Akad Musyarakah: Teori dan Contoh Praktik

Akad Musyarakah dari segi teori contoh praktiknya merupakan salah satu akad yang cukup tua dalam kajian fikih muamalah. Ketentuan berkaitan dengan akad Musyarakah sudah ada sejak pada era awal Islam. Transaksi Akad Musyarakah sering menjadi salah satu contoh alternatif skema transaksi akad yang digunakan masyarakat, karena memungkinkan terbentuknya kerjasama berserikat dengan porsi tanggungjawab masing-masing kemampuan sesuai dengan konteks kasus akad. 


Dan skema transaksi akad musyarakah merupakan salah satu contoh akad yang fleksibel untuk dapat dipraktikkan dalam bisnis sehari-hari. 

Dalam kesempatan ini kami akan melakukan studi kasus akad musyarakah dengan mengulas contoh praktik transaksi Akad Musyarakah berdasarkan draft kontrak transaksi akad yang kami teliti dari salah satu LKS.

Islam diturunkan ke dunia adalah sebagai rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi, maupun spiritual, yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik.

Sedangkan tugas manusia sebagai khalifah Allah adalah menjaga dan terus mengusahakan agar rahmatanlil ‘alamin dapat secara berkesinambungan dinikmati oleh seluruh manusia dan bahkan itu harus dikembangkan untuk kesejahteraan seluruh alam.

Syariat Islam merupakan tatanan hidup bagi kehidupan perorangan maupun kelompok, bahkan tatanan bagi seluruh alam semesta, ia mempunyai konsepsi dasar hukum yang sempurna dan meliputi semua permasalahan kehidupan manusia.

Salah satu bagian terpenting dari muamalat atau ekonomi dalam perspektif Islam adalah syirkah (perseroan). Transaksi perseroan tersebut mengharuskan adanya Ijab dan Qabul

Sah tidaknya transaksi perseroan tergantung kepada suatu kasus yang ditransaksikan yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengangkat mereka. Secara sederhana akad ini bisa digambarkan sebagai satu proses transaksi dimana dua orang (institusi) atau lebih menyatukan modal untuk satu usaha, dengan prosentasi bagi hasil yang telah disepakati.[1]

Dalam konteks perbankan, musyarakah berarti penyatuan modal dari bank dan nasabah untuk kepentingan usaha. Transaksi Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek, dimana nasabah dan pihak bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. 

Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama dengan bagi hasil yang telah disepakati dalam kontrak untuk pihak bank. Musyarakah juga bisa diterapkan dalam skema modal ventura, pihak bank diperbolehkan untuk melakukan investasi dalam kepemilikan sebuah perusahaan. Penanaman modal dilakukan oleh pihak bank untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi, baik secara singkat maupun bertahap.[2]

Transaksi Musyarakah ini sekilas merupakan akad yang didasarkan atas prinsip-prinsip syariah. Tetapi tentu belum bisa seketika dikatakan bahwa akad dalam contoh draft transaksi ini telah memenuhi kualifikasi sebagai bagian dari akad-akad syariah. 

Karena, saat ini banyak sekali kasus-kasus bermunculan, dimana bank dengan label syariah tetapi sesungguhnya tidak menerapkan sistem tersebut

Musyarakah dimaksudkan sebagai pembiayaan khusus untuk modal kerja, dimana dana dari bank merupakan bagian dari modal usaha nasabah dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati.

Dari uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan menjadi pambahasan adalah bagaiamana analisis musyarakah dalam perspektif  perbankan syariah?

Teori Akad Musyarakah

A. Pengertian Akad Musyarakah

Secara etimologis, musyarakah berasal dari kata Arab syirkah yang berarti kemitraan dalam suatu usaha, dan dapat diartikan sebagai bentuk kemitraan antara dua orang atau lebih yang menggabungkan modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan serta menikmati hak dan tanggung jawab yang sama.[3]

Secara terminologi, ulama fiqh beragam pendapat dalam mendefinisikannya, diantara lain sebagai berikut:

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie

Musyarakah adalah akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta‟awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.


Menurut Sayid Sabiq

Musyarakah yaitu akad antara dua orang yang berserikat pada pokok harta (modal dan keuntungannya). Dengan demikian syirkah adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk memasukan inbreng (uang, modal, tenaga kerja), dengan kesepakatan bahwa setiap pihak akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati dan saling menanggung resiko kerugian yang kemungkinan akan diderita.[4]



rukun akad musyarakah

B. Dasar Hukum Akad Musyarakah

Dasar hukum mengenai syirkah ini terdapat dalam al-Qur’an. Hadits, dan Ijma’ Ulama.

Al-Qur’an

Tertuang dalam ketentuan Surat An-Nisa ayat 12,  yaitu :[5]

...... فهم شركآء فى الثلث.....

Kemudian didalam  Surat Shaad ayat 24 yang berbunyi :
وإن كثيرا من الخلطآء ليبغى بعضهم على بعض الا الذين ءامنواْ
وعملوا لصلحت

Kedua ayat ini menunjukan perkenaan dan pengakuan  Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surah an- nisa’:12 perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam surah Shaad;24 terjadi atas dasar (ikhtiyari).[6]

Al-Hadits


عن أبى هريرة رفعه قال ان الله يقول أنا ثالث الشريكين ما لم يخن احدهما صاحه
Hadits qudsi tersebut menunjukan kecintaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang melakukan perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Ijma’

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni,[7]telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya..”


Pertimbangan yuridis tentang skema pembiayaan musyarakah

Landasan hukum berdasarkan   Fatwa  DSN MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.[8]


Akad musyarakah telah didasari oleh fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yaitu berdasarkan pada Fatwa DSN No: 08/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tersebut diterbitkan atas beberapa pertimbangan diantaranya:

Keniscayaan dari kebutuhan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan usaha yang seringnya memerlukan bantuan dari pihak lain dengan model skema musyarakah sebagai salah satu cara agar bisa tercapai. 

Pembiayaan dengan skema musyarakah telah kongkret memberikan bagi keunggulan baik dari segi kebersamaan juga dalam hal keadilan.

Jika cara-cara tersebut dapat disesuaikan dengan syariah maka DSN perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah agar bisa menjadi pedoman lembaga keuangan syariah (LKS)

B. Macam-Macam syirkah / Perserikatan

Secara garis besar Syirkah atau perserikatan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni :


Syirkah Amlak (Perserikatan Kepemilikan)

Yaitu kepemilikan barang secara bersama-sama atas suatu barang tanpa didahului oleh suatu akad melainkan secara otomatis, misalkan pemilikan harta secara bersama-sama karena suatu warisan.

Hal ini menyebabkan para pihak berserikat dalam kepemilikan tanpa dimulai dengan perjanjian atau akad.


Syirkah Ukud (Perserikatan Akad)


Yaitu serikat yang ada atau terbentuk disebabkan para pihak yang memang sengaja melakukan perjanjian untuk bekerja bersama demi tujuan bersama dengan terlebih dahulu para pihak yang terlibat memasukan partisipasi modalnya. 

Tujuan didirikannya syirkah ukud tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk harta benda. Jenis syirkah yang akan dibahas adalah syirkah uqud sebagai syirkah yang bertujuan mencari keuntungan secara materiil. 

Berikut ini penjelasan dari keempat macam syirkah ukud tersebut: 

Syirkah al ‘inan 

Yaitu dua orang bermitra dalam suatu urusan yang tertentu tidak didalam seluruh harta mereka, umpamanya bermitra dalam membeli suatu barang. Hukum tersebut disepakati mujtahidin dan dibolehkan.[9]

Pada bentuk syirkah al-‘inan tidak disyaratkan adanya kesamaan dalam besarnya modal, pembagian keuntungan atau pembagian pekerjaan. Apabila mereka mengalami kerugian, maka kerugian tersebut harus ditanggung bersama berdasarkan prosentase modal yang diinvestasikan.[10]

Syirkah al mufawadhah,

Adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Para mitra haruslah yang sudahdewasa, dana dari masing-masing mitra yang ditanamkan dalam usaha kemitraan itu harus sama jumlahnya, masing-masing kemampuan dari para mitra untuk mengemban tanggung jawab dan menerima pembagian keuntungan dan memikul kerugian harus sama, masing-masing mitra memiliki kewenangan penuh untuk bertindak. 

Dalam fiqh sunnah, disebutkan kesamaan itu sampai pada persoalan agama. Syirkah ini akan menjadi syah, jika semua pihak telah memenuhi kewajibannya secara penuh. Pada dunia usaha, model syirkah ini dapat dijumpai dalam pembentukan koperasi, karena porsi modalnya sama, maka baik keuntungan maupun kerugian juga ditanggung bersama para pihak yang berserikat.

Syirkah al a’maal juga disebut syirkah abdan

Yaitu kerja sama dua orang atau lebih yang memiliki profesi sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Misalnya dua orang tukang kayu bersama- sama menyelesaikan order pembuatan mebel sebuah lemari. Pembagian hasilnya disepakati bersama. Karena sifat kerja sama ini hanya terbatas pada pekerjaan, maka sesungguhnya tidak hanya berlaku pada profesi sejenis saja melainkan untuk profesi berlainan tetapi saling mendukung. 

Misalnya, kerja sama tukang jahit tas dengan tukang sablon dan lain-lain.[11]Madzhab Hanafi dan Maliki membolehkan jenis musyarakah ini, tetapi dengan memberikan banyak batasan terhadapnya.

Syirkah Wujuh

Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untukmembeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.Pada kerja sama ini biasanya para pihak yang bekerja sama memiliki reputasi atau nama baik, baik dalam bisnis maupun karena ketokohannya. 

Menurut Hanafi dan Hambali, bentuk syirkah ini boleh karena para pihak berserikat dalam kerja, dan tokoh tersebut memiliki pengaruh dalam pekerjaan. Namun menurut Syafi‟i dan Maliki, syirkah ini batil, karena syirkah itu hanya berdasarkan modal dan kerja.[12]

C. Rukun dan Syarat Akad Musyarakah

Pada  intinya  rukun  dan  syarat  musyarakah  adalah  sebagai berikut :

1. Rukun Akad Musyarakah

a.    Pihak yang berakad;

b.    Obyek akad / proyek atau usaha (modal dan kerja);

c.    Sighat / ijab qabul.

d. Tujuan akad Musyarakah


2. Syarat Akad Musyarakah

a. Ucapan : tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah, ia dapat berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan.


b. Pihak yang berkontrak : disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.


c. Objek kontrak (dana dan kerja) : dana atau modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini. Beberapa ulama memberi kemungkinan pula bila modal berwujud aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, perlengkapan, dan sebagainya. 


Bahkan dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten, dan sebagainya. Bila itu ditakutkan, menurut kalangan ulama, seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan disepakati oleh mitranya. Mazhab Syafi‟i dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh masing-masing pihak harus dicampur. Tidak dibolehkan pemisahan dana dari masing-masing pihak untuk kepentingan khusus.[13]

d. Tujuan Akad : iktikad yang ingin dicapai dalam akad musyarakah, yaitu kerjasama antara para pihak untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu. 


Kerjasama musyarakah ini selagi bukan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal maka boleh hukumnya.


D. Nisbah Bagi Hasil Beserta Kasus Akad Musyarakah

Pada akhirnya, praktik akad musyarakah memang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Namun, tetap saja metode dan cara memperoleh keuntungan tersebut harus didasari pada sikap yang adil dan tidak saling menzhalimi. 

Oleh sebab itu baik dalam hal mengambil keuntungan atau membagi kerugian, dalam hal ini studi contoh kasus akad musyarakah berdasarkan ketentuannya sendiri.

Ketika praktik akad musyarakah menghasilkan keuntungan maka keuntungan tersebut harus dikuantifikasi kemudian dibagi secara proporsional atas dasar keuntungan. Bukan berdasarkan jumlah yang ditetapkan di awal. 

Misal, “karena bank memberikan modal 10 juta maka harus kembali ke 10% dari 10 juta jadi 1 juta ya”.
Contoh kasus Musyarakah dengan pembagian disebutkan di atas jelas dilarang karena merupakan kasus praktik transaksi yang mengandung riba. 

Pembagian nisbah keuntungan akad musyarakah harus melihat dari hasil keuntungannya. Setelah keuntungan didapatkan maka bisa dibagi berdasarkan nilai keuntungan. Dalam rangka memperjelas maka sistem pembagian keuntungan harus disertakan di dalam kontrak musyarakahnya.

Lalu, apabila terjadi kerugian maka kerugian harus dibagi di antara para mitra sesuai dengan proporsi modal yang diberikan antar kedua bleah pihak. Bila si A menanamkan modal 30 juta dan si B menanamkan modal 70 juta maka ketika terjadi kerugian si A akan mendapatkan porsi kerugian 30% dan si B akan mendapatkan porsi kerugian sebanyak 70%.
skema akad musyarakah

Ilustrasi gambar  pembagian nisbah di atas merupakan sebuah skema praktik atas transaksi yang menggunakan akad musyarakah pada umumnya. Penjelasan atas skema tersebut adalah sebagai berikut:

Nasabah mengajukan pembiyaan kepada bank dengan perilaku yang dapat menggunakan akad musyarakah dalam kepentingan mendapatkan tambahan modal.

Antara pihak nasabah dan bank, masing-masing saling berkontribusi dalam usaha ini
Dalam hal ini antara kedua belah pihak saling bekerja sama dalam mengelola usaha yang mana keuntunganya dibagi sesuai kesepakatan berdasarkan nilai keuntungan. 

Jika terjadi kerugian maka di tanggung bersama-sama dan tidak ada pihak yang dirugikan, baik dari nasabah maupun bank. 

Ilustrasi Contoh Kasus Skema Praktik Akad Musyarakah

Terdapat dua pihak yang akan melakukan akad musyarakah. Kedua pihak tersebut bernama badan bukum A dengan seorang B. A memiliki keinginan untuk membuat sebuah proyek untuk membuat sebuah kantor marketing digital. Pada kesempatan yang sama, B juga memiliki keinginan yang sama untuk membuat usaha marketing digital. 

Berdasarkan kesamaan motivasi untuk membangun usaha marketing digital, kemudian mereka bertemu dan membuat kesepakatan kerjasama musyarakah.


Jenis syirkah yang dipakai adalah syirkah inan dimana A memberikan modalnya sebesar 40 juta dan B memberikan modalnya sebesar 60 juta. Mereka sepakat untuk nisbah bagi hasil sebesar 60% untuk A dan 40% untuk B, ketika mendapatkan keuntungan dalam usaha. 

Dalam musyarakah, tidak menjadi masalah apabila A mendapatkan porsi keuntungan lebih tinggi dari B meskipun porsi modal yang diberikan lebih kecil dari Ciba selama itu merupakan kesepakatan yang sudah disepakati di awal. Dan memiliki porsi tanggungjawab atau usaha yang sesuai dengan porsi keuntungan menurut mereka para pihak. 

Alhasil usaha tersebut berjalan dan keuntungan yang diperoleh adalah sebesar 1 miliar rupiah. Maka dalam hal ini A mendapatkan porsinya sebesar 600 juta (60% x 1M) dan B mendapatkan porsinya sebesar 400 juta (40% x 1M)

Lalu, Bagaimana Bila Rugi?

Bila dalam sebuah kasus transaksi akad Musyarakah yang terjadi kemudian usaha mereka mengalami kerugian. Katakanlah kerugian tersebut adalah sebesar 10 juta rupiah. Maka perhitungan kerugian tersebut didasarkan pada porsi penyertaan modal. A menyertakan modalnya sebesar 40% maka A mendapatkan kerugian sebeasar 4 juta rupiah sedangkan B menyertakan modalnya sebesar 60% sehingga ia mendapatkan kerugian sebesar 6 juta.

Praktik Akad Musyarakah di Lembaga Keuangan Syariah

A. Analisis Transaksi Akad Musyarakah dalam Praktik Lembaga Keuangan Syariah

Kami mencari pola draft kontrak contoh praktik transaksi akad Musyarakah di beberapa Lembaga Keuangan Syariah (BMT, Bank, BPRS) dan kami mendapatkan draf dari Perbankan yang kali ini akan kami bahas.

Analisis terkait perjanjian Pembiayaan Musyarakah Nomor : 7905/MSA/VI/2008,  menurut Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah, bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, kemudian mengenai obyek akad terdiri dari modal, kerja, keuntungan dan kerugian. Dalam perjanjian ini disebutkan sebagi berikut :

1. Kepala Kontrak

Adalah kalimat surat pembukaan kontrak yang membuktikan kapan dan dimana kontrak tersebut dibuat dan ditandatangani para pihak. Dalam hal ini, kepala kontraknya menunjukkan bahwa perjanjian tersebut dibuat pada hari Rabu tanggal 25 Juni 2008  dan bertempat di Yogyakarta.

2. Subyek akad (Para Pihak)

Dalam hal ini para pihak yang berkepentingan ada dua pihak, yaitu:

Bank xxxxx,  yang berkedudukan di wilayah xxx dalam hal ini diwakili oleh xxx Direktur Utama bertindak untuk dan atas nama mewakili PT BANK Perwira yang akta pendirian / Anggaran Dasarnya dibuat di hadapan xxxx Sarjana Hukum, Notaris di Yogyakarta.

Pihak nasabah adalah  Ny Ny. Xxx pekerjaan swasta, alamat : Jl. Nyai Ahmad Dahlan 22 Ngampilan Yogyakarta dengan persetujuan Suami, pekerjaan swasta, alamat : Jl. Nyai Ahmad Dahlan 22 Ngampilan Yogyakarta dan Nama.. xxx pekerjaan wiraswata alamat Tlogo 05/02 Kasihan Bantul memperoleh persetujuan istri bernama xxx pekerjaan wiraswata alamat Tlogo 05/02 Kasihan Bantul

3. Obyek Akad

Klausula obyek kontrak dalam perjanjian ini tertuang dalam pasal 1 dalam pokok perjanjian terkait pembiayaan syirkahdengan akad Musyarakah untuk modal dagang pakaian.

4. Dasar diadakannya Kontrak (Clausa)

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 Akta Perjanjian Musyarakah, bahwa para pihak sepakat, Nasabah sebagai pengelola usaha dengan modal sebesar Rp. 3.185.000.000,- (tiga miliyar seratus delapan lima juta) atau sama dengan 73 % serta dari modal bank sebesar Rp. 78.000.000,- (tujuh puluh delapan juta), atau sama dengan 27 %. 

Pasal 1 ayat 2 dan 4 menyebutkan untuk pengelolaan usaha, maka bank memberikan kuasa penuh kepada nasabah untuk menjalankan usahanya dan nasabah juga harus membuat dan menyampaikan kepada Bank rencana pengelolaan usaha. Nasabah juga bertanggung jawab atas pengelolaan, penyimpanan, dan pemeliharaan usaha.

Pembiayaan dengan akad Musyarakah di sini sebenarnya sejenis dengan pembiayaan Mudharabah. Dalam hal ini hanya ada dua pihak, yaitu shohibul mal(pemilik dana) dan mudharib (pengelola). 

Bank  disini bertindak sebagai shohibul mal, sedangkan nasabah yang mendapatkan pembiayaan bertindak sebagai mudharib, hanya saja fitur Musyarakah ini berbeda dengan Mudarabah,  Bank sama sekali tidak terlibat dalam pengelolaan sedangkan dalam Musyarakah, bank terlibat dalam pengelolaan, meski dengan tugas dan wewenang yang disepakati, seperti melakukan review, meminta bukti laporan-laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dipertanggung jawabkan. (lihat pasal 8)

Dalam perjanjian ini bank terlibat dalam pengelolaan, selain memberikan dana kepada nasabah sebagai mitra Musyarakah, maka sesungguhnya akad ini merupakan bentuk mudharabah, dengan komposisi dua badan yaitu Nasabah dan Bank dengan dana dari salah satu dari keduanya yaitu Bank. Faktanya bank tidak terlibat sama sekali dengan kegiatan yang disebut mengelola dana karena pengelola riilnya adalah nasabah, yang menjadi mitra Musyarakah tersebut.

Dipertegas dengan ketentuan UU Perbankan, bahwa institusi perbankan tidak boleh melakukan kegiatan ekonomin riil, seperti jual beli dan sebagainya. Dengan demikian posisi Bank dalam hal ini sebenarnya tetaplah menjadi shahibul mal. Jika demikian dana yang yang disalurkan tersebut tidak terlepas dari kemungkinan Wadiah atau Mudharabah.

Dalam konteks wadiah, dana yang disalurkan Bank kepada Nasabah adalah milik nasabah lain, bukan milik Bank. Posisi dari Bank disini sebenarnya menjadi wakil dari pemilik dana. 

Meski boleh saja dana yang dititipkan nasabah kepada Bank dengan akad wadi’ah ini digunakan sesuai dengan izin pemiliknya, tetapi status bank tetap bukan shahibul mal

Begitu juga jika dana yang disalurkan Bank dalam pembiayaan Musyarakah ini dikumpulkan melalui akad Mudharabah, maka dana tersebut juga bukan milik Bank, tetapi milik nasabah lain.

Posisi bank disini juga bukan sebagai shahibul mal, tetapi mudharib dari shahibul mal sesungguhnya yaitu nasabah. Pada titik ini status akad Musyarakah tidak sah karena mudharib mengelola harta yang tidak boleh dikelola, maka bagi hasil yang diterima Bank meskipun lebih kecil disbanding dengan bagian dari mitranya, adalah bagian yang bukan menjadi haknya. Karena bank tidak melakukan Tasharruf apapun terhadap dana shahibul mal.

Perkembangan Akad Musyarakah

Dalam perkembangannya, akad Musyarakah mengalami dinamika skema aplikasi, salah satu contohnya yaitu musyarakah mutanaqisah. Jika ingin menyimak, silahkan bisa kunjungi laman Analisis Kontrak Akad Musyarakah Mutanaqisah


Penutupan Analisis Transaksi Akad Musyarakah

A. Kesimpulan

Pembiayaan dengan transaksi akad Musyarakah di sini sebenarnya sejenis dengan pembiayaan Mudharabah. Dalam hal ini hanya ada dua pihak, yaitu shohibul mal(pemilik dana) dan mudharib (pengelola). Bank  disini bertindak sebagai shohibul mal, sedangkan nasabah yang mendapatkan pembiayaan bertindak sebagai mudharib, hanya saja fitur Musyarakah ini berbeda dengan Mudarabah,  Bank sama sekali tidak terlibat dalam pengelolaan sedangkan dalam Musyarakah, bank terlibat dalam pengelolaan, meski dengan tugas dan wewenang yang disepakati, seperti melakukan review, meminta bukti laporan-laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dipertanggung jawabkan.

B. Kritik dan Saran

Menyadari bahwa makalah analisis kontrak akad Musyarakah  ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karenanya penulis berharap kiranya ada masukan kritik dan saran dari para pembaca bagi penulis, sebagai bahan evaluasi dan perbaikan pada tahap revisi.


DAFTAR PUSTAKA

                        Anshori, Ghofur Abdul, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada Uneversity Press, 2007.

Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Mughni wa Syarh Kabir, Beirut: Darul Fikr, 1979.

Fatwa DSN-MUI NO. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah.

                         Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.

            Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 2009.

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan Sekolaah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Hukum-hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Mazhab),Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.

Qomarul Huda, Fiqh Muamalah,Yogyakarta : Penerbit Teras, 2011.

Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil,Yogyakarta : UII Press, 2004.

            Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006.



                  





[1]Abdul Ghofur Ansori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 118.
[2] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah  dari Teori dan Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 93.
[3]Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 2009), hlm. 18.

[4]Muhammad, Manajemen Bank Syariah,(Yogyakarta : Unit Penerbit dan Percetakan Sekolaah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011 ), hlm. 85.


[6] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah  dari Teori dan Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 91.
[7] Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Mughni wa Syarh Kabir (Beirut: Darul Fikr, 1979), vol. V, hlm. 109

                [8]Fatwa DSN-MUI NO. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah.

[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (Tinjauan Antar Mazhab), (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 389.

                [10]Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2011), hlm. 107.

                [11]Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 95.

                [12]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 319.

[13]

0 Response to "Akad Musyarakah: Teori dan Contoh Praktik"

Post a Comment