Berakhirnya Akad

Pendahuluan Berakhirnya Akad

Berakhirnya akad merupakan peristilahan yang selalu muncul ketika membahas akad. Sebagaian sarjana hukum Islam menganggap sama antara berakhirnya akad, fasakhnya akad dan  terminasi akad. Namun, sebenarnya ahli hukum Islam kontemporer membedakan ketiga hal tersebut.

Kali, ini kita membahasnya berdasarkan pandangan yang pertama yaitu mereka yang menganggap sama antara berakhirnya akad, fasakhnya akad dan terminasi akad.

Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dengan istilah perjanjian. Kata akad berasal dari al-‘aqd yang berarti mengikat, menyambung atau  menghubungkan. Adapun secara terminologi, ulama fiqih memberikan dua makan, makna khusus dan makna umum.

 Adapun akad dalam arti khusus adalah pertanyaan dari dua pihak atau lebih (ijab dan qobul) yang menghasilan hukum syar’i yang melazimkan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan akad dalam arti umum adalah tindakan atau kehendak sepihak yang melahirkan hukum syar’i yang melazimkan dirinya.

Berakhirnya kontrak dapat diartikan sebagai putusnya hubungan di antara para pihak yang mengadakan akad. Dengan putusnya hubungan tersebut, perbuatan para pihak yang berakaitan dengan akad tidak akan menimbulkan akibat hukum. Karena pada prinsipnya akibat hukum hanya akan terjadi apabila ketentuan (syarat) akad yang telah ditetapkan oleh syara’ (asy-syuruth asy-syar’i li al-‘aqd) berlaku bagi para pihak melalui pelaksanaan hak dan kewajiban. 

Walaupun dalam hukum perjanjian, juga ada permasalahan tentang sebab-sebab yang dapat mengakhiri kontrak, namun realita tetap dijumpai beberapa perbedaan yang terkait dengan sebab-sebab berakhirnya suatu akad. Suatu kontrak yang dikatakan berakhir pada prinsipnya apabila hubungan hukum di antara para piha telah terputus. 

Dengan putusnya hubungan tersebut, maka keterkaitan para pihak terhadap ketentuan syara’ yang terkait dengan akad untuk melaksanakan hak dan kewajiban, maka kesepakatan para pihak tersebut sudah tidak berlaku.

Pembahasan Berakhirnya Akad

Berahirnya Akad

Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual.[1] Akad berakhir dengan adanya fasakh, yaitu pihak-pihak akad sepakat membatalkan akad atau infisakh, yaitu membatalkan akad karena adanya sebab-sebab darurat.

 Berakhirnya akad karena fasakh (pembatalan)

Suatu kontrak dikatakan batal apabila terjadi keterputusan hubungan hukum di antara para pihak sebelum tujuan akad tercapai. Istilah yang digunakan oleh ahli hukum Islam untuk membatalkan akad adalah fasakh. [2] Yang dimaksud fasakh adalah melepaskan perikatan kontrak atau menghilangkan atau menghapuskan hukum kontrak secara total seakan-akan kontrak tidak pernah terjadi. Pemutusan kontrak dapat terjadi atas dasar kerelaan para pihak dan dapat pula terjadi secara paksa atas dasar putusan hakim.

Fasakh adakalanya wajib dan adakalanya jaiz (boleh). Fasakh wajib dilakukan dalam rangka menghormati ketentuan syariah, misalnya fasakh terhadap kontrak yang fasid. Dalam hal ini fasakh dilakukan guna menghilangkan penyebab ke fasid kontrak, menghormati ketentuan-ketentuan syariah, melindungi kepentingan (mashlahah) umum maupun khusus, mengilangkan dharar (bahaya, kerugian), dan menghindari perselisihan akibat pelanggaran terhadap syarat-syarat yang ditetapkan syariah.[3]

Fasakh itu terjadi karena hal-hal berikut:

1. Akad yang tidak lazim ( Jaiz)

Akad yang dimaksud tidak lazim (jaiz) adalah akad yang memungkinkan pihak-pihak akad untuk membatalkan akad walaupun tanpa persetujuan pihak akad yang lain, selama tidak terkait dengan hak orang lain. Tetapi jika pembatalan ini merugikan pihak lain dan melanggar kesepakatan, maka tidak boleh di fasakh. Akad yang jaiz itu adakalanya bagi seluruh pihak akad dan adakalanya bagi salah satu pihak akad. Jadi dengan akad tidak lazim (jaiz), maka terbuka bagi pihak akad untuk mem-fasakh atau membatalkan akad. Jika memilih fasakh, maka akadnya berakhir.[4]

Akad-akad yang tidak lazim terhadap kedua belah pihak seperti syirkah dan wakalah, maka dapat dibatalkan dengan kemauan salah satu pihak, selama tidak berpautan dengan hak orang ketiga, seperti dalam masalah menjual barang yang digadaikan. Dalam masalah menjual barang yang kita gadai ini, harus ada persetujuan di antara orang yang menjual dan membeli, dengan orang ketiga.[5]

2. Akadnya rusak (Fasid)

Apabila terjadi kerusakan (fasid) dalam suatu akad, seperti jual beli barang yang tidak jelas (majhul), maka wajib di fasakh (dibatalkan), baik melalui para pihak yang melakukan akad, atau melalui putusan hakim, kecuali apabila terdapat hal-hal yang menghalangi pembatalan tersebut. Misalnya si pembeli telah menjual barang yang dibelinya atau telah menghibahkannya kepada orang lain. Dalam hal ini si pembeli wajib menyerahkan nilai barang yang dijual pada saat barang diterima, bukan harga yang disepakati.[6]      

3. Fasakh karena Khiyar

Hak khiyar ialah hak memilih untuk membatalkan atau meneruskan akad. Hak khiyar bisa berlaku sebelum atau sesudah kesepakatan (ijab qobul). Bagi pemilik khiyar, baik khiyar syarat, khiyar ‘aib, maupun khiyar ru’yah dibolehkan untuk membatalkan akad semata-mata karena kehendaknya.[7] Pembatalan melalui khiyar merupakan hak salah satu pihak, karena itu menjadi kewajiban pihak lain untuk memenuhinya. Tanpa adanya hak khiyar atau kesepakatan kedua belah pihak, pembatalan dinyatakan tidak sah hukumnya. Namun syarat berlakunya hak khiyar ialah selama ada sebab tertentu yang terbukti dapat merugikan salah satu pihak sehingga merusak keridhaan.[8]

4. Fasakh karena Iqalah

Iqalah adalah pembatalan akad berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, apabila salah satu pihak merasa menyesal dan ingin mengundurkan diri dari akad. Cara ini dianjurkan berdasarkan Hadist Nabi SAW.

عن أبي هريرةرضي الله عنه قال قل رسول الله صلي الله عليه وسلم: من أقال مسلماً اقال الله عثرته يوم القيا مة
Dari Abu Hurairah r.a berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, barang siapa yang membatalkan akad seorang muslim, maka Allah akan membatalkan kesulitannya pada hari kiamat.

Begitu juga terdapat dalam hadits yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Hibbah tetapi dengan redaksi yang sedikit berbeda, yakni:


عن ابي هريرة رصي الله عنه قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : من أقال نا د ما بيعته أقال الله عثرته يوم القيا مة
Barang siapa menyetujui permintaan pembatalan transaksi (iqala) dari seorang yang menyesal, maka Allah akan membebaskannya dari kesalahannya di hari kiamat (HR. Ibnu Hibban)

5. Fasakh karena Tidak Bisa Dilaksanakan

Fasakh boleh dilakukan karena pihak lain tidak bisa melaksanakan kewajibanannya dalam keadaan khiyar naqd (hak pilih pembayaran). Artinya, apabila setelah saat pembayaran tiba, si pembeli tidak bisa melunasi kewajibannya membayar harga tersebut maka jual beli menjadi batal. Dalam Pasal 313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam disebutkan dalam khiyar naqd.

Penjual dan pembeli melakukan tawar-menawar dengan sah, sedangkan pembanyaran dilakukan pada waktu yang ditentukan, dan jika pembayaran tidak dilaksanakan, maka jual beli menjadi batal. Hak pilih khiyar ini disebut khiyar naqd.

Fasakh juga boleh dilakukan karena akibat hukum akad mustahil dilaksanakan disebabkan musibah yang tidak bisa dihindari. Hal ini bisa terjadi dalam akad jual beli dalam keadaan barang yang menjadi objek akad rusak atau hancur sebelum diserahkan kepada pembeli.[9]

Berakhirnya Masa Berlaku Akad

Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjian akan berakhir.[10]Apabila masa perjanjian yang disepakati dan sebutkan dalam akad telah habis, atau tujuan yang dimaksudkan oleh akad telah selesai diwujudkan, maka akad secara otomatis menjadi batal. Misalnya masa sewa rumah selama satu tahun sudah selesai, atau pembelian mobil yang diwakilkan kepada pihak lain sudah berhasil.

Berakhirnya Akad karena Kematian

Menganai kematian ini, terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara para fukaha mengenai masalah apakah kematian pihak-pihak yang melakukan akad mengakibatkan berakhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka apakah hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. Demikian pula adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu serta sifat masing-masing.

  • Ijarah (Sewa menyewa)

Menurut pendapat ulama-ulama mahzab Hanafi, pada akad sewa menyewa yang merupakan akad yang mengikat secara pasti dua belah pihak itu, kematian salah satu pihak, penyewa atau yang menyewakan, mengkibatkan berakhirnya akad.[11]Alasan mereka adalah bahwa orang yang menyewa memiliki manfaat sejak terjadinya akad dengan sedikit demi sekidit. Maka manfaa yang tersisa setelah meninggalnya salah satu pihak sudah bukan miliknya lagi, sehingga dengan demikian, akad sudah berakhir dan tidak boleh dilanjutkan lagi.[12]

Namun menurut pendapat ulama-ulama mahzab syafi’i tidak. Ulama-ulama syafi’iah memandang manfaat barang sewa semuanya telah ada ketika akad diadakan, tidak terjadi sedikit-sedikit, sehingga ematian salah satu pihak tidak membatalkan akad.

  •  Gadai (Rahn)

Akad gadai, kematian pihak pemegang gadai tidak mengakibatkan berakhirnya akad, tetapi dilanjutkan oleh ahli warisnya, guna menjamin hak atas piutang. Apabila yang meninggal adalah pihak yang berutang, dan ahli warisnya masih kecil-kecil, barang gadai dijual untuk melunasi utang. Akan tetapi, apabila ahli warisnya sudah besar-besar, mereka mengganti kedudukan yang mewariskan, dan berkewajiban untuk menyelesaikan akad gadai dengan melunasi utang.[13]

Berakhirnya Akad karena Tidak Adanya Izin dalam Akad Mauquf

Akad mauquf (ditangguhkan) dapat berakhir apabila orang yang berhak tidak memberikan persetujuan. Misalnya dalam akad fudhuli (menjual sesuatu barang orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya). Persetujuan dari pemiliknya juga tidak berlaku (tidak sah) apabila pelaku fudhuli atau orang berakad dengannya meninggal dunia. Dengan demikian, akad berakhir sebelum adanya persetujuan. Pelaku fudhuli sendiri boleh membatalkan akad yang dibuatnya, sebelum adanya persetujuan dari pemilik, untuk menjaga kredibilitasnya.

CATATAN: Berakhirnya Akad pada kali ini merupakan sudut pandang bahwa fasakh, terminasi dan berakhir merupakan sama. Adapun sebenarnya terdapat pendapat lain yang memisahkannya yang dibahas dalam artikel selanjutnya Perbedaan Terminasi, Fasakh dan Berakhirnya Akad

KESIMPULAN

Berdasarkan dari penjelasan di atas terkait dengan berakhirnya perjanjian (akad), maka pada prinsipnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan syarat-syarat akad tidak lagi berlaku bagi para pihak, yakni:

Pembatalan (Fasakh).

Berlakunya masa akad.

Berakhirnya karena adanya salah satu pihak yang meninggal.

Karena tidak adanya izin dalam akad terkait dengan maukuf.





[1] Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm, 92.
[2]Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE, 2009), hlm, 209-210.
[3]Oni Sahroni, dan M. Hasanuddin, Fikih Muamalah DInamika Teori Akad dan Implementasi dalam Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2016), hlm, 186.
[4]ibid, hlm, 187.
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm, 90.
[6]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm, 166.
[7]Chapter II. pdf
[8]Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE, 2009), hlm, 210.
[9]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm, 168.
[10]Abdul Ghofur Ansori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia Konsep Regulasi dan Implementasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm, 37.
[11] Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm, 93.
[12]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm, 169.
[13]Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm, 94.

0 Response to "Berakhirnya Akad"

Post a Comment