AYAT DAN HADIS TENTANG FAKTOR PRODUKSI: TENAGA KERJA
January 23, 2018
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sebagian istilah kerja dalam ilmu ekonomi dipakai dalam pengertian yang sangat luas. Setiap pekerjaan, baik manual maupun mental yang dilakukan karena pertimbangan uang disebut kerja. Setiap kerja yang dilakukan untuk tujuan bersenang-senang dan hiburan semata tanpa ada pertimbangan untuk mendapatkan imbalan atau kompensasi tidak dinamakan kerja. [1]
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang amat penting. Bahkan kekayaan alam suatu negara tidak akan berguna jika tidak dimanfaatkan oleh manusianya. Alam memang amat dermawan bagi suatu negara dalam menyediakan sumber daya alam yang tak terbatas, tetapi tanpa usaha manusia, semuanya tidak akan tetap terpakai. Pakistan begitu dikatakan adalah negeri yang amat kaya yang dihuni oleh orang-orang miskin. Di pihak lain, Jepang adalah negeri yang dianugerahi sedikit kekayaan alam tetapi ia merupakan kekuatan ekonomi utama karena orang-orangnya yang sanggup bekerja keras, rajin, dan pandai. Jadi, sumber daya manusia yang mencakup tenaga kerja yang komitmen, kerja keras, dan patriotik, baik manual maupun intelektual adalah suatu keharusan bagi pembangunan ekonomi suatu negara.
Memandang arti pentingnya dalam penciptaan kekayaan, Islam telah menaruh perhatian yang besar terhadap tenaga kerja seperti sabda Rasulullah SAW: “Rafi’ bin Khudaij melaporkan bahwa Rasulullah SAW ditanya “Hai Rasulullah SAW, rezeki manakah yang terbaik? Beliau menjawab: setiap rezeki yang diperoleh orang dari tangannya sendiri dan setiap jual beli yang jujur (HR. Ahmad).”
Islam menitikberatkan baik tenaga kerja fisik maupun intelektual. Al-Qur’an menuju kepada kerja manual ketika ia berbicara mengenai manufaktur baju perang oleh nabi Daud, dan memelihara domba oleh Nabi Musa. Al-Qur’an juga merujuk kepada tenaga kerja intelektual ketika ia menyebut riwayat Nabi Yusuf yang ditunjuk untuk mengawasi perbendaharaan negara oleh Rajanya.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
1. QS. Yusuf: 55:
a. Nash
قَالَ ٱجۡعَلۡنِي عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلۡأَرۡضِۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٞ ٥٥
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."
b. Munasabah:
QS. Yusuf: 54
وَقَالَ ٱلۡمَلِكُ ٱئۡتُونِي بِهِۦٓ أَسۡتَخۡلِصۡهُ لِنَفۡسِيۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُۥ قَالَ إِنَّكَ ٱلۡيَوۡمَ لَدَيۡنَا مَكِينٌ أَمِينٞ ٥٤
Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami."
c. Tafsir
Ketika Raja telah mengetahui bahwa Yusuf AS bersih dari segala tuduhan keji terhadapnya dan tampaklah sifat amanahnya serta kesabaran, sifat tabah, dan ketinggian derajatnya, juga yakin akan kemuliaan akhlaknya, Raja berkata ٱئۡتُونِي بِهِۦٓ أَسۡتَخۡلِصۡهُ لِنَفۡسِي “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku”, maksudnya ia akan kujadikan orang yang dekat denganku dan dijadikan sebagai penasehatku. Diriwayatkan dari Wahab bin Munabbih, dia berkata, ketika Yusuf diminta untuk datang dan Yusuf telah berdiri di depan pintu masuk, Yusuf berkata, cukuplah Rabbku bagiku dari makhluk-makhluk-Nya, Tuhan yang Maha Mulia, yang Maha Terpuj, tiada Tuhan selain Allah, dan kemudian masuk. Ketika Raja melihat kearah Yusuf, Raja turun dari tempat duduknya, sedangkan Yusuf datang lalu menyungkur sujud. Raja lalu membangunkan Yusuf dan mendudukkan di sisinya di atas rajang tempat duduknya.[3]
Ketika Yusuf mengucapkan salam kepada Raja, Sang Raja bertanya, bahasa apa ini? Yusuf menjawab, ini adalah bahasa pamanku, Ismail. Selanjutnya Yusuf mendoakan Raja dengan bahasa Ibrani. Sang Raja lalu bertanya, bahasa apa ini? Yusuf menjawab, ini bahasa moyangku, Ibrahim, Ishaq, dan Ya’kub. Saat itu sang Raja mempunyai kemampuan 70 bahasa. Setiap kali dia berbicara dengan sebuah bahasa, Yusuf menjawabnya dengan bahasa tersebut. Raja heran dengan apa yang dimiliki Yusuf.[4]
Raja bertanya kepada Yusuf, Aku mau mendengar langsung mimpiku dari lidahmu, Yusuf berkata, ya wahai Raja, Engkau melihat 7 ekor sapi betina gemuk-gemuk yang warnanya subhan ghurran dan cantik. Ketika lembu-lembu itu keluar dari Sungai Nil, dari sisinya mengalir susu. Ketika Engkau tercengang melihat kecantikannya, tiba-tiba Sungai Nil mengering dan airnya berubah, hingga tampaklah dasarnya. Dari balik lumpur-lumpurnya keluar tujuh ekor sapi betina kurus-kurus, kusut, berdebu, dan dengan perut mengerut. Lembu-lembu itu tidak memiliki puting dan ambing. Lembu-lembu itu mempunyai gigi taring dan gigi geraham. Telapak tangannya beserta jemarinya seperti telapak tangan dan jemari anjing. Moncongnya seperti moncong binatang buas. Lembu-lembu kurus itu lalu memakan lembu-lembu gemuk, mengoyak-ngoyak kulitnya, membanting-banting tulangnya, menguras otaknya. Ketika Engkau melihat yang demikian itu dengan takjub, bagaimana mungkin lembu-lembu yang kurus itu dapat mengalahkan lembu-lembu yang gemuk! Bertambahlah ketakjubanmu melihat kenyataan lembu-lembu itu tetap dalam keadaan kurus. Pada saat yang sama 7 bulir gandum yang hijau-hijau, segar, gemuk dengan biji dan air, dan sisinya 7 bulir gandum yang kering-kering, tidak mengandung air dan tiada sedikitpun ada warna hijau pada batangnya padahal akar-akarnya tertanam di tanah basah dan berair. Ketika hatimu bergumam, Apa ini? Yang ini hijau berbuah, dan yang itu hitam dan kering, tempat tumbuhnya satu, akar-akarnya semua berada di air, apabila angin berhembus, hembusannya menerbangkan daun-daun dari bulir-bulir yang kering hitam menerpa dedaunan dari bulir-bulir hijau, persentuhan itu melahirkan nyala api membakar dedaunan yang hijau menjadikannya hitam berdebu. Pada saat demikian Engkau terbangun wahai Raja.[5]
Raja berkata, demi Allah, apa arti mimpi ini. Yusuf berkata, menurutku, Engkau harus menyimpan makanan dan banyak menanam untuk persediaan bahan makanan di masa subur ini, walaupun engkau menanamnya di atas batu atau tanah liat, tanaman itu akan tumbuh. Pada masa tersebut Allah akan memberi demikian banyak penghasilan dan berkah, selanjutnya, yang harus Engkau lakukan adalah membiarkan hasil pertanian itu tetap pada batangnya yang menyimpannya pada lumbung penimbunan bahan makanan. Batang dan dedaunannya kelak berguna untuk hewan-hewan, dan bebijiannya untuk manusia, kemudian Engkau memerintahkan rakyatmu untuk menyerahkan sebagian bahan makanannya dan menyimpanya pada lima dari tempat-tempat penyimpanan bahan makanan. Bahan makanan yang Engkau simpan itu akan mencukupi untuk seluruh penduduk negeri dan penduduk sekitarnya. Penduduk-penduduk negeri lain akan datang menemuimu mengharapkan kemurahan tanganmu. Demikian banyaknya bahan makanan yang Engkau simpan, tidak pernah seorangpun sebelummu yang pernah menyimpannya.[6]
فَلَمَّا كَلَّمَهُ“Tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia”, maksudnya Raja berbicara dengan Yusuf dan mengenal serta melihat kelebihan, kepandaian, mengetahui profil, akhlak, dan kesempurnaannya, Raja berkata: إِنَّكَ ٱلۡيَوۡمَ لَدَيۡنَا مَكِينٌ أَمِينٞ “Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”, maksudnya, sesungguhnya engkau sekarang telah mendapatkan kedudukan dan kepercayaan di sisi kami, lalu Yusuf menjawab “Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengalaman (berpengetahuan)”. Ia memuji dirinya sendiri. Hal ini boleh bila diperlukan.[7]
Ia menyebutkan bahwa dirinya hafiizhartinya, penyimpan yang dapat dipercaya, ‘alimartinya memiliki pengetahuan dan mengerti tugas yang di embannya. Syaibah bin Ni’amah mengatakan, maksudnya menjaga apa yang engkau titipkan padaku dan mengetahui tahun-tahun paceklik itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hatim, Yusuf meminta pekerjaan tersebut karena ia tahu kemampuan dirinya disamping bahwa pekerjaan itu mengandung maslahat bagi orang banyak. Ia meminta dijadikan bendaharawan gudang, yaitu piramid tempat menyimpan hasil bumi sebagai persediaan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik yang sulit seperti diceritakannya, sehingga ia dapat berbuat dengan cara yang lebih hati-hati, lebih baik, dan lebih tepat bagi mereka.[8]
d. Kandungannya:
Pertama, Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa boleh bagi seseorang yang menjaga keimanannya bekerja kepada orang fasik atau penguasa kafir dengan syarat pemilik usaha menyerahkan kebebasan sepenuhnya kepadanya dalam urusan pribadinya. Jika sebaliknya pemilik usaha memberi batasan kepada pekerjaanya yang Muslim dalam urusan-urusan yang pribadi yang berkaitan dengan keyakinannya maka tidak dibenarkan.
Kedua, Ayat ini merupakan dalil bolehnya seseorang yang mempunyai kemampuan dalam sebuah bidang urusan untuk meminta jabatan pekerjaan dalam urusan tersebut, dengan ketentuan: Kita mengetahui tidak ada seorangpun yang mampu memangku jabatan tersebut, baik dari segi keahlian maupun sifat adil dan amanah untuk menunaikan hak-hak para fakir miskin. Namun jika sebaliknya, maka kita lebih baik tidak meminta jabatan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada Abdurrahman, “Janganlah kamu meminta sebuah jabatan.” Sebab lainnya, pengetahuan jabatan tersebut bukanlah mudah bahkan banyak mengandung kesulitan dan musibah. Juga permintaannya atas jabatan menunjukkan akan ambisinya dan demi kepentingan dirinya sendiri. Jika memang demikian, dapat dipastikan nafsu akan menguasainya dan dia akan binasa.
Ketiga, Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang boleh menyebutkan keilmuan dan kelebihan dirinya. Al Mawardi berkata tidak mutlak, tetapi jika ada indikasi dan kebutuhan untuk menyebutkannya seperti untuk kepentingan pekerjaan dan sebagainya, maka hal itu boleh disebutkan. Namun jika tidak, maka tidak boleh menyebut-nyebutkan kemampuan diri. Sebab, hal itu dinilai perbuatan riya, sikap menganggap diri suci, dan sempurna.[9]
2. QS. Al-Qashas: 25
a. Nash
فَجَآءَتۡهُ إِحۡدَىٰهُمَا تَمۡشِي عَلَى ٱسۡتِحۡيَآءٖ قَالَتۡ إِنَّ أَبِي يَدۡعُوكَ لِيَجۡزِيَكَ أَجۡرَ مَا سَقَيۡتَ لَنَاۚ فَلَمَّا جَآءَهُۥ وَقَصَّ عَلَيۡهِ ٱلۡقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفۡۖ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٥
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu´aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu´aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu"
b. Munasabah
QS. Al-Qashas: 26
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya"
QS. Al-Qashas: 27
قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧
Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
QS. Al-Qashas: 28
قَالَ ذَٰلِكَ بَيۡنِي وَبَيۡنَكَۖ أَيَّمَا ٱلۡأَجَلَيۡنِ قَضَيۡتُ فَلَا عُدۡوَٰنَ عَلَيَّۖ وَٱللَّهُ عَلَىٰ مَا نَقُولُ وَكِيلٞ ٢٨
Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan"
c. Tafsir
Ketika kedua wanita itu kembali lebih cepat dengan membawa kambing-kambing ke rumah ayahnya, sang ayahpun tidak percaya dengan kedatangan keduanya yang begitu cepat. Dia menanyakan tentang kondisi kedua putrinya itu. Lalu keduanya menceritakan peristiwa tentang yang dilakukan Musa. Maka sang ayah mengutus salah satu dari kedua putrinya itu untuk mengajak Musa menemui dirinya. Wanita itupun menemui Musa dan berkata قَالَتۡ إِنَّ أَبِي يَدۡعُوكَ لِيَجۡزِيَكَ أَجۡرَ مَا سَقَيۡتَ لَنَا “sesungguhnya ayahku memanggilmu, agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami.” فَلَمَّا جَآءَهُۥ وَقَصَّ عَلَيۡهِ ٱلۡقَصَص“Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya dan menceritakan kepadanya cerita tentang dirinya,” yaitu, penyebab ia keluar dari negerinya. قَالَ لَا تَخَفۡ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ “Ayahnya berkata, janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” maksudnya Ia berkata pada Musa tentramkanlah jiwamu dan luruskan pandanganmu, karena engkau telah keluar dari kerajaan mereka. Mereka tidak memiliki kekuasaan di negeri kami. Untuk itu dia berkata “Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.”[10]
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ “ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya," maksudnya seorang putri laki-laki itu berkata kepada ayahnya “Hai ayahku ambillah ia sebagai pekerja,” yaitu sebagai penggembala kambingnya.
Umar, Ibn Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik Qatadah Muhammad bin Ishaq, dan yang lainnya berpendapat, ketika wanita itu berkata إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ “karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk pekerja ialah orang yang kuat lagi amanah,” maka ayahnya berkata kepadanya: Apa yang kamu ketahui tentang itu? Wanita itu berkata: dia telah mengangkat sebuah batu besar yang tidak mampu diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki, dan saat aku datang bersamanya, aku berjalan di depannya, lalu ia berkata kepadaku: berjalanlah di belakangku, jika ia berbeda jalan denganku, ia memberikan sebuah tanda batu kerikil agar aku mengetahui kemana ia berjalan.
Sufyan ats-Tsauri berkata dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: manusia paling cerdik ada tiga orang, yaitu Abu Bakar yang memberi kecerdikan kepada Umar, teman Yusuf, dan teman wanita Musa yang berkata يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ “Ya, Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Ayahnya berkata إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” Maksudnya, Laki-laki tua ini memintanya untuk mengembalakan kambingnya dan menikahkannya dengan salah seorang putrinya.
Firman-Nya عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَ “Atas dasar bahwa engkau bekerja denganku delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah darimu,” maksudnya, kewajiban Musa hanya menggembala kambingnya selama delapan tahun. jika engkau mendermakan dengan melebihkannya dua tahun saja. وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ“Maka Aku tidak hendak memberatkanmu, dan engkau Insyaallah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”
Musa menjawab قَالَ ذَٰلِكَ بَيۡنِي وَبَيۡنَكَۖ أَيَّمَا ٱلۡأَجَلَيۡنِ قَضَيۡتُ فَلَا عُدۡوَٰنَ عَلَيَّۖ وَٱللَّهُ عَلَىٰ مَا نَقُولُ وَكِيلٞ “Dia (Musa) berkata: inilah perjanjian antara aku dan dirimu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”. Maksudnya, Musa berkata apa yang engkau syaratkan kepadaku adalah untukmu dan apa yang engkau syaratkan berupa mengawani salah seorang diantara kedua putrimu untukku. Masing-masing kita tidak bisa keluar dari perkara ini, aku tidak bisa keluar dari apa yang engkau yaratkan kepadaku dan engkau tidak bisa keluar dari apa yang engkau syaratkan kepadadirimu sendiri.[11]
d. Kandungannya:
Pertama, QS. Al-Qashas: 25 menggambarkan kesegeraan membayar upah bagi orang yang dipekerjakan (karyawan). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang artinya “berilah upah orang (pekerja) sebelum kering keringatnya.” Dalam menjelaskan hadis ini Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa sesungguhnya seorang pekerja (karyawan) hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, seorang majikan (perusahaan) juga berhak memotong upah karyawannya jika ia membolos tanpa alasan yang benar karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban.
Kedua, QS. Al-Qashas: 26 menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan yang paling di utamakan yaitu orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Kenapa harus pekerja yang kuat, karena seorang pekerja yang sehat dan kuat akan lebih produktif dan efisien daripada pekerja (karyawan) yang lemah dan sakit-sakitan. Demikian pula, pekerja (karyawan) yang dapat dipercaya lagi jujur yang menyadari tugasnya akan lebih komitmen dan lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan pekerja (karyawan) yang tidak jujur.[12]Pekerja (karyawan) yang dapat dipercaya juga tidak akan merasa bahwa apa yang ada dalam genggaman tangannya merupakan milik pribadi, tetapi milik pemberi amanat, yang harus dipelihara dan bila diminta kembali, maka harus rela mengembalikannya. Sedangkan pekerja (karyawan) yang tidak jujur akan melakukan hal yang sebaliknya.[13]
Ketiga, QS. Al-Qashas: 27-28 menggambarkan kejelasan kontrak antara majikan (perusahaan) dengan pekerjanya (karyawan) serta keduanya berkewajiban menaati isi perjanjian dan menjadikan Allah sebagai saksinya.
Kalau kita kaitkan pada zaman sekarang kontrak diharuskan dinyatakan secara hitam atas putih. Ketika menekankan pentingnya menulis kontrak, QS. Al-Baqarah: 282 menyatakan “...dan janganlah jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu...” Sekalipun perintah dalam ayat ini berhubungan dengan transaksi bisnis dan kontrak utang, sebenarnya ia berlaku untuk segala jenis kontrak. Jadi yang paling baik adalah menuliskan kontrak antara majikan (perusahaan) dan pekerjanya (karyawan), dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak dan kewajiban masing-masing dituangkan di dalam kontrak tersebut. Dengan demikian, pekara itu amat baik dalam pandangan Allah dan akan mencegah timbulnya perselisihan dimasa yang akan datang.[14]
Adapun yang ditulis dalam kontrak itu harus jelas bagi kedua belah pihak baik itu menyangkut hak dan kewajiban majikan (perusahaan) maupun pekerja (karyawan), sistem pengupahannya, apakah sekali seminggu, sekali sebulan, ataupun yang lainnya, kapan berakhirnya kontrak, dan sebagainya.
Adapun hak buruh pada umumnya, yaitu:
i. Majikan (perusahaan) memposisikan pekerja (karyawan) sebagai partner kerja dan saudaranya. Dari Abu Dzar ra, Rasalullah bersabda “saudara kalian adalah buruh kalian. Allah jadikan mereka dibawah kekuasaan kalian (HR. Bukhari).”
ii. Majikan (perusahaan) tidak boleh memberikan tugas pekerjaan kepada pekerja (karyawan) secara berlebihan dan melewati waktu kerja yang tidak sesuai dengan kontrak kerja. Hal ini diperbolehkan apabila pekerja (karyawan) ikhlas dan ridha.
iii. Pekerja (karyawan) Menerima upah sesuai dengan kontrak kerja, artinya majikan tidak boleh memotong seenaknya upah pekerjanya (karyawannya). Namun apabila di dalam kontrak kerja dinyatakan apabila pekerja (karyawan) tidak hadir tanpa kabar maka gajinya dipotong, maka hal itu dibenarkan, karena hak berbarengan dengan kewajiban.
iv. Majikan (perusahaan) harus memperhatikan kesejahteraan pekerjanya (karyawannya). Kalau kita kaitkan ke Hukum Positif, yaitu sesuai dengan UMR daerah tersebut.
Adapun kewajiban buruh (pekerja) pada umumnya, yaitu:
i. Pekerja (karyawan) harus melaksanakan pekerjaan dengan jujur, ikhlas dan berkualitas. Pekerja (karyawan) harus bekerja secara optimal sehingga produktivitasnya meningkatkan hasil bagi sang majikan (perusahaan). Dampaknya, kesejahteraan pekerjapun akan meningkat.
ii. Para pekerja (karyawan) harus menghindari perbuatan penipuan dan penghianatan selama bekerja dalam keadaan bagaimanapun juga. Seperti korupsi waktu, barang atau asset majikan (perusahaan) berapapun nilainya. Allah berfirman dalam QS. Al-Anfaal : 27 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.
iii. Pekerja (karyawan) tidak meminta atau menuntut upah diluar kesepakatan (kontrak kerja).
3. QS. Saba’: 11
a. Nash
أَنِ ٱعۡمَلۡ سَٰبِغَٰتٖ وَقَدِّرۡ فِي ٱلسَّرۡدِۖ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ إِنِّي بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١
(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.
b. Munasabah:
QS. Saba’: 10
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا دَاوُۥدَ مِنَّا فَضۡلٗاۖ يَٰجِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُۥ وَٱلطَّيۡرَۖ وَأَلَنَّا لَهُ ٱلۡحَدِيدَ ١٠
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya.
c. Tafsir
Firman Allah “Dan kami telah melunakkan besi untuknya.” Hasan al- Bashri, Qatadah, al-‘Amasi dan yang lainnya berkata “Dia tidak perlu memasukkannya kedalam api dan tidak perlu ditempa dengan kapak besi, bahkan ia cukup mengurai dengan tangan bagaikan mengurai benang.”
Untuk itu Allah berfirman “Buatlah baju besi yang besar-besar” maksudnya baju perang. Qatadah berkata: Beliau adalah manusia pertama yang membuatnya, padahal sebelumnya berbentuk lempengan besi. “dan ukurlah anyamannya” maksudnya pengarahan dari Allah kepada Nabi Daud untuk membuat baju besi. Mujahid berkata tentang firman Allah “Dan ukurlah anyamannya” maksudnya janganlah engkau pukul paku itu sehingga membengkokkan lingkaran dan jangan kasar-kasar, sehingga menghancurkannya dan buatlah dengan ukuran.[15]
Al-Hafiz ibn Asakir menerangkan bahwa Nabi Daud membuat baju besi untuk perang, sebagai kesukaan belia di waktu senggang, kalau sudah selesai lalu dijualnya. Harganya beliau bagi tiga: sepertiga untuk makan minum beliau sekeluarga, sepertiga beliau sedekahkan kepada fakir miskin, dan sepertiga lagi beliau masukkan kedalam Baitul Mall.[16]
d. Kandungannya
Pertama, Nabi Daud adalah seorang pekerja yang ahli (profesional) dalam membuat baju perang dan menghasilkan uang dari baju perang tersebut dengan menjualnya. Hal ini sesuai dengan, Miqdam bin Ma’di Yakrab menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang dari hasil kerja tangannya sendiri, dan Daud Nabi Allah makan dari hasil kerja tangannya sendiri (HR.Bukhari)”
Kedua, Kita dituntut untuk menguasai satu atau beberapa bidang pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita agar terhindar dari sifat mengemis (meminta-minta) hal ini sesuai dengan sabda Nabi “Seseorang diantara kalian mengambil tali dal kemudian datang dengan setumpuk kayu dipunggungnya untuk di jual, dan dengan itu Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik daripada ia minta-minta pada manusia, baik diberi maupun tidak (HR. Bukhari).”[17]
Hadis lain, yaitu Rafi’ bin Khudaij melaporkan bahwa Rasulullah SAW ditanya “Hai Rasulullah SAW, rezeki manakah yang terbaik? Beliau menjawab: setiap rezeki yang diperoleh orang dari tangannya sendiri dan setiap jual beli yang jujur (HR. Ahmad).”[18]
4. QS. Al-Israa’: 84
a. Nash
قُلۡ كُلّٞ يَعۡمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَنۡ هُوَ أَهۡدَىٰ سَبِيلٗا ٨٤
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.
b. Munasabah
QS- Al-Israa’: 83
وَإِذَآ أَنۡعَمۡنَا عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ أَعۡرَضَ وَنََٔا بِجَانِبِهِۦ وَإِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ كَانَ ئَُوسٗا ٨٣
Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa
c. Tafsir
Allah memberitahukan tentang kekurangan manusia sebagai makhluk hidup kecuali orang-orang yang dilindungi oleh Allah dalam dua keadaan, yaitu bahagia maupun sengsara.
Jika dia menolong dan memberikan apa yang menjadi keinginannya, maka ia tidak mau taat pada-Nya dan enggan menyembah-Nya serta membelakangi dengan sikap sombong. Sesungguhnya jika ia ditimpa musibah, bencana, dan berbagai hal yang menyusahkan, كَانَ ئَُوسٗا “maka ia berputus asa.” Maksudnya, ia berputus asa dari memperoleh kebaikan kembali setelah itu. [19]
قُلۡ كُلّٞ يَعۡمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ“Katakanlah tiap-tiap orang berbuat menurut kebiasaannya masing-masing,” Ibnu Abbas mengatakan, yakni dalam posisinya, Qatadah mengungkapkan, yakni menurut niatnya, dan Zaid mengatakan, yakni menurut agamanya. فَرَبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَنۡ هُوَ أَهۡدَىٰ سَبِيلٗا “Maka Rabbmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” Maksudnya Allah akan memberi balasan kepada setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya dan sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi darinya.[20]
d. Kandungannya
Pertama,ayat 83 menerangkan salah satu karakter umum manusia yang jauh dari ajaran agama. Dalam berniaga manusia cenderung ingkar dan congkak bahkan yang parahnya lagi tampil sebagai penentang Allah dan mencampakkan perintah-Nya. Tak mengherankan jika orang yag seperti ini akan kehilangan pegangan saat ditimpa masalah dan dililit kesulitan. Sebaliknya orang yang selalu berserah diri dalam kehidupannya baik itu dalam bidang usaha (berniaga) ataupun yang lainnya tak akan kehilangan kendali, sebab segala sesuatunya telah ia pasrahkan kepada Allah.
Kedua, ayat 84 menerangkan bahwa kejiwaan dan tabiat seseorang mempengaruhi tindakannya, jika ia mengedepankan kejujuran dan tanggung jawab dalam bekerja maka hasil yang akan ia peroleh merupakan harta yang berkah dan diridhai Allah. Manusia diberikan kehendak dan pilihan dalam hidupnya untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
A. QS. Yusuf: 54-55 mengandung makna:
i. Seseorang boleh bekerja kepada orang fasik atau penguasa kafir dengan syarat pemilik usaha menyerahkan kebebasan sepenuhnya kepadanya dalam urusan pribadinya. Jika sebaliknya pemilik usaha memberi batasan kepada pekerjaanya yang Muslim dalam urusan-urusan yang pribadi yang berkaitan dengan keyakinannya maka tidak dibenarkan.
ii. Ayat ini merupakan dalil bolehnya seseorang yang mempunyai kemampuan dalam sebuah bidang urusan untuk meminta jabatan pekerjaan dalam urusan tersebut, dengan ketentuan: Kita mengetahui tidak ada seorangpun yang mampu memangku jabatan tersebut, baik dari segi keahlian maupun sifat adil dan amanah untuk menunaikan hak-hak para fakir miskin. Namun jika sebaliknya, maka kita lebih baik tidak meminta.
iii. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang boleh menyebutkan keilmuan dan kelebihan dirinya untuk kepentingan pekerjaan dan sebagainya. Namun jika tidak, maka tidak boleh menyebut-nyebutkan kemampuan diri. Sebab, hal itu dinilai perbuatan riya, sikap menganggap diri suci, dan sempurna.
B. QS. Al-Qashas: 25-28 mengandung makna:
i. QS. Al-Qashas: 25 menggambarkan kesegeraan membayar upah bagi orang yang dipekerjakan (karyawan). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang artinya “berilah upah orang (pekerja) sebelum kering keringatnya.”
ii. QS. Al-Qashas: 26 menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan yang paling di utamakan yaitu orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Kenapa harus pekerja yang kuat, karena seorang pekerja yang sehat dan kuat akan lebih produktif dan efisien daripada pekerja (karyawan) yang lemah dan sakit-sakitan. Demikian pula, pekerja (karyawan) yang dapat dipercaya lagi jujur yang menyadari tugasnya akan lebih komitmen dan lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan pekerja (karyawan) yang tidak jujur.
iii. QS. Al-Qashas: 27-28 menggambarkan kejelasan kontrak antara majikan (perusahaan) dengan pekerjanya (karyawan) serta keduanya berkewajiban menaati isi perjanjian dan menjadikan Allah sebagai saksinya atau zaman sekarang kontrak kerja yang di sepakati hitam di atas putih.
C. QS. Saba’ : 10-11 mengandung makna:
i. Nabi Daud adalah seorang pekerja yang ahli (profesional) dalam membuat baju perang dan menghasilkan uang dari baju perang tersebut dengan menjualnya. Hal ini sesuai dengan, Miqdam bin Ma’di Yakrab menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang dari hasil kerja tangannya sendiri, dan Daud Nabi Allah makan dari hasil kerja tangannya sendiri (HR.Bukhari)”
ii. Kita dituntut untuk menguasai satu atau beberapa bidang pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita agar terhindar dari sifat mengemis (meminta-minta) hal ini sesuai dengan sabda Nabi “Seseorang diantara kalian mengambil tali dal kemudian datang dengan setumpuk kayu dipunggungnya untuk di jual, dan dengan itu Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik daripada ia minta-minta pada manusia, baik diberi maupun tidak (HR. Bukhari).”
D. QS. Al-Israa’: 83-84
i. ayat 83 menerangkan salah satu karakter umum manusia yang jauh dari ajaran agama. Dalam berniaga manusia cenderung ingkar dan congkak bahkan yang parahnya lagi tampil sebagai penentang Allah dan mencampakkan perintah-Nya. Tak mengherankan jika orang yag seperti ini akan kehilangan pegangan saat ditimpa masalah dan dililit kesulitan. Sebaliknya orang yang selalu berserah diri dalam kehidupannya baik itu dalam bidang usaha (berniaga) ataupun yang lainnya tak akan kehilangan kendali, sebab segala sesuatunya telah ia pasrahkan kepada Allah.
ii. ayat 84 menerangkan bahwa kejiwaan dan tabiat seseorang mempengaruhi tindakannya, jika ia mengedepankan kejujuran dan tanggung jawab dalam bekerja maka hasil yang akan ia peroleh merupakan harta yang berkah dan diridhai Allah. Manusia diberikan kehendak dan pilihan dalam hidupnya untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah, Tafsir Ibnu katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004.
Chaudhry Sharif Muhammad, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta:Kencana, 2012.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.
Ahmad Mustafa Maragi, Tafsir al-Maragi, Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1986.
Masridha Muhyiddin, Tafsir al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Shihab Quraish, Tafsir al- Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
[1]Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta:Kencana, 2012). Hal. 185.
[2]Ibid. Hal. 186.
[3]Muhyiddin Masridha, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008). Hal. 481.
[4]Ibid. Hal. 482.
[5]Ibid. Hal. 483.
[6]Ibid.
[7]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004). Hal. 433.
[8]Ibid.
[9]Muhyiddin Masridha, Op. Cit. Hal. 494.
[10]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman, Op. Cit. Hal. 267
[11]Ahmad Mustafa Maragi, Tafsir al-Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1986). Hal. 95.
[12]Muhammad Sharif Chaudhry. Op. Cit. Hal. 196.
[13]Quraish Shihab, Tafsir al- Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Hal. 334.
[14]Ibid, Hal. 199
[15]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman, Op. Cit. Hal. 555.
[16]Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998). Hal. 141.
[17]Muhammad Sharif Chaudhry, Op. Cit. Hal 188
[18]Ibid, Hal. 189.
[19]Op. Cit, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman. Hal. 208.
[20]Ibid
0 Response to "AYAT DAN HADIS TENTANG FAKTOR PRODUKSI: TENAGA KERJA"
Post a Comment