JAMINAN DALAM AKAD BAGI HASIL DI PERBANKAN SYARIAH

A. Pendahuluan
Pembiayaan yang didanai oleh bank syariah merupakan bentuk investasi yang memerlukan waktu lama dan secara berangsur-angsur dana yang diinvestasi tersebut akan kembali kepada bank. Secara umum bentuk-bentuk pembiayaan yang didanai oleh bank syariah adalah jual beli, sewa, bagi hasil dan penyertaan modal atau kemitraan. Jangka waktu pembiayaan disepakati oleh pihak bank dengan nasabah debiturnya dengan mempertimbangkan kemampuan pengembalian pembiayaan tersebut. 
Secara umum pembiayaan dapat disetujui oleh bank bila nasabah menyertai permohonan dengan jaminan (collateral) yang layak. Jaminan tersebut berupa harta benda milik debitur atau pihak ketiga yang diikat sebagai alat pembayar jika terjadi wanprestasi terhadap bank syariah. Jaminan yang diberikan oleh debitur kepada bank syariah dibutuhkan untuk pembayaran hutang seandainya terjadi wanprestasi terhadap pembiayaan yang telah diberikan oleh bank dengan cara menguangkan atau menjual jaminan tersebut melalui mekanime yang telah ditetapkan. Dengan demikian pada saat proses penilaian terhadap kelayakan pembiayaan kepada calon nasabah debiturnya, jaminan ini menjadi indikator penentuan yang digunakan oleh bank untuk menilai dan kelayakan nasabah debitur memperoleh jumlah pembiayaaan yang akan diberikan dan juga jangka waktunya.
Dengan adanya jaminan tersebut pihak bank syariah sebagai kreditur akan memiliki keyakinan sebagai syarat yang ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan tentang prudential standard untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan pembiayaan tersebut. Oleh sebab itulah penulis merasa tertarik untuk mengupas tentang kedudukan jaminan dalam akad-akad bagi hasil di perbankan syariah.
B. Pembahasan
1. Pengertian Jaminan
Jaminan secara sederhana dimaknai sebagai tanggungan atas pinjaman yang diterima. Jaminan dalam nomenklatur hukum perdata di Indonesia ditemukan dalam Pasal 1131 KHUPer dan Penjelasan Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Hanya saja, kedua peraturan tersebut tidak mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan jaminan, kedua aturan ini menyatakan jaminan berkaitan erat dengam masalah utang piutang. Sehingga, Jaminan dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian antara kreditur dengan debitur, di mana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk kepentingan pelunasan utang menurut ketentuan peraturan yang berlaku, apabila dalam waktu yang telah ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang debitur.
2. Jaminan menurut ahli hukum islam
Dalam hal kemestian adanya jaminan dalam mudarabah, memang menarik untuk dilihat dalam prakteknya hari ini.  Pendapat ulama kontemporer membolehkan adanya jaminan, akan tetapi pembahasannya belum sampai pada faktor-faktor yang dijadikan alasan pada pembolehan adanya jaminan pada akad mudarabah.
Dalam hal ini, Makhalul Ilmi menjelaskan hubungan antara pemilik modal dan pengelola modal yang didasarkan pada akad mudarabah akan tetapi pembahasannya belum sampai kepada faktor yang mempengarui adanya jaminan dalam pembiayaan mudarabah.
Salah seorang ulama terkemuka, Ibnu Rusyd, menjelaskan permasalahan-permasalahan dalam akad mudarabah menurut imam madzhab salah satunya mengenai adanya tanggungan pada mudharib. Di mana, tanggungan ini tidak diperbolehkan menurut imam Syafi’i dan Imam Maliki. Meski demikian dalam permasalahan tersebut, beliau tidak menjelaskan adanya alasan yang melarang adanya jaminan pada akad mudarabah.
Persoalan jaminan dalam mudarabah tidak ada dalil yang menunjukkan pembolehan atau pelarangan dalam syarak namun hukum muamalat memiliki prinsip-prinsip sebagai acuan hukum yakni sebagai berikut:
a. Pada dasarnya hukum muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh alquran dan hadis
b. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada unsur pemaksaan
c. Muamalat dilakukan atas dasar mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat dalam hidup masyarakat
d. Muamalat harus didasarkan unsur-unsur keadilan menghindari unsur-unsur penganiayaaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Ulama fiqih seperti Imam Malik dan Imam Syafii merespon hukum jaminan pada akad mudarabah dengan menggunakan metode ijtihadnya. Yang hal tersebut tentunya dilakukan dengan tidak terlepas dari konteks sosial masyarakat pada waktu itu sehingga beliau mengatakan bahwa hukum jaminan dalam akad mudarabah itu tidak diperbolehkan atau dilarang dikarenakan hal itu akan menjadikan tidak sahnya akad yang dibuat.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya membolehkan adanya jaminan pada akad mudarabah hanya saja syaratnya batal. Pendapat ini agak unik, karena membolehkan tetapi menyatakan bahwa penetapan syarat jaminan itu adalah syarat yang batal.
Jika dianalisis secara seksama, maka akan dapat ditarik suatu benang merah bahwa pendapat para imam madzhab diatas mempunyai perbedaan dengan pendapat Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai sebuah lembaga fatwa, atau bahkan lebih dari itu merupakan satu-satunya lembaga yang fatwanya menjadi rujukan bagi transaksi perbankan syariah. Hal tersebut nampak dalam fatwa DSN No. 7/DSN-MUI/IV/2000 yang menjelaskan bahwa pada “prinsipnya pembiayaan mudarabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. jaminan ini hanya dapat di cairkan jika mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati.”
Sama halnya dengan munculnya berbagai pendapat di atas yang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melatarbelakanginya, maka fatwa DSN tersebut sebenarnya juga memiliki konteks sosial dan ekonomi juga. Sehingga, memang kondisi masyarakat yang berbeda dengan masa lalu, di mana tingkat kejujuran dan kepercayaannya juga berbeda, termasuk dalam memegang dan menunaikan sebuah amanah juga telah mengalami banyak pergeseran.
3. Jaminan dalam hukum perdata
Istilah jaminan jika dirunut, sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu Zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di samping tanggung jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Dalam hukum dan perundang-undangan yang ada, istilah jaminan juga dikenal dengan agunan.
Hal ini dijumpai misalnya dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, defenisi agunan adalah: “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.” Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Sedangkan Pasal 1 Angka 26 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan Agunan merupakan jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.
Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh M. Bahsan yang berpendapat bahwa jaminan adalah: “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat”.
Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
a. Jaminan perorangan (personal/coorporate guarantee) diatur dalam pasal 1820-1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Jaminan Kebendaan seperti Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPer.
4. Mengapa diperlukan jaminan menurut hukum perdata
Diperlukannya, atau bahkan diwajibkannya keberadaan jaminan dikarenakan jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini dapat memberikan manfaat, bukan saja terbatas bagi kreditur, namun bagi debitur pun juga demikian. Manfaat bagi kreditur adalah :
a. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang.
b. Memberikan kepastian hukum terhadap kreditur, ialah bahwa barang jaminan tersedia setiap waktu untuk di eksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutang dari penerima (pengambil) kredit.
5. Fatwa MUI tentang Jaminan
Jika dilihat dari bagaimana fatwa DSN MUI dapat memperbolehkan jaminan dalam akad mudarabah, maka perlu dicermati bagaimana fatwa tersebut memberikan kesimpulan hukum yang sedemikian itu.
Di antara konsideran dari fatwa tersebut adalah Hadis Nabi yang artinya: “tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR.Ibnu Majah, Dara Qutni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri). Di samping mengambil hadis Nabi Muhammad sebagai dasar pijakannya, terdapat juga dalil yang berupa Kaidah Fiqh. Kaidah yang dimaksud adalah “Pada dasarnya semua bentuk muamalat dapat dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Sehingga, fatwa yang muncul kemudian memberikan kebolehan bagi penerapan jaminan ini. Pada angka tujuh tentang ketentuan pembiayaan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudarabah disebutkan pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudarabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya bisa dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
Namun perlu disebutkan juga bahwasanya DSN bukan tidak menyadari adanya larangan bagi pemberlakuan jaminan untuk akad semacam ini. Karena disebutkan juga dalam fatwa tersebut bahwa pada dasarnya dalam mudarabah tidak ada ganti rugi karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah kecuali dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan. Dicantumkan juga, bahwa jika salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrasi syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
6. Analisis jaminan dalam perjanjian pembiayaan Mudarabah No. 10423/MDA/VI/2012
Dalam berinvestasi bank syariah memiliki prinsip untuk tidak pernah merugi, dan kemungkinan tersebut tidak akan terjadi selama bank tidak ikut menanggung kerugian yang dialami oleh nasabahnya (commanditeringsverbod). Dalam perjanjian tersebut dalam pasal 2 tentang kesepakatan bagi hasil dan angsuran poin 3 bahwa bank akan menanggung kerugian yang timbul sebesar nisbah bank, padahal praktek yang seharusnya dalam mudarabah antara shahib al-mal dan mudharib sama-sama menanggung kerugian dan keuntungan. Kemudian dijelaskan dalam pasal 7 tentang pernyataan dan jaminan poin 1 bahwa yang menjadi jaminan dalam perjanjian pembiayaan mudarabah adalah sertifikat hak milik tanah tegal beserta apa yang tumbuh dan berdiri di atasnya, namun semua biaya baik dari segi pemeliharaan objek jaminan, kerusakan, kehilangan bahkan pembukuan semuanya atas biaya nasabah.
Untuk memahami dan menganalisis mengapa dalam akad mudarabah tersebut jaminan diberlakukan, perlu dilihat bagaimana pertimbangan yang diberikan. Jika dianalisa, resiko yang terdapat dalam akad mudarabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi diantaranya:
a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan yang seperti disebut dalam kontrak.
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja.
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Untuk itulah maka kemudian bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Terlebih lagi, jika dilihat dari prinsip prudensial yang harus dipatuhi juga sama dengan yang berlaku pada perbankan konvensional. Berarti bahwa prinsip dalam analisis pembiayaan di bank syariah juga menekankan 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition. Prinsip keempat (collateral) artinya bahwa bank dalam melakukan pendekatan analisis pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.
Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa jaminan difungsikan sebagai perlindungan hak-hak LKS yakni agar mudharib tidak melakukan penyimpangan terkait tentang hal-hal yang telah disepakati bersama dalam Akad.
Di samping berbagai pertimbangan tersebut, DSN MUI menyebutkan bahwa jaminan dapat dicairkan jika terjadi penyimpangan dan pelanggaran. Secara umum, penyimpangan timbul karena adanya moral hazard. Moral hazard terjadi ketika masalah moral dan etika dalam berbisnis tidak diindahkan.
Dalam hal penyelesaian sengketa dalam perjanjian melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Hal ini sudah sesuai dengan kompetensi Pengadilan Agama dalam Pasal 49 Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, meskipun dalam Fatwa DSN MUI penyelesaian sengketa diselesain melalui Badan Arbitrasi Syariah.

C. Kesimpulan
Pembiayaan mudarabah secara karakteristiknya merupakan produk investasi murni dan pihak bank syariah mewajibkan nasabah debitur untuk menyerahkan jaminan dengan perjanjian riil sebagai bentuk kemampuan debitur mengembalikan dana. Jaminan menjadi salah satu bentuk keyakinan dan kehati-hatian bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan dan mengukur kemampuan nasabah debitur melakukan kewajibannya untuk mengelola usaha dan mendatangkan keuntungan yang dibutuhkan bersama. Meskipun jaminan pada akad mudarabah tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih klasik, namun menurut Ulama’ kontemporer (Fatwa DSN MUI) tetap sah karena dana yang dikelola pihak bank bukan dana milik sendiri melainkan dana pihak ketiga sebagai nasabah kreditur bank syariah. Jaminan penting sebagai pegangan untuk mengurangi risiko dan mewujudkan maslahat bersama antara
Nasabah dan kreditur.
D. Daftar Pustaka
Hukum
A. Wangsawidjaja Z., Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Abdul Ghofur Anshory, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Abdullah Saed, Bank Islam Dan Bunga (Studi Kritis Dalam Interpetasi Kontemporer Tentang Riba Dan Bunga), alih bahasa Muhammad Ufuqul Mubin, Cet ke-2, Yogyakarta ,Pustaka Pelajar, 2004.

Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Islam, Yogyakarta: UII, 1993. 
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Jakarta: Renika Cipta, 2009.

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Mesir: Dar al-Fikr, t.th.

Makhalul Ilmi, Teori Dan Praktek Lembaga Mikro Syariah, Cet ke1, Yogyakarta, UII Pres. 2002.

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverban, Gadai, dan Fiducia, Cet. IV, Bandung: Alumni, 1987.

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Jakarta: UPP AMP YMKN, 2002.

M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: Rejeki Agung: 2002. 

M. Abdul Mudjieb, Kamus Fiqh, Jakarta: Pustaka Firasu, 1994.

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Cet. Ke-3, Yogyakarta: Liberty Offset, 2003.

Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.

Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 2000.

Titi Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Undang-undang
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama.

Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentan Perbankan Syariah.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudarabah.

0 Response to "JAMINAN DALAM AKAD BAGI HASIL DI PERBANKAN SYARIAH"

Post a Comment