direksi perseroan terbatas PT. Bank di lakukan di wilayah kabupaten bantul yang anggaran Dasarnya di buat dihadapan MU sarjana hukum, notaris di Yogyakarta, tertanggal 24 februari 1993 di bawah nomor 33 dan diperbaiki dengan akta tertanggal 15 Mei 1993 nomor C2-4457.HT.01.01.TH.93, dan telah dimuat dalam tambahan berita negara republik indonesia tertanggal 26 november 1993 di bawah nomor 95. Kemudian anggaran dasar tersebut telah dirubah dan dibetulkan di hadapan notaris itu juga masing-masing dengan akta tanggal 30 mei 1997, nomor 57 dan akta tanggal 15 april 1999 nomor 22, perubahan anggaran dasar tersebut telah mendapat pengesahan dengan keputusan mentri kehakiman dan hak asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 9 oktober 2001 nomor C-11068 HT.01.04.th. 2001, yang telah di muat dalam tambahan berita negara Republik Indonesi tertanggal 28 Desember 2004 dibawah nomor 104, yang kemudian angggaran dasar tersebut telah dirubah beberapa kali dengan akta yang di buat di hadapan direktur sarjana hukum.
Dalam akad pembiayaan ini terdapat beberapa ketentuan pasal-pasal yaitu pasal 1 sampai dengan pasal 11. Yang mana pasal tersebut pasal 1 tentang pembiayaan dan penggunaannya, pasal 2 tentang jangka waktu angsuran dan biaya-biaya, pasal 3 tentang pengutamaan pembayaran, pasal 4 syarat-syarat realisasi pembiayaan, pasal 5 peristiwa cidera janji, pasal 6 tentang pernyataan dan jaminan, pasal 7 tentang pengawasan. Pasal 8 ketentuan tambahan, pasal 9 tentang keterpisahan, pasal 10 penyelesaian perselisihan, pasal 11 penutup.
Dalam akad perjanjian pembiayaan terdapat adendum akad murabahah no 012/ADD/V/2010. Adendum pertama perjanjian pembiayaan Nomor 8854/MBA/II/2010 yang di buat dan di tandatangani pada hari senin tanggal 31 bulan mei Tahun 2010. Ketentuan pertama, Direktur Utama PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, lahir di yogyakarta, tanggal 01-04-1965,Warga Negara Indonesia, Karyawan Swasta, bertempat tinggal di Muja-muju UH 2/877, Rukun tetangga 043, Rukun Warga 012, kelurahan Muja-muju, Kecamatan Umbul Harjo, Kota Yogyakarta, Pemegang kartu Tanda penduduk nomor: ........
Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam kedudukannya tersebut, mewakili direksi perseroan terbatas PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berkedudukan di wilayah kabupaten Bantul yang anggaran Dasarnya di buat dihadapan direktur sarjana hukum, notaris di yogyakarta, tertanggal 24 Februari 1993 di bawah nomor 33 dan di perbaiki dengan akta tertanggal 15 mei 1993 di bawah nomor 18, yang di buat dihadapan Notaris itu juga, anggaran dasar dan perbaikan tersebut mendapat pengesahan dengan keputusan mentri kehakiman Republik Indonesia tertanggal 10 Juni 1993 nomor C2-4457.HT.01.01.TH.93, dan telah di muat dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia tertanggal 26 November 1993 di bawah nomor 95.
Ketentuan di atas perjanjian pada akad mudharabah nomor 8854/MBAII/2010 bahwasannya seorang nasabah umur 42 tahun, karyawan swasta,  KTP Nomor beralamat karangkajeng MG III/879 RT/RW 042.011 Brontokusuman Yogyakarta, menurut keterangannya dalam melakukan perbuatan hukum yang akan disebut telah mendapatkan persetujuan dari istrinya yang bernama, istri nasabah umur 39 tahun, mengurus rumah tangga, nomor KTP 34.7112.440271.0001, bertempat tinggal serumah dengan istrinya tersebut diatas, yang selanjutnya dalam perjanjian ini disebut sebagai nasabah. Bahwa BANK dan nasabah telah setuju dan mufakat untuk menandatangani dan melaksanakan perjanjian pembiayaan sesuai dengan surat keputusan pembiayaan Nomor: 0080/pers./MBA/II/ 2010 tanggal 23 januari 2010.
Sesuai dengan pada pasal satu pada pembiayaan dan penggunaanya bank telah setuju untuk memberikan pembiayaan dengan akad murobahah (MBA) kepada nasabah sebesar Rp. 162.600.000 (seratus enam puluh dua juta enam ratus ribu rupiah) terdiri dari untuk membeli tanah dengan harga pokok 125.000.000, keuntungan 37.600.000 harga tanah yang di angsur 162.600.000.
Perjanjian atau akad dalam ketentuan ini dilihat dari segi perjanjian, perjanjian ini sudah memenuhi sesuai dengan adanya antara pihak yaitu  mana pihak pertama yaitu lembaga/bank dan pihak kedua yaitu nasabah. Antar kedua belah pihak ini mengikat yaitu saling menyambung atau menghubungkan. Namun jika dilihat dari segi rukun dan syarat yaitu Ada penjual (ba’i), Ada pembeli (musytari), Ada objek yang dijualbelikan (mabi’), Ada harga jual yang disepakati kedua belah pihak (tsaman), Akad jual beli (shigat). Dalam Perjanjian Akad Murabahah Nomor 8854/Mba/Ii/2010 Pt BPR Syariah pembiayaan ini tidak dalam bentuk pembelian barang naumu dalam pinjaman uang untuk keperluan pembelian tanah. Sedangkan dalam pembiayaan murabahah terdapat pembiayaan produktif dan konsumtif.
  Pembiayan konsumtif itu sendir ialah Secara definitif, konsumsi adalah kebutuhan individual meliputi kebutuhan baik barang maupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha. Dengan demikian yang dimaksud pembiayaan konsumtif adalah jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan diluar usaha dan umumnya bersifat perorangan. Pembiayaan komsutif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder.
Sedangkan Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi 2 hal berikut: Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan yaitu:
a)      Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi;dan
b)      Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Pemaparan diatas dengan demikan dalam Pembiayaan Akad Murabahah Nomor 8854/Mba/Ii/2010 Pt BPR Syariah sudah berbentuk kontrak yang mana tertuang dalam sebuah akad tulisan keperluan tersebut untuk pembelian tanah, dan tidak dijelakan secara rinci pembelian tanah tersebut untuk usaha atau bisnis. Dalam akad Pembiayaan Akad Murabahah Nomor 8854/Mba/Ii/2010 Pt BPR Syariah tidak dijelakan secara rinci dalam akad prjanjian tersebut, dalam akad tersebut hanya dijelaskan untuk keperluan membeli tanah dengan pembelian tanah dengan harga pokok 125.000.000,- dengan keuntungan 37.600.000,- kemudian harga tanah diangsur sebesar 162.600.000,-.
Kemudian selain itu, kalau di lihat dari apa itu murabahah yaitu jual beli Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian penjual diketahui oleh pembeli dan keuntungan penjual pun diberitahukan kepada pembeli.

Kesimpulan
Perjanjian merupakan suatu akad/ perjanjian yang mengikat menyambungkan atau menghubungkan antara kedua belah pihak yang saling berkaitan dan mengikat atau menghubungkan antar kedua belah pihak. Atau Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Perjanjian dalam murabahah adalah salah satu dari berbagai jenis transaksi jual beli di mana penjual secara tegas menyebutkan harga beli/kulakan/perolehan (cost) dari komoditas yang dijual, dan menjualnya kepada pihak lain dengan menambahkan keuntungan. Dengan demikian, Murabahah bukanlah pinjaman yang berbunga (Murabahah is not a loan given on interest), tetapi adalah transaksi jual beli komoditas dengan harga tunai/kredit/tangguh/tunda. Dalam perspektif perbankan syariah, murabahah diartikan dengan suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah  dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah dan akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank ditambah margin keuntungan) pada waktu yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, murabahahadalah perjanjian jual beli antara bank dengan nasabah, dimana bank membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan  sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Lalu, hasil dari analisis dalam perjanjian pada akad Perjanjian Pembiayaan Nomor 8854/Mba/Ii/2010 Pt Bpr Syariah adalah perjanjian pembiayaan murabahah konsuntif sebab tidak di pergunakan dalam usaha atau bisnis, melainkan untuk keperluan membeli tanah.

akad murabahah teori dan skema















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum, Jakarta: Ichtiar baru van Hoeve, 2001.
Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah, Cet. 1 Yogyakarta: UII Press, 2011.
Bank Indonesia, Petunjuk pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Lampiran daftar istilah, Agustus 2004.
M. Nurianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012, h. 150-151
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.
Pasal 1 ayat 5 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan didalam kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Sebagai dikutip dari Abdullah Saeed, Udovitch menyarankan agar murabahah itu masuk pada (commision sale) penjualan yang keuntungan berdasarkan komisi.
Muhammad Sholahuddin, Kamus istilah ekonomi, keuangan, & bisnis syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2011.
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015.
Fatwa Dsn Mui No. 04/Dsn-Mui/Iv/2000 Tentang Murabahah.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, cet. ke-1,Jakarta: Kencana, 2012.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik penyusunan Kontrak, Cetakan Pertama, Jakarta:Sinar Grafika, 2003.
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Rhedbook Publisher, 2008.
Hendi Suhendi, Fiqh Mumalah: Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyara’kah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain, cet. ke-5, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Ed. 1 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008.
http://perdaataislam.blogspot.co.id/2013/09/pengertian-pembiayaan-murabahah.html diunduh pada hari senin, 20 November 2017.






[1] Henry R Cheeseman, Busines Law, Cet. Ke 3 (New Jersey: Prentice hall: 2000), hlm. 187.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Mumalah: Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyara’kah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain, cet. ke-5, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.44.
[3] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Ed. 1 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 47.
[4]  Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, cet. ke-1, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 71.
[5] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 221.
[6] Ibid.
[7]Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah, Cet. 1 (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 79.
[8]Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum, (Jakarta: Ichtiar baru van Hoeve, 2001), hlm. 1483.
[9] Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Rhedbook Publisher, 2008), hlm.300.
[10] Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik penyusunan Kontrak, Cetakan Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 4.
[11] Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik penyusunan Kontrak, Cetakan Pertama (Jakarta:Sinar Grafika, 2003), hlm. 4.
[12]  http://perdaataislam.blogspot.co.id/2013/09/pengertian-pembiayaan-murabahah.html diunduh pada hari senin, 20 November 2017.
[13] Fatwa Dsn Mui No. 04/Dsn-Mui/Iv/2000 Tentang Murabahah
[14] Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
[15] Bank Indonesia, Petunjuk pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Lampiran daftar istilah, Agustus 2004, hlm.6.
                [16]Sebagai dikutip dari Abdullah Saeed, Udovitch menyarankan agar murabahah itu masuk pada (commision sale) penjualan yang keuntungan berdasarkan komisi.
[17]Muhammad Sholahuddin, Kamus istilah ekonomi, keuangan, & bisnis syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2011), hlm. 111.
[18]Sugeng Widodo, Moda Pembiayaan Lembaga Keuangan Islam Perspektif Aplikatif, cet. 1, (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), h. 408-410
[19] Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian  dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika.2012, h.110.
[20] Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat Maliyyah Ilamiyah Mu’ashirah), Jakarta: Gramata Publishing, 2012, h. 135
[21] H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Praktis, (Cet I, Jakarta: Kencana, 2006), h. 130.
[22] Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa keuangan Syariah, (Erlangga: 2014), h. 60-67.
[23] Fathurrahman Djamil, h.111.
[24] Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), h. 16.
[25] M. Nurianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012, h. 150-151
[26] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009, h. 115
[27] Pasal 1 ayat 5 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan didalam kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
[28] Yadi Janwari, hlm.21.
[29] Fatwa DSN No.13/DSN-MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah.
                [30] Fatwa DSN No.23/DSN-MUI/III/2002 tentang potongan pelunasan.
                [31] Fatwa DSN No.46/DSN-MUI/III/2002 tentang potongan tagihan murabahah
                [32] Yadi janwari, hlm.21.
[33] Yadi Janwari, hlm.22.

0 Response to "Akad Murabahah Teori Dan Contoh Praktik"

Post a Comment