Kewarisan Anak Luar Kawin (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010)
January 23, 2018
Add Comment
ABSTRAK
Masalahpenelitiannya adalah Bagaimana Kewarisan Anak Luar Kawin menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Bagaimana pandangan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dan jenis penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang bercorak kepustakaan (Library Research). Disamping itu penulis juga menggunakan analisis isi (content analysis), yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu objek yang diteliti.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari. Pertama, sumber data primer yang terdiri dari dokumen register Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, KHI dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya yang terkait dengan masalah penelitian penulis. Kedua, sumber data sekunder yang terdiri dari buku-buku, karya-karya ilmiah, jurnal, dan sebagainya.
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mencari data yang otentik yang bersifat dokumentasi dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, majalah, surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini atau catatan penting lainnya. Adapun yang dimaksud dengan dokumen disini adalah dokumen yang berkaitan dengan perkara dan kajian anak diluar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara membaca dan memahami buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dikaji, kemudian data tersebut dikumpul dan diseleksi apakah data tersebut memenuhi kriteria dan berhubungan dengan masalah yang dikaji.
Hasil penelitian ini mengungkapkan dua hal. Pertama, pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak luar kawin atau anak yang lahir dari perkawinan sirri ataupun tidak dicatatkan berhak mendapatkan warisan, apabila telah dibenarkan Peradilan antara ayah dan anak memiliki hubungan darah serta anak tersebut digolongkan menjadi anak sah. Kedua, kewarisan anak luar kawin atau yang dilahirkan dari perkawinan sirri ataupun tidak dicatatkan hanya dapat dilakukan melalui jalur wasiat. Hal ini karena anak tersebut hanya dapat dinisbahkan kepada ibunya dan tidak terhitung sebagai ahli waris dari ayahnya.
Keyword: Kewarisan anak luar kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi, Hukum Islam
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya setiap manusia mengumpulkan dan memiliki harta dalam hidupnya. Pada saat manusia meninggal dunia ia meninggalkan seluruh harta miliknya tersebut sebagai harta warisan. Dalam Islam, cara mengalihkan harta warisan itu kepada ahli waris diatur dalam hukum waris. Dalam Hukum Islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya.[1]
Berdasarkan defenisi Hukum Waris tersebut diatas, dalam pewarisan ada tiga permasalahan pokok satu dan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, seseorang yang meninggal dunia, ada harta peninggalan, ada ahli waris yang berhak atas harta peninggalan tersebut.[2]
Jadi hukum waris itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia dan ahli warisnya.
Dalam Hukum Islam sebab-sebab terjadinya suatu pewarisan ada 4 hal, yaitu, pertama, Karena adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan seseorang tersebut. Kedua, Karena adanya hubungan darah dengan si mayit baik itu ibu, bapak, kakek, nenek, dll. Ketiga, Karena memerdekakan si mayit. Keempat, Karena sesama Islam.[3]
Sedangkan seorang ahli waris terhalang mendapatkan warisan dikarenakan 3 hal, yaitu, Pembunuhan terhadap si pewaris, Perbedaan agama dan Perbudakan.[4]
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah membenihkan anak di rahimnya, anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya. Dengan kata lain anak tidak sah adalah anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai akibat suatu perkawinan yang sah. [5]
Dalam realita kehidupan terdapat beberapa macam masalah yang sering membuat resah masyarakat, salah satunya adalah mengenai status anak luar kawin. Status anak luar kawin sering dipandang sebelah mata bahkan dianggap sebagai anak haram yang tidak memiliki hak yang sempurna seperti anak pada umumnya. Anak luar kawin dalam pandangan umum masyarakat, bukan hanya tidak berhak mendapatkan warisan, tetapi juga bahkan tidak berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologisnya.
Dalam duduk perkara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dijelaskan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, sehingga oleh karenanya pernikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18 Juni 2008, halaman ke-5, alinea ke-5 yang menyatakan: " Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono; Bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan; Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum; Sedangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Artinya, UUD 1945 mengedepankan norma hukum sebagai bentuk keadilan terhadap siapapun tanpa diskriminatif. Tetapi, UU Perkawinan berkata lain yang mengakibatkan Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya. Secara konstitusional, siapapun berhak melaksanakan perkawinan sepanjang itu sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam hal ini, Pemohon telah melaksanakan perkawinannya sesuai dengan norma agama yang dianutnya yaitu Islam, serta sesuai dengan rukun nikah sebagaimana diajarkan oleh Islam. Bagaimana mungkin norma agama diredusir oleh norma hukum sehingga perkawinan yang sah menjadi tidak sah. Akibat dari diredusirnya norma agama oleh norma hukum, tidak saja perkawinan Pemohon statusnya menjadi tidak jelas tetapi juga mengakibatkan keberadaan eksistensi anaknya di muka hukum menjadi tidak sah.[6]
Atas dasar menjunjung tinggi nilai keadilan yang tentunya bermaslahat, Hakim Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 menetapkan anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010 mengenai status anak luar kawin.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 juga memutuskan bahwa status anak luar kawin juga mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya, karena tidak adil jika anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibunya dengan membiarkan laki-laki yang menghamili si Ibu tersebut. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan harus dibaca sebagai berikut:
“anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”[7]
Perubahan isi Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut diatas merupakan pembentukan norma hukum baru dalam UUP yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Oleh sebab itu status anak luar kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010 tersebut banyak menarik perhatian masyarakat, terutama dikalangan para ulama. Hal ini disebabkan status baru anak luar kawin menurut Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan nilai kesucian suatu perkawinan yang dianggap sebagai pertalian yang kuat “mitsaqan ghalidzan”.[8]
B. Rumusan Masalah
Untuk menjelaskan masalah yang akan dibahas serta untuk memudahkan penyusunan skripsi ini maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kewarisan Anak Luar Kawin menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?
2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?
Anak luar kawin yang penulis maksudkan adalah anak yang lahir dari hasil perkawinan antara seorang pria dan wanita secara dibawah tangan, atau disebut nikah sirri, ataupun sering juga disebut perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang (Kantor Urusan Agama).
C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan data akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana kewarisan anak luar kawin menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.
2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap kewarisan anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010.
D. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang bercorak kepustakaan (Library Research). Sumber data diproleh dari, pertama, data primer diperoleh dari dokumen register dan berkas perkara Anak Luar Kawin Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya yang terkait masalah ini serta artikel ilmiah terkait. Kedua, diperoleh dari Jurnal, buku-buku, karya-karya ilmiah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.
Salah satu metode yang digunakan untuk mencari data yang otentik yang bersifat dokumentasi dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, majalah, surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini atau catatan penting lainnya.[9]
Mengingat penelitian ini bercorak kepustakaan (Library Research) maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara membaca dan memahami buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dikaji, kemudian data tersebut dikumpul dan diseleksi apakah data tersebut memenuhi kriteria dan berhubungan dengan masalah yang dikaji. Data yang terkumpul dari berbagai sumber yang relevan kemudian ditinjau dengan menggunakan pola pikir berikut ini:
- Deduktif, yaitu dengan menggunakan data yang bersifat umum lalu disimpulkan dalam bentuk khusus.
- Induktif, yaitu menggunakan data yang bersifat khusus kemudian disimpulkan dalam bentuk umum.
- Deskriptif, yaitu menggambarkan dalam bentuk tulisan data yang bersifat informatif.
Disamping menggunakan tekhnik pengumpulan data yang telah penulis paparkan, penulis juga menggunakan analisis isi (content analysis), yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu objek yang diteliti.
E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Kewarisan Anak Luar Kawin Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan dimata hukum berdasarkan perkawinan orangtuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah di mata hukum, sedangkan anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin ketika kelak ia terlahir di dunia.[10]
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah membenihkan anak di rahimnya, anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya. Dengan kata lain anak tidak sah adalah anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai akibat suatu perkawinan yang sah. [11]
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 42 menyebutkan:
“anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. [12]
Jadi anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padanya, serta berhak untuk memakai nama di belakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya.[13]
Macam-macam anak yang dikenal di Indonesia ini memuat dua makna yang berbeda, yaitu:
Pertama, Anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang telah terikat hubungan perkawinan secara agama, tetapi tidak memiliki legalitas disebabkan perkawinan tersebut tidak dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, Anak yang lahir tanpa pernikahan yang sah, hanya disebabkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sesuai agama dan kepercayaan masing-masing pihak.
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, hal ini sesuai dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Sehubungan dengan itu kemudian keluarlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 46/PUU-VIII/2010 dikeluarkan pada tanggal 17 Februari 2012 berdasarkan permohonan uji materiil Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang diajukan oleh Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar.
Machica Mochtar mempertanyakan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Akibat kedua pasal tersebut, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak bisa mendapatkan pengesahan status hukum bagi anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan yang merupakan hasil hubungan dari perkawinan sirri. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 yang bersusunkan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, menyebutkan dan mengabulkan permohonan uji materiil Machica Mochtar sebagai berikut : Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[14]
Mahkamah Konstitusi berpendapat tentang Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut “Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.[15]
Irma Devita menyampaikan bahwa Dr. H.M. Akil Mochtar berpendapat mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak menyangkal ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga bagi yang beragama Islam, implementasinya tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syar’i. Apabila pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin bukan merupakan anak yang sah. Menurut Akil, “ Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan diluar kawin dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 1 Tahun l974. Adapun yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain misalnya dengan konsep wasiat. Demikian pula yang berkaitan dengan nafkah/ biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang/ harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa”[16]
Akil Mochtar menyebutkan dalam pengujian pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Mahkamah Konstitusi berpendapat pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah.[17] Anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak luar kawin. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan bahwa yang dimaksud Majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil kawin sirri.
Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan “pengakuan sukarela” dari laki-laki yang menjadi ayahnya. Akan tetapi, terhadap proses pengakuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri yang menimbulkan sengketa maka harus dapat dibuktikan kebenaran mengenai laki-laki yang menjadi ayah dari si anak melalui proses peradilan. Proses peradilan dalam pemeriksaan dan pembuktian kebenaran ayah dari si anak, tidak serta merta mengukuhkan perkawinan yang dilakukan secara sirri menjadi tercatat secara administratif menurut aturan administrasi negara. Bila peradilan membenarkan adanya hubungan darah antara bapak dan anak dalam perkawinan sirri tersebut maka kedudukan anak adalah sebagai anak yang sah, sehingga hak-hak keperdataan anak menjadi layaknya hak-hak keperdataan anak sah.[18]
Anak luar kawin dalam artian anak hasil perkawinan seorang laki-laki dan perempuan secara sirri atau dibawah tangan ataupun yang sering disebut tidak dicatatkan dalam lembaga negara yang berwenang yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki status yang sama dengan anak sah setelah peradilan membenarkan antara ayah dan anak memiliki hubungan darah baik itu yang berhubungan dengan nafkah, nasab, wali nikah, pemeliharaan maupun kewarisan.
Sebelum melakukan pembagian harta warisan langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat jenis kelamin anak tersebut apakah itu laki-laki atau perempuan karena porsi laki-laki dan porsi perempuan berbeda. Setelah mengetahui jenis kelamin dari ahli waris, kemudian dilihat apakah ahli waris tersebut tidak ada halangan untuk saling mewarisi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin mendapatkan hak waris yang sama dengan anak sah, apabila anak luar kawin tersebut lahir dalam perkawinan yang sirri. Namun ketika anak luar kawin tersebut sama sekali tidak lahir dalam ikatan perkawinan (anak hasil zina), maka tidak akan mendapatkan hak waris sama sekali.
2. Pandangan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Perkawinan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ ) رواه ابن ماجة عن عائش(
”Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana”. (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah)[19]
Kaum muslimin pada zaman dahulu, untuk melangsungkan nikah cukup dengan lafadz dan saksi hidup, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, saksi hidup tidak bisa lagi diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian , manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar itu diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut ”Akta”.[20]
Awal pencatatan perkawinan adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam Rahimahullah mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, meskipun ada diantara mereka yang mengakhirkan, tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktu lama dan terkadang lupa, maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar, dan wanita itu adalah istrinya”.[21]
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) menyatakan:
”bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[22]
Meskipun Ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab Fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama menjadi tidak sah. Kecenderungan jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab Fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan (nikah sirri) di Indonesia. Apalagi jika perkawinan itu merupakan perkawinan kedua, ketiga ataupun keempat, kecenderungan untuk kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya keadaan ini dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharusnya dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing sesuai dengan sabda Nabi saw, yaitu:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)
”Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing” (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf). [23]
Dalam masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti.[24]
Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah pencatatan perkawinan dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdur Rozzaq Afifi, Abdullah Al-Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud, yaitu: ”Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi”.[25]
Ahmad Safwat sarjana dari Mesir mengharuskan pencatatan perkawinan berdasar pada pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum itu tidak berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna (efisien). Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih diutamakan. Kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Ahmad Safwat, bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai. Kalau ada cara yang lebih baik atau lebih memuaskan untuk mencapai tujuan tersebut, cara ini dapat diganti dengan pencatatan perkawinan secara formal.[26]
Abu Zahrah mengatakan, semua ulama fiqh disetiap waktu setuju, bahwa tujuan akhir dari pentingnya saksi nikah adalah pengumuman kepada masyarakat tentang adanya perkawinan. Tujuan pencatatan tersebut adalah untuk membedakan antara perkawinan yang halal dengan yang tidak.[27]
فصل مابين الحلال والحرام الضرب بالدف
“Yang membedakan antara acara pernikahan yang halal dan yang haram, adalah adanya tabuhan rebana.[28]
Adapun tujuan pencatatan perkawinan menurut Shaltut adalah untuk memelihara hak-hak dan kewajiban paara pihak dalam perkawinan, yakni hak-hak suami/isteri dan anak-anak atau keturunan, seperti pemeliharaan dan warisan. Pencatatan ini sebagai usaha mengantisipasi semakin menipisnya iman seorang muslim. Sebab menurut Shaltut, salah satu akibat menipisnya iman orang muslim adalah semakin banyak terjadi pengingkaran-pengingkaran janji yang mengakibatkan dalih untuk lari dari kewajiban. Karena ukuran iman itu adalah sesuatu yang tersembunyi (abstrak), salah satu jalan keluarnya sebagai usaha prefentif agar orang tidak lari dari tanggung jawab adalah dengan membuat bukti tertulis.[29]
Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu dicatatkan. Tidak dipungkiri lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi penting.[30]Sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Qur’an Surah al- Baqarah ayat 282, yaitu:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya, yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al- Baqarah ayat 282)[31]
Menurut Ahmad Rofiq, ayat mudayanahdi atas mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat dibutuhkan untuk menjaga kepastian hukum. Redaksinya secara jelas menggambarkan bahwa pencatatan lebih didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi rukun. Memang patut dipertanyakan mengenai alasan mengapa para ulama dalam hal pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat mudayanah tersebut. Dengan memperhatikan ayat mudayanah di atas, secara metodologis, status hukum pencatatan perkawinan dalam perundang-undangan hukum keluarga muslim di berbagai Negara Islam yang mayoritas mengharuskan adanya pencatatan itu, bisa didasarkan pada metode qiyas (deduksi analogis), yaitu perintah membuat bukti otentik secara tertulis pada transaksi utang piutang (jual-beli) yang tidak tunai. Pencatatan perkawinan (pembuatan akta nikah) bisa dianalogikan dengan perintah pembuatan bukti tercatat (perjanjian) utang-piutang karena keduanya memiliki kesamaan illat, yakni terabaikannya hak bagi para pihak yang melakukan transaksi jika tidak ada akta perjanjian. Artinya dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam transaksi. Sebagaimana masalah utang piutang, perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang mengakibatkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terkait dengannya dan segala implikasi yang ditimbulkannya, maka pencatatan perkawinan juga menjadi suatu yang penting dalam rangka mewujudkan kepastian hukum.[32]
Selain metode qiyas, pencatatan perkawinan bisa didekati dengan metode Sadd al-Zari'ah. Sadd artinya menutup, al-zari’ah artinya jalan ke suatu tujuan. Jadi Sadd al-zari’ah artinya menutup jalan kepada suatu tujuan. Secara istilah, Abd Karim Zaidan mendefinisikan menutup jalan (sarana) yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[33]Sebagaimana perjanjian (akta) utang-piutang dan sertifikasi benda wakaf, akta nikah merupakan sarana untuk membuktikan eksistensi perkawinan. Artinya akta nikah bisa dipahami sebagai instrument (wasilah) untuk menjaga hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga dalam bingkai yuridis formal. Memenuhi hak seseorang adalah wajib, jika tanpa akta nikah, hak salah satu anggota keluarga tidak dapat terjamin, maka mengadakan akta nikah hukumnya juga wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih (suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu tersebut menjadi wajib adanya). Kaidah fikih yang lain: (perintah terhadap sesuatu berarti perintah untuk mengadakan perantaranya wasilah (alat untuk mencapainya), dan hukum yang ada pada perantara sama dengan hukum yang ada pada tujuan).[34]
Selain menggunakan metode qiyas dan Sadd al-Zari'ah, pencatatan perkawinan bisa dicari sandaran hukumnya dengan metode maslahah al-mursalah (public interest). Maslahah al-mursalah merupakan salah satu bentuk maslahah. Dalam kajian maslahah, dipahami bahwa seluruh hukum yang ditetapkan Allah atas hamba-Nya dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung maslahat. Di balik suruhan terdapat maslahat berupa manfaat bagi pelakunya baik secara langsung atau tidak, misalnya perintah shalat mengandung manfaat antara lain untuk ketenangan rohani dan kebersihan jasmani. Dan dibalik larangan terdapat maslahat berupa terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan, misalnya, larangan minum minuman keras akan menghindarkan manusia dari mabuk yang bisa merusak akal. Setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara' dalam bentuk suruhan. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia mengandung kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada hukum syara' dalam bentuk larangan. Kalau dicermati, Menurut Syatibi, metode maslahah al-mursalah sesungguhnya dalil qat'i, yang dibangun atas dasar metode induksi (istiqra'i). Dalil ini dibangun dari peristiwa-peristiwa yang bersifat individu (kasus-kasus) dalam masyarakat, kemudian ditarik kesimpulan secara umum. Misalnya, gambaran seorang istri (dengan nikah sirri) dan anak-anaknya, jika suatu saat menghadapi kenyataan ditinggal pergi oleh suaminya dan tidak diketahui entah dimana, sementara nafkah lahir tidak diberikan, apalagi nafkah batin, lebih-lebih lagi istri tidak memiliki pekerjaan dan harus menghidupi anak-anaknya, jika tidak memiliki salinan akta nikah, maka istri dan anak-anak tersebut tidak dapat mengajukan tuntutan haknya kepada suaminya, karena tidak memiliki sarana untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan. Berbeda halnya jika ada salinan akta nikah, seorang istri dan anak-anaknya dapat melakukan upaya hukum untuk mendapatkan haknya yang ditelantarkan. Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di masyarakat kita terutama di masyarakat yang cara berfikirnya berorientasi pada fikih sentries. Mereka mengabaikan pencatatan perkawinan, dengan melakukan nikah sirri dan poligami liar, karena bagi mereka pencatatan perkawinan tidak diatur secara tegas oleh al-Qur'an dan sunnah, disamping itu mereka meyakini bahwa sahnya perkawinan hanya diukur dari pemenuhan syarat dan rukun perkawinan saja berdasarkan ketentuan fikih. Memang diakui tidak setiap nikah sirri mempunyai nasib sama sebagaimana gambaran di atas, namun yang jelas seorang istri tidak memiliki jaminan hukum akan haknya jika terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Ini sejalan dengan prinsip fiqh:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
“Menolak kemadharatan lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan”
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian, perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
”Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.[35]
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat.[36]
Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini sudah jelas-jelas bertentangan dengan Hukum Islam karena sudah membenarkan perkawinan sirri sesuai dengan pernyataan Akil Mochtar yang menyebutkan dalam pengujian pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Mahkamah Konstitusi berpendapat pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah.[37] Anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak luar kawin. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan bahwa yang dimaksud Majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil kawin sirri.
Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan “pengakuan sukarela” dari laki-laki yang menjadi ayahnya. Akan tetapi, terhadap proses pengakuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri yang menimbulkan sengketa maka harus dapat dibuktikan kebenaran mengenai laki-laki yang menjadi ayah dari si anak melalui proses peradilan. Proses peradilan dalam pemeriksaan dan pembuktian kebenaran ayah dari si anak, tidak serta merta mengukuhkan perkawinan yang dilakukan secara sirri menjadi tercatat secara administratif menurut aturan administrasi negara. Bila peradilan membenarkan adanya hubungan darah antara bapak dan anak dalam perkawinan sirri tersebut maka kedudukan anak adalah sebagai anak yang sah, sehingga hak-hak keperdataan anak menjadi layaknya hak-hak keperdataan anak sah.[38]
Dari pernyataan diatas penulis berpendapat bahwa apabila pencatatan perkawinan hanya dianggap sebagai kewajiban administratif akan membuka kran bagi masyarakat untuk melakukan perkawinan sirri khususnya untuk perkawinan bagi laki-laki yang kedua, ketiga ataupun keempat kalinya dan akan mencoreng kewenangan Lembaga Perkawinan serta kemaslahatan akan tidak terwujud karena akan semakin banyak masyarakat yang tidak tunduk terhadap undang-undang.
Adapun mengenai status anak yang dilahirkan melalui perkawinan sirri menurut Hukum Islam tidak dapat dilaksanakan melalui warisan karena anak tersebut lahir diluar perkawinan yang sah.
Status anak di luar kawin (sirri), disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li'an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
1. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
2. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan.
3. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila anak di luar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.[39]
Hadis yang mengatur bahwa anak luar nikah hanya dihubungkan dengan ibunya yaitu:[40]
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث " رواه الترمذى - سنن الترمذى “
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)
Kontradiksi antara putusan Mahkamah Konstitusi dengan Fikih juga dipertegas oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Amidhan, beliau menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi menyangkut status anak yang lahir di luar perkawinan sebaiknya dikaji ulang. Anak di luar kawin menurut fatwa MUI tidak mempunyai hubungan nasab, dan tidak berhak memperoleh warisan dari lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, seperti untuk mencukupi kebutuhan anak tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui wasiat. MUI kemudian merekomendasikan agar setiap Putusan Mahkamah Konstitusi harus terlebih dahulu dilakukan pengkajian mendalam, sebab Putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan tidak bisa diubah.[41]
Adapun anjuran untuk berwasiat terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180, yaitu:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.[42]
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 2, yaitu:
وَءَاتُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰٓ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَتَبَدَّلُواْ ٱلۡخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِۖ وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبٗا كَبِيرٗا ٢
”Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (QS. An- Nisa’ ayat 21)[43]
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundang-undangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak termasuk yang berkaitan dengan hak waris. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan Hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam Kaidah Fiqh, yaitu:
تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
”Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.[44]
F. Kesimpulan
1. Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak luar kawin atau anak yang lahir dari perkawinan sirri ataupun tidak dicatatkan berhak mendapatkan warisan, apabila telah dibenarkan Peradilan antara ayah dan anak memiliki hubungan darah serta anak tersebut digolongkan menjadi anak sah.
2. Kewarisan anak luar kawin atau anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri ataupun tidak dicatatkan hanya dapat dilakukan melalui jalur wasiat. Hal ini karena anak tersebut hanya dapat dinisbahkan kepada ibunya dan tidak terhitung sebagai Ahli Waris dari ayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1993
As- Syayuti, Al- Asbah Wa An- Nazhair, (Beirut: Dar Al- Kutub Al- Ilmiah, 1993
Ash-Shabumi Ali Muhammad, Hukum Waris Islam, Surabaya: al- Ikhlas, 1995.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang:Asy-Syifa, 2010
Efendi Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2006
Hasaballah Ali, Ushul al-Tasyri al-Islami, Kuwait:Dar al-Ma’arif, tt
LubisK. Suhrawardi dan Simanjuntak Komis, Hukum Waris Islam Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Majah Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Semarang: Toha Putra, tt,
Manan Abdul, Aneka Masalah Hukum di Indonesia, Jakarta:Putra Grafika, 2008
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:1998
Nuruddin Amiur dan Tarigan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dan Fikih UU No 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004
Ramulyo Idris , Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut KUH Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Rofiq Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003
Rofiq Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan UUP), Jakarta: Prenada Media Group, 2002
Syaltut Mahmud, al Fatawa Dirasrah Li Musykilat al-Muslim al-Mu’ashirah fi Hayatihi al-Yaumiyah wa al-‘Ammah, Mesir: dar al-Kalam, tt
Witanto. D.Y, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Jakarta: Pustaka Raya, 2012
Zahrah Abu Muhammad, Muhadarat fi ‘Aqdi al-Ziwaj wa Atharuhu, Beirut:Dar al-Fikr Arabiyah, tt
Dari Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Dari Internet
Fatawa Lajnah Daimah 18/87. Nomor. 7910.
Fatwa Majlis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”,(Online), (http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentang-kedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya/;#sthash.FbDbWQeH.dpbs, diakses 14 Mei 2015)
Fatwa Tarjih, 2012, Hukum Nikah Sirri, (Online), (http://ushulfiqhislam.blogspot.com/2012/06/hukum -nikah-siri.html, diakses 19 Maret 2015).
Irma Devita, 2011, Pengertian Anak Luar Kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Online), (http://irmadevita.com/2012/pengertian-anak-luar-kawindalam-putusan-Mahkamah Konstitusi, diakses 6 Maret 2015)
Irma Devita. 2012. Pengertian Anak Luar Kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Online), (http://irmadevita.com/2012/pengertian-anak-luar-kawindalam-putusan-Mahkamah Konstitusi, diakses 6 Maret 2015)
Khoirul Abror. 2013. Problematika Nikah Tidak Tercatat Antara Hukum Nasional dan Hukum Islam. (Online), http://khoirulabror.blogspot.com/2013/12/problematika-nikah-tidak-tercatat.htmldiakses 19 Maret 2015.
Prianter Jaya Hairi, “Status Keperdataan Anak Diluar Nikah Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Info Singkat Hukum, Vol. IV, No. 06/II/P3DI/Maret/2012.
[1] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Hlm. 1
[2]Ibid., hlm. 104.
[3]Suhrawardi. K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 55
[4]Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: al- Ikhlas, 1995), hlm. 58.
[5]M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 16.
[6]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 3-5.
[7]Ibid., hlm. 37.
[8]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan UUP), (Jakarta: Prenada Media Group, 2002), hlm, 35.
[9]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 206.
[10]D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin (Jakarta: Pustaka Raya, 2012), hlm. 4.
[11]Ibid., hlm.16.
[12]Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42.
[13]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum di Indonesia, (Jakarta:Putra Grafika, 2008).Hlm. 79.
[14]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Op. Cit, hlm. 35.
[15]Ibid., hlm. 34.
[16] Irma Devita. 2013. Pengertian Anak Luar Kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (Mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010), (Online), (http://irmadevita.com/2013/pengertian-anak-luar-kawindalam-putusan-Mahkamah Konstitusi, diakses 6 Maret 2015)
[17] Ibid.
[18]Irma Devita, 2013. Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK (Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK), (Online), (http://irmadevita.com/2013/perlindungan-anak-luar-kawin-pasca-putusan mk/, diakses 6 Maret 2015)
[19]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Semarang: Toha Putra, tt,), hlm. 611.
[20]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dan Fikih UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 121.
[21]Khoirul Abror. 2013. Problematika Nikah Tidak Tercatat Antara Hukum Nasional dan Hukum Islam. (Online), (http://khoirulabror.blogspot.com/2013/12/problematika-nikah-tidak-tercatat.html, diakes 19 Maret 2015)
[22]Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2).
[23]Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:1998), hlm. 180.
[24]Ibid., hlm. 181.
[25]Fatawa Lajnah Daimah 18/87. Nomor. 7910.
[26]http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2010/11/pencatatan-perkawinan-dalam-pandangan.html, diakses 19 Maret 2015.
[27]Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi ‘Aqdi al-Ziwaj wa Atharuhu, (Beirut:Dar al-Fikr Arabiyah, tt), hlm. 91.
[28]Ibnu Majah, Loc. Cit.
[29]Mahmud Syaltut, al Fatawa Dirasrah Li Musykilat al-Muslim al-Mu’ashirah fi Hayatihi al-Yaumiyah wa al-‘Ammah, (Mesir: dar al-Kalam, tt), hlm. 271.
[30]Mudzar. Op. Cit, hlm. 112.
[31]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,(Semarang:Asy-Syifa, 2010).hlm. 37.
[32]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003), hlm. 119.
[33]Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 172.
[34]Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri al-Islami, (Kuwait:Dar al-Ma’arif, tt), hlm. 317.
[35]Fatwa Tarjih, 2012, Hukum Nikah Sirri, (Online), (http://ushulfiqhislam.blogspot.com/2012/06/hukum -nikah-siri.html, diakses 19 Maret 2015).
[36]Ibid,
[37] Irma Devita, Op. Cit
[38]Ibid.
[39]Prianter Jaya Hairi, “Status Keperdataan Anak Diluar Nikah Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Info Singkat Hukum, Vol. IV, No. 06/II/P3DI/Maret/2012, hlm. 3.
[40] Fatwa Majlis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”,
(Online), (http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentang-kedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya/;#sthash.FbDbWQeH.dpbs, diakses 14 Mei 2015)
[41]Ibid.
[42]Departemen Agama Republik Indonesia. Op. Cit, hlm. 21.
[43]Ibid, hlm. 5.
[44]As- Syayuti, Al- Asbah Wa An- Nazhair, (Beirut: Dar Al- Kutub Al- Ilmiah, 1993), hlm. 184.
0 Response to "Kewarisan Anak Luar Kawin (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010)"
Post a Comment