Akibat Hukum Perjanjian Syariah Dalam Subyek

A.    LATAR BELAKANG
Islam adalah suatu agama yang ajaran-ajarannya disampaikan Allah melalui Nabi Muhammad saw. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Syuura (42): 51.[1]Selain sebagai utusan, fungsi Nabi saw sebagaimana diterangkan dalam surat al-Anbiya‟ (21): 1072, adalah sebagai perantara tersalurnya rahmat bagi seluruh alam semesta.
Karena fungsi itu, maka ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi saw secara otomatis mengenai berbagai segi di dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya lingkup kehidupan manusia di  dunia ini bersandar pada dua macam hubungan yakni vertikal kepada Allah swt dan horizontal, yaitu hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Hubungan vertikal dengan rabbnya terwujud di dalam pelaksanaan kegiatan amaliah ibadah, namun intinya adalah untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT.[2]
Disisi lain manusia juga senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya, dalam bentuk muamalah. Baik di bidang harta kekayaan maupun dalam hubungan kekeluargaan. Hubungan antar sesama manusia, khususnya di bidang lapangan harta kekayaan, biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad).
 Dalam perjalanan sejarah umat manusia, perjanjian atau akad mempunyai peran yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks Indonesia terdapat tiga macam sistem hukum yang mengatur masalah perjanjian ini, yaitu hukum adat, hukum perdata barat (KUHPerdata) dan hukum Islam.[3]
 Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan akad dengan mengutip definisi yang dikemukakan oleh Al- Sanhury, bahwa akad adalah perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak.5 Salah satu ajaran al-Qur‟an yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan akad adalah kewajiban menghormati semua akad dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al-Qur‟an juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan akad yang dilakukannya.6
Perjanjian yang sah juga menimbulkan akibat hukum bagi para pihak berupa kewajiban untuk melaksanakannya dengan itikad baik (in good faith). Pada pasal 1320 KUH Perdata yang intinya menyebutkan bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya kesepakatan di antara para pihak, adanya kecakapan bertindak secara hukum, adanya obyek tertentu, dan sebab/kausa yang halal. Jika keempat syarat tersebut tidak dipenuhi, maka konsekuensi yuridis dari perjanjian tersebut batal dan berakhir.
 Dengan adanya keterangan diatas, maka dalam artikel ini akan dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana masalah penting  dalam akad yang sah,  (2) Bagaimana akibat hukum dari suatu perjanjian dalam kaitan dengan para pihak, (3) Bagaimana akibat Hukum Akad dalam kaitan dengan Isinya, dan (4) Bagaimana terminasi dalam akad.
A.    RUMUSAN MASALAH
1.         Bagaimana akibat hukum yang timbul dari perjanjian (akad) terkait dengan subyek perjanjian
2.         Bagaimana hak dan kewajiban yang timbul  dari adanya akad itu bagi para pihak


B.     PEMBAHASAN
1.      Akibat hukum yang timbul dari perjanjian (akad) terkait dengan subyek perjanjian
a.         Akibat Hukum  Dengan Subyek Perjanjian
Menurut ulama fikih, setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula. Seperti perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal yang dibenarkan syara‟.  Seperti terdapat cacat pada objek akad, atau akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.[4]Akibat hukum dalam perjanjian berlaku hanya pada pihak-pihak yang membuatnya, seperti dijelaskan dalam Pasal 1338 (1)[5].
Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 1315 KUHPerdata dan ditegaskan juga dalam Pasal 1340 (1).[6]Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bagian tujuh pasal 46, senada dengan KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu akad hanya berlaku antara pihak-pihak yang mengadakan akad. Namun demikian, seperti diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata, diperbolehkannya untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya memuat suatu janji semacam itu. Ini berarti bahwa, meskipun perjanjian itu berasaskan personalia di mana akibat-akibat hanya berlaku terhadap para  pihak yang membuatnya, namun akibat itu dapat pula berlaku terhadap pihak ketiga dalam bentuk janji untuk pihak ketiga. Pasal 1318 memperluas asas personalia hingga meliputi ahli waris dan para pengoper hak.
Dalam hukum perjanjian Islam seperti halnya dalam hukum lainnya, pada asasnya, akibat yang timbul dari suatu perjanjian (akad) hanya berlaku pada para pihak yang membuatnya dan tidak berlaku terhadap para pihak yang membuatnya dan tidak berlaku terhadap pihak lain diluar mereka. Hal ini ditegaskan dalam kitab mursyid al-Hairan: Pasal 306 (1):  Akibat-akibat hukum akad hanya berlaku terhadap para pihak yang membuatnya, dan tidak berlaku terhadap pihak lain selain mereka. Pasal 278: Orang yang baligh dan berakal sehat serta tidak berada di bawah pengampuan dapat membuat akad apapun secara sendiri maupun mewakilkannya kepada orang lain, barangsiapa membuat akad secara sendiri dan untuk dirinya sendiri, maka dialah, dan bukan orang lain, yang terikat oleh hak-hak dan akibat-akibat hukum yang timbul dari akad tersebut.[7]
b.         Subyek dalam Perjanjian
Suatu perjanjian didalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian. Dalam hal ini akan lebih membahas terkait subyek dari perjanjian itu sendiri, pada dasarnya subyek dari perjanjian itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Yang mana didalam suatu perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur. Seorang kreditur ialah seseorang atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah seseorang pihak yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukan.[8]
c.          Akibat hukum dari akad
Akibat hukum dalam perjanjian hukum Islam dibedakan menjadi dua bagian, yakni: Pertama akibat hukum pokok dari perjanjian yang biasa disebut dengan hukum akad (hukm al aqd).Kedua, akibat hukum tambahan dari perjanjian yang biasa disebut hak-hak akad. Hukum akad yang dimaksud ialah terwujudnya tujuan akad yang menjadi kehendak bersama untuk diwujudkan oleh para pihak melalui perjanjian. Sedangkan akibat hukum tambahan ialah dengan timbulnya hak-hak dan kewajiban pada masing masing pihak dalam rangka mendukung dan memperkuat akibat hukum pokok, seperti hak meminta penyerahan barang oleh pembeli kepada penjual.[9]
Menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akibat dari suatu perjanjian adalah:
1)         Perjanjian mengikat para pihak
Maksudnya, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
2)         Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata)
Maksudnya, perjanjian yang sudah dibuat, tidak bisa dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi sebab perjanjian itu dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak.
Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang.
3)         Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata).Menurut Subekti, itikad baik berarti kejujuran atau bersih Dengan kata lain, setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran.[10]
Terpenuhinya semua rukun, syarat dan asas akad, berimplikasi langsung pada timbulnya akibat hukum baik kewajiban maupun hak-hak para pihak.  Akad yang telah memenuhi rukun dan syarat akad, dinyatakan sebagai akad yang sahih akan mengikat para pihak yang melakukan akad.
 Tindakan para pihak dalam melakukan akad baik atas namanya sendiri atau mewakili orang lain berimplikasi pada timbulnya hak dan kewajiban sebagaimana berikut:
1)            Para pihak yang melakukan suatu akad dengan kecakapan sempurna dengan atas nama sendiri, maka akibat hukum dari akad yang dilakukan mengikat kedua belah pihak dan dalam batas tertentu juga mengikat pada hal-hal berikut yaitu: 
a)         Pengoper hak, baik umum maupun hak khusus seperti ahli warisnya, penerima wasiat, dan pembeli. 
b)         Kreditur, akibat hukum dari perjanjian yang dibuat oleh seorang debitur pada kreditur berupa berkurangnya atau bertambahnya jumlah jaminan hutang debitur pada kreditur. Hal ini sesuai dengan asas dari hukum perikatan yang menerangkan bahwa semua kekayaan debitur menjadi tanggungan terhadap hutanghutangnya. Inilah yang dalam hukum Islam dijelaskan bahwa hutang seseorang tidak dapat diwariskan, tetapi hutang tersebut dibebankan terhadap harta si berhutang.
c)         Pihak ketiga yang terlibat dan mendapat janji dalam akad tersebut, meskipun pada asasnya suatu perjanjian hanya menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya dan tidak menimbulkan akibat hukum bagi pihak lain yang tidak terlibat dalam perjanjian.
              Meskipun demikian ada sebagian pakar yang beranggapan bahwa janji melibatkan pihak ketiga dalam sebuah perjanjian dapat dilakukan, dengan asas bahwa janji tersebut tidak menimbulkan kewajiban bagi pihak ketiga. Jika pihak ketiga menolak maka pihak pembuat janji harus bertanmggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.  Sedangkan jika para pihak mewakili atau untuk dan atas nama orang lain, maka akibat hukumnya kembali kepada orang yang diwakilinya karena wakil hanya sebagai penghubung yang tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan perjanjian.
2)            Akibat hukum akad yang dilakukan wakil, ada saatnya seorang wakil membuat perjanjian atas nama dan untuk asli (orang yang diwakili). Akibat hukum pokok maupun tambahan kembali kepada asli, karena dalam hal ini wakil hanya sebagai penghubung yang tidak memikul tanggung jawab seperti pada akad-akad pelepasan dan riil. Tetapiterbuka kemungkinan seorang wakil membuat perjanjian atas nama dirinya untuk asli (orang yang diwakili).  Sebaliknya jika para pihak menyandarkan akad kepada dirinya sendiri meskipun bertujuan untuk mewakili orang lain, maka hukum pokok tetap kembali kepada orang yang diwakili. Sedangkan untuk hak-hak akad terdapat perbedaan dikalangan ulama meskipun sebagian besar ulama beranggapan bahwa hak-hak terlaksananya akad kembali pada wakil dan wakil juga lah yang menuntut pelaksanaan akad oleh pihak ketiga.
3)            Para pihak berakad dengan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh ayah yang mewakili anaknya, kakek yang mewakili cucunya dan wali (yang diangkat ayah atau kakeknya) untuk mewakili anak dibawah umur. Selebihnya, tidak dibenarkan para pihak untuk berakat dengan diri sendiri karena pada asasnya Hukum Islam melarang seseorang berakad dengan dirinya sendiri, baik dengan menjadi wakil dari satu pihak dan dalam waktu yang sama menjadi pihak asli, atau menjadi wakil dari dua pihak berbeda sekaligus. Pelarangan ini disebabkan dalam setiap akad harus ada kedua belah pihak agar tidak terjadi pertentangan disaat ia menjadi debitur dan kreditur pada waktu yang bersamaan.[11]
Larangan serupa berlaku pula pada KUH Perdata Indonesia pada pasal 1315 yang menjelaskan bahwa tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau minta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.[12]
2.      Hak dan kewajiban yang timbul dari adanya akad itu bagi para pihak
a.         Hak akad bagi para pihak
Terjadinya sebuah persetujuan akad (kontrak) secara langsung menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat dalam suatu akad, dan merupakan hal yang logis, jika hak secara otomatis menimbulkan kewajiban. Untuk itu, dalam bab ini akan dibahas hal yang berhubungan dengan para pihak untuk mendapatkan hak dan kewajibannya, serta akibat hukum yang ditimbulkan. [13]
1)         Kerelaan mengadakan akad (kontrak)
Kerelaan para pihak untuk melakukan akad merupakan asas terlaksananya akad dan mutlak dibutuhkan untuk mengadakan akad, hal ini berdasar pada alQur’an surat An-Nisa: 29: “Hai orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu” Ayat di atas, menjelaskan secara gamblang bahwa untuk mendapatkan hak atas harta orang lain hendaknya dengan jalan perniagaan atau dengan kemauan keduabelah pihak, yakni dengan memberikan kebebasan dalam memilih akad, selama akad yang dilakukan tidak terdapat nash yang melarang sehingga bertentangan dengan dalil syar’i.
2)         Kecakapan Hukum Para Pihak 
Unsur yang terpenting dalam akad ialah para pihak (‘aqidani) yang mengadakan akad. Secara umum yang sah mengadakan akad ialah kedua belah pihak yang mempunyai kemampuan/kecakapan, dalam hal ini terbagi menjadi dua yakni,  Pertama, kecakapan untuk melakukan tindakan hukum bagi diri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.  Kedua, memiliki kecakapan berdasarkan penetapan hukum untuk melaksanakan akad sebagai wakil orang lain. Kecakapan dalam ranah ilmu fiqh diartikan sebagai kecakapan seseorang untuk untuk memperoleh hak yang sah bagi dirinya, memikul kewajiban serta sahnya tindakan yang dilakukan.
 Untuk kecakapan dalam fiqh terdapat dua bagian yakni,  Pertama, kecakapan wujub yang merupakan kepatutan seseorang untuk memperoleh hak dan memikul kewajiban, berdasarkan hak kehidupan atau sifat kemanusian. Kedua, Kecakapan ada’ yaitu kecakapan seseorang melakukan perbutan yang diakui oleh hukum dan menimbulkan akibat hukum baik perbuatan tersebut dibidang ibadat maupun muamalat.
Kondisi-kondisi para pihak yang membuat akad menjadi tidak sah secara hukum. Kondisi-kondisi tersebut meliputi yakni:
a)      Kecakapan tidak sempurna, kecakapan seseorang yang hanya sebatas pada menerima hak dan belum dapat menjalankan kewajiban. Termasuk dalam kategori ini adalah janin yang berhak memperolehempat hak penting yakni: hak keturunan, hak waris, hak wasiat dan hak hasil wakaf.
b)       Kondisi kecakapan sempurna bagi manusia yang mulai dari anak sampai dewasa dijelaskan sebagai berikut: kecakapan anak yang tufulah (dari lahir sampai usia 7 tahun) dalam usia ini, anak telah dapat memiliki barang yang dibeli walinya atas namanya dan memikul kewajiban dalam akad. Seperti pada tukar menukar, membayar hutang mengganti kerugian, membayar zakat, namun tidak diwajibkan bagi anak tamyis untuk membayar kewajiban agama yang mengandung unsur sanksi seperti membayar dam dan diat.
b.         Kewajiban Memenuhi Akad Bagi Para Pihak
Kewajiban Memenuhi Akad  Beberapa ayat, hadis dan kaidah hukum Islam yang menegaskan wajibnya memenuhi akad yang dibuat oleh para pihak antara lain, (1) Firman Allah dalam Q. S. al-Maidah:142, (2) Q. S. Al-Israa‟ ayat 3443, (3) Hadis Nabi saw: Orang-orang muslim itu setia kepada syarat-syarat (kalusul) yang mereka buat, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram (HR. at-Tirmizi, atTabarani dan al-Baihaqi), (4) Kaidah umum Islam: “wajib menghormati syarat sejauh mungkin”.
Bentuk-bentuk kewajiban memenuhi akad sebagai akibat hukum yang timbul dari akad berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tujuan masing-masing akad.[14]Dari segi tujuannya, akad dalam hukum Islam dapat dibedakan menjadi 5 macam:
1)          Akad pemindahan milik yaitu akad yang tujuan pokoknya memindahkan milik atas sesuatu dari satu pihak kepihak lain. Contohnya adalah akad jual beli. [15]
2)         Akad melakukan pekerjaan yaitu satu akad di mana kewajiban salah satu pihak adalah melakukan pekerjaan. Contoh: seperti seseorang meminta orang lain untuk memperbaiki rumahnya yang bocor atau kendaraannya yang rusak.
3)         Akad persekutuan yaitudua orang atau lebih mengikat diri untuk memberikan suatu berupa uang, barang atau tenaga dalam bentuk suatu kerja sama
4)         Akad penjaminan yaitu sebuah perjanjian pemberian jaminan, baik berupa jaminan diri atau harta (maal), yang diberikan oleh pihak penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (makhful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (makhful anhu ashill) / pihak yang ditanggung.[16]
5)         Akad pendelegasian yaitu akad yang tujuannya untuk menyerahkan sebagian atau seluruh kewenangan bertindak hukum dari seseorang kepada orang lain. Contohnya adalah akad wakalah
C.    Penutup
Kesimpulan
Akad adalah suatu sebab dari sebab-sebab yang ditetapkan syara‟ yang karenanya timbullah beberapa akibat hukum. Agar suatu akad dipandang terjadi harus diperhatikan rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun adalah unsur yang mutlak harus ada dalam sesuatu hal, peristiwa atau tindakan. 
Menurut ulama fikih, setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula. Seperti perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal yang dibenarkan syara‟.  Seperti terdapat cacat pada objek akad, atau akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.




DAFTAR PUSTAKA
Buku
GhofurAnshoriAbdul, HukumPerjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, danImplementasi), (Yogyakarta: GadjahMada University Press, 2010).
RahmanGhazalyAbdul, FiqhMuamalat, (Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2010).
Miru Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press, 2011). Syaifuddin Muhammad, Hukum Kontrak,(Bandung: Cv. Bandar Maju, 2012).
Jurnal
MeriPiryanti, Akibat Hukum Perjanjian (Akad)  Dan Terminasi Akad,  jurnal Hukum Perjanjian,  2015.
RuslanAbdGhofur,Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, jurnal asas, 2010.
Cut Lika Alia, Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam,Jurnal Akad yang Cacat Dalam Hukum, 2013
website
Alif, EnsiklopediHukum Islam: Akad, dalam
http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/khazanah/12/03/01/m071sx-ensiklopedi-hukum-islam-akad, diaksestanggal12 November 2017
Nurmalia andriani, akad kafalah dalam perbankan syariah, september 2013,
http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/09/akad-kafalah-dalam-perbankan-syariah.html, di akses pada tanggal 13 November 2017 pukul 08:00




[1]4Abdul GhofurAnshori, HukumPerjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, danImplementasi), Cet. 1 (Yogyakarta: GadjahMada University Press, 2010), h, 1. 
[2]Abdul RahmanGhazaly, FiqhMuamalat, Edisi 1, Cetakan 1 (Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2010), h, 51.
[3]AhmadiMiru, HukumKontrakdanPerancanganKontrak, Ed. 1, Cet. 4 (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h,
1.
[4]Alif, EnsiklopediHukum Islam: Akad, dalam http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/khazanah/12/03/01/m071sx-ensiklopedi-hukum-islam-akad, diaksestanggal12 November 2017
[5] Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatuperjanjiantidakdapatditarikkembaliselaindengansepakatkeduabelahpihak, ataukarenaalasan-alasan yang olehundang-undangdinyatakancukupuntukitu.Perjanjiantidakhanyamengikatuntukhal-hal yang dengantegasdinyatakandidalamnya, tetapijugauntuksegalasesuatu yang menurutsifatperjanjian, diharuskanolehkepatutan, kebiasaanatauundang-undang.Suatuperjanjiantidakdiperbolehkanmembawakerugiankepadapihakketiga, lihat jurnal hukum perjnjian,   Lista Kuspriatni, h, 3.
[6]BunyiPasal 1340 (1) “Perjanjian-Perjanjianhanyaberlakuantarapihak-pihak yang membuatnya.
[7]MeriPiryanti, Akibat Hukum Perjanjian (Akad)  Dan Terminasi Akad, jurnal Hukum Perjanjian,  2015, h, 10.
[8]Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, cet.I(Bandung: Cv. Bandar Maju, 2012), h, 57.
[9]RuslanAbdGhofur,Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, jurnal asas, Vol. 2, No. 2, Juli 2010, h, 7.
[10]https://konsultanhukum.web.id/ini-akibat-yang-timbul-dari-suatu-perjanjian/, di akses pada tangal 12
[11]Cut Lika Alia, Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam,vol.1 No.2 ,2013, h, 8
[12]YuliaDewitasari, AkibatHukum Terhadap ParaPihak Dalam PerjanjianApabila Terjadi Pembatalan Perjanjian, jurnal akibat hukum, h,4.
[13]RuslanAbdGhofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, jurnal asas, Vol. 2, No. 2, Juli 2010.
[14]MeriPiryanti, Akibat Hukum Perjanjian (Akad)  Dan Terminasi Akad, jurnal Hukum Perjanjian,  2015, h, 17.
[15]Ibid, 18.
[16]Nurmalia andriani, akad kafalah dalam perbankan syariah, september 2013, http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2013/09/akad-kafalah-dalam-perbankan-syariah.html, di akses pada tanggal 13 November 2017 pukul 08:00

0 Response to "Akibat Hukum Perjanjian Syariah Dalam Subyek"

Post a Comment