Akad Murabahah Bil Wakalah: Teori & Praktik

Akad Murabahah bil Wakalah merupakan salah satu contoh transaksi produk akad yang sangat sering digunakan dalam praktik muamalah Lembaga Keuangan Syariah. Kali ini kita membahas contoh kasus transaksi akad Murabahah yang dipraktikkan pada LKS yaitu transaksi akad Murabahah bil Wakalah sebagai skema pembiayaan yang cukup favorite bagi masyarakat. 

Nasabah yang ingin membeli motor, mobil, dan barang yang lain, ketika mereka tidak ingin menggunakan sistem kredit, maka alternatif perjanjian syariah yang digunakan adalah akad Murabahah bil Wakalah.

Memahami praktik skema transaksi akad Murabahah bil Wakalah, kita harus merinci definisi dari bagian kata tersebut. Serta mengaitkan antara Murabahah dengan Wakalah, lalu menelaah unsur-unsur di dalamnya.

A. Definisi Murabahah Bil Wakalah

1.   Pengertian Murabahah

Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna saling) yang diambil dari bahasa arab, yaitu ar-ribhu (الربح) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan).[1] Murabahah secara istilah adalah akad jual beli yang dilakukan kepada seseorang dimana penjual menyampaikan harga beli kepada pembeli dan keuntungan yang diambil sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 

Dengan demikian Lembaga Keuangan Syariah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menyediakan barang yang dibutuhkan nasabah dan akan dibayar kembali oleh nasabah beserta margin yang telah disepakati antara LKS dan nasabah dengan jangka waktu yang telah ditentukan. 

Ulasan lengkap tentang Murabahah bisa disimak dalam laman Akad Murabahah Teori dan Praktik


2.      Pengertian Wakalah

Wakalah menurut bahasa artinya menyerahkan sesuatu. Dalam istilah syara‟ berarti seseorang yang menyerahkan sesuatu urusannya kepada orang lain, pada apa yang boleh diwakilkan menurut syara, agar orang yang mewakilkan itu dapat melakukan sesuatu yang diserahkan kepadanya selagi yang menyerahkan itu masih hidup. Dalam hal ini memiliki arti bahwa wakalah adalah memberikan kuasa kepada orang lain untuk menyelesaikan sesuatu kepada orang lain.[2]

3.      Pengertian Murabahah Bil Wakalah

Murabahah bil Wakalah adalah contoh praktek transaksi jual beli dengan sistem wakalah yang lumrah diaplikasikan oleh Lks. Dalam transaksi jual beli sistem Murabahah bil Wakalah pihak penjual mewakilkan pembeliannya kepada pihak yang lain, dengan demikian akad pertama dari praktik Murabahah bil Wakalah ialah akad Wakalah. Setelah akad Wakalah berakhir kemudian para pihak menjalankan akad Murabahah.

Sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No:04/DSN- MUI/IV/2000 pasal 1 ayat 9: “jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank”. 

Sesuai dengan ketentuan Fatwa DSN MUI akad Murabahah bil Wakalah dapat dilakukan dengan syarat jika barang yang dibeli oleh nasabah sepenuhnya sudah milik lembaga keuangan syariah, kemudian setelah barang tersebut dimiliki lembaga keuangan syariah maka akad murabahah dapat dilakukan.

Akad Murabahah bil Wakalah adalah jual beli dengan diawali Lembaga Keuangan Syariah mewakilkan pembelian produk kepada nasabah kemudian setelah produk tersebut didapatkan oleh nasabah, nasabah memberikannya kepada pihak Lembaga Keuangan Syariah. 

Setelah barang tersebut dimiliki pihak Lembaga Keuangan Syariah dan harga dari barang tersebut jelas maka pihak lembaga menentukan margin keuntungan yang didapatkan serta jangka waktu pengembalian yang akan disepakati antara pihak Lembaga Keuangan Syariah dengan nasabah.[3]

Demikian gambaran ilustrasi skema praktik Transaksi Akad Murabahah bil Wakalah


B.   Dasar Hukum Murabahah bil Wakalah

1.   Al Quran

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT QS An Nisa (4): 29  hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu...”

2.    Hadist

Dijelaskan dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, menyatakan bahwa Nabi SAW ketika ditanya tentang usaha apa yang baik beliau menjawab:




Diriwayatkan dari pada Hakim bin Hizam ra: Nabi Saw bersabda: Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Sekiranya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang dijual belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sekiranya mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang dijual belikan akan terhapus keberkahannya”, (HR. Ahmad).

3.   Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI

Ketentuan tentang pembiayaan murabahah yang tercantum dalam fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 pasal 1 ayat 9, yang berbunyi, “jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank”.[4]

B.   Rukun dan Syarat Murabahah bil Wakalah

Rukun Murabahah bil Wakalah pada dasarnya sama dengan rukun akad Murabahah, namun perbedaan dalam akad Murabahah bil Wakalah terdapat wakil dalam pembelian barang.

1.      Penjual (ba’i)

2.      Pembeli (musytary)

3.      Barang yang dibeli

4.      Harga barang, dalam hal ini harga barang harus diketahui secara jelas yaitu harga beli dan margin yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga kedua belah pihak akan melakukan keputusan harga jual dan jangka waktu pengangsuran.

5.      Muwakil atau pemberi kuasa adalah pihak yang memberikan kuasa kepada pihak lain.

6.      Taukil atau objek akad

7.      Shigat atau ijab dan Qabul.


 Adapun Syarat Murabahah Bil Wakalah adalah sebagai berikut:

1.     Barang yang diperjual belikan harus halal dan bebas dari najis

2.     Penjual memberitahu modal yang akan diberikan kepada nasabah

3.     Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan

4.     Kontrak harus bebas dari riba

5.     Penjual harus memberitahu atau menjelaskan bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian

6.     Apabila penjual tidak memberitahu kepada pembeli bila terjadi cacat maka pembeli berhak meminta ganti rugi barang tersebut kepada penjual.

7.     Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian tersebut dilakukan secara utang.[5]

8.     Objek barang yang akan dibeli harus jelas dan diwakilkan kepada nasabah yang mengajukan pembiayaan dengan akad Murabahah bil Wakalah

9.     Tidak bertentangan dengan syariat islam.

 Noted: Perlu diketahui bahwa sebenarnya, setiap akad memiliki rukun dan syarat yang secara umum sama, bisa disimak dalam Rukun dan Syarat Akad. Meski masing-masing akad akan memiliki rukun dan syarat khusus per akad.

C.   Tujuan Pembiayaan Murabahah bil Wakalah

Tujuan pemberian transaksi pembiayaan Murabahah bil Wakalah adalah untuk mendukung pengembangan para pengusaha produsen dibidang pertanian, perikanan, industri kecil dan industri rumah tangga dan lain-lain dengan cara menyediakan fasilitas kredit tanpa penyimpangan bagi pengusaha yang pada saat itu memerlukan tambahan barang modal tidak mempunyai dana yang cukup. 

Lembaga Keuangan Syariah mempunyai peran untuk membantu para nasabahnya yang ingin memajukan kegiatan usahanya. Barang yang akan dipesan oleh nasabah kepada LKS akan berguna untuk kemajuan usaha dari pihak nasabah itu sendiri.

Adapun praktik transaksi akad Murabahah bil Wakalah digunakan oleh lembaga keuangan syariah untuk memfasilitasi nasabah melakukan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhan, diantaranya adalah:
1. Kebutuhan barang konsumsi, di ataranya rumah, kendaraan/alat trasnsportasi, alat-alat rumah tangga dan sejenisnya.
2.     Persediaan barang dagangan.
3.    Kebutuhan bahan baku atau bahan pembantu produksi (tidak termasuk proses produksi).
4.   Kebutuhan barang modal, seperti pabrik, mesin dan sejenisnya.
5.    Aset lain yang tidak bertentangan dengan syariah dan disetujui Bank.[6]

D.   Manfaat dan Risiko Pembiayaan Murabahah bil Wakalah

Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), praktik transaksi Murabahah bil Wakalah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Murabahah bil wakalah memberi banyak manfaat kepada LKS. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. 

Selain itu, sistem Murabahah bil Wakalah juga sangat sederhana, hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di LKS. Di antara kemungkinan risiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut:
1.      Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
2.      Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
3.  Dijual, karena murabahah bil wakalah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.[7]

E.   Ketentuan Umum Pembiayaan Murabahah bil Wakalah

1.      Jaminan Dalam Murabahah bil Wakalah

Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam transaksi akad murabahah bil wakalah. Jaminan dimaksudkan untuk menjaga agar si pemesan tidak main-main dengan pesanan. Si pembeli (penyedia pembiayaan) dapat meminta si pemesan (pemohon/nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya.Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang.

Adapun maksud tujuan lain pengikatan jaminan adalah memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang anggunan tersebut bilamana nasabah bercedera janji, yaitu tidak bisa membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

2.      Utang dalam Murabahah bil wakalah

Secara prinsip, penyelesaian utang si pemesan dalam transaksi murabahah bil wakalah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan si pemesan kepada pihak ke tiga atas barang pesanan tersebut. Apakah si pemesan menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban menyelesaikan utangnya kepada si pembeli. 

Seandainya penjualan aset tersebut merugi, contohnya kalau nasabah adalah pedagang juga, pemesan tetap harus menyelesaikan pinjamannya sesuai kesepakatan awal. Hal ini karena transaksi penjualan kepada pihak ketiga yang dilakukan nasabah merupakan akad yang benar-benar terpisah dari akad al-murabahah pertama dengan bank.

3.      Penundaan Pembayaran oleh Debitur Mampu

Seorang nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda penyelesaian utangnya dalam murabahah bil wakalah ini. Bila seorang pemesan menunda penyelesaian utang tersebut, pembeli dapat mengambil tindakan. mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali utang itu dan mengklaim kerugian financial yang terjadi akibat penundaan.

Prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa antara bank syariah dan nasabahnya telah diatur melalui Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), suatu lembaga yang didirikan bersama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI.

4.      Bangkrut

Jika pemesan yang berutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan utangnya karena benar-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan karena lalai sedangkan ia mampu, kreditor harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali. Dalam hal ini, Allah SWT telah berfirman, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguhan sampai dia berkelapangan...” (QS. Al-Baqarah ayat 280).[8]


F.   Skema Murabahah bil Wakalah



skema akad murabahah bil wakalah

skema murabahah bil wakalah dalam lks


Penjelasan dari skema transaksi transaksi akad Murabahah bil Wakalah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.  Nasabah mengajukan transaksi pembiayaan murabahah bil wakalah kepada bank dengan membawa persyaratan.

2. Bank mewakilkan pembelian barang kepada nasabah (dengan akad wakalah)

3. Nasabah membeli barang secara tunai dari supplier atas nama bank, sehingga barang tersebut berpindah kepemilikan menjadi milik Bank.

4. Setelah akad wakalah selesai selanjutnya transaksi akad jual beli secara kredit (akad Mudharabah).

5. Nasabah membayar angsuran secara kredit kepada lembaga keuangan syariah.[9]


G.  Berakhirnya Akad Murabahah bil Wakalah

Pada umumnya, semua akad akan berakhir dengan beberapa sebab umum. Sobat bisa menyimaknya dalam ulasan  Berakhirnya Akad.
Kaitanya khusus Transaksi Akad Murabahah bil Wakalah, para ulama fiqih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:

1. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.

2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.

3.  Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:

a)  Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.

b)   Berlakunya khiyar syarat, aib atau rukyat.

c)    Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.

4.   Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.[10]


 Kesimpulan


Transaksi Akad Murabahah bil wakalah adalah jual beli dengan sistem wakalah. Dalam jual beli sistem ini pihak penjual mewakilkan pembeliannya kepada nasabah, dengan demikian akad pertama adalah akad wakalah setelah akad wakalah berakhir kemudian pihak lembaga memberikan akad murabahah. Dasar Hukum Murabaha bil wakalah adalah QS An Nisa (4): 29, hadist dan fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 pasal 1 ayat 9.

Rukun Murabahah bil Wakalah adalah: Penjual (ba’i), Pembeli (musytary), Barang yang dibeli, Harga barang, dalam hal ini harga barang harus diketahui secara jelas yaitu harga beli dan margin yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga kedua belah pihak akan melakukan keputusan harga jual dan jangka waktu pengangsuran, Muwakil atau pemberi kuasa adalah pihak yang memberikan kuasa kepada pihak lain, Taukil atau objek akad dan Shigat atau ijab dan Qabul. 

Sedangkan syarat Murabahah bil Wakalah adalah: Barang yang diperjual belikan harus halal dan bebas dari najis, Penjual memberitahu modal yang akan diberikan kepada nasabah, Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan, Kontrak harus bebas dari riba, Penjual harus memberitahu atau menjelaskan bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian, Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian tersebut dilakukan secara utang, Objek barang yang akan dibeli harus jelas dan diwakilkan kepada nasabah yang mengajukan pembiayaan dengan akad murabahah bil wakalah, Tidak bertentangan dengan syariat islam.

Tujuan pembiayaan murabahah bil wakalah adalah untuk mendukung pengembangan para pengusaha produsen dibidang pertanian, perikanan, industri kecil dan industri rumah tangga dan lain-lain dengan cara menyediakan fasilitas kredit tanpa penyimpangan bagi pengusaha yang pada saat itu memerlukan tambahan barang modal tidak mempunyai dana yang cukup. Lembaga Keuangan Syariah mempunyai peran untuk membantu para nasabahnya yang ingin memajukan kegiatan usahanya. Barang yang akan dipesan oleh nasabah kepada LKS akan berguna untuk kemajuan usaha dari pihak nasabah itu sendiri.

 Saran

Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami harapkan saran dari pembaca agar kedepannya dapat menyempurnakan makalah ini. Agar dapat memberikan informasi dan tambahan belajar yang dapat diterima dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA


 Al- mushih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam,Terj. Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004.
Ali, Zainudin. Hukum  Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2008.
Ghazaly, Abdul Rahman. dkk, Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana, 2012.
Huda, Qomarul. Fiqh Muamala., Yogyakarta: Teras, 2011.
Idris, Al Ustadz H. Fiqh Menurut Mazhab Syafi’I. Jakarta: Widjaya, 1969.
Karnaen, Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Prinsip oprasional Bank Islam, Jakarta: Risalah Masa, 2005.
Nur Aisyah Binti, Managmen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: Teras, 2014.
Syafi’I Antonio, Muhammad. Bank Syariah dari Teori ke Prakte., Jakarta: Gema Insani, 2001.




[1] Abdullah al-Mushih dan Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam,Terj. Abu Umar Basyir, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hal. 198
[2] Al Ustadz H Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’I, (Jakarta: Widjaya, 1969), cet 1, hal. 67
[3] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 91
[4] ibid
[5] Binti Nur Aisyah, Managmen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: Teras, 2014), hlm. 224
[6] Karnaen, Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Prinsip oprasional Bank Islam, (Jakarta: Risalah Masa, 2005), hlm. 71.
[7] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hl. 106-107
[8] Ibid, hal. 106
[9] Zainudin Ali, Hukum  Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2008), hal. 247
[10] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 58-59
Peminjam Aksara Seorang penulis, blogger, esais, dan pendidik yang berkebangsaan Indonesia

Related Posts

0 Response to "Akad Murabahah Bil Wakalah: Teori & Praktik"

Post a Comment