Kritik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

BAB I
Pendahuluan
A.  Latar Belakang
Dengan perkembangan yang sampai saat ini, Hukum Islam pada posisi sekarang ini belum secara tegas mengaktualkan konsep Islam yang ada. Dikarenakan posisi Hukum Islam berada pada Hukum Indonesia yang secara jelas belum tentu terkandung konsep dan landasan penetapan hukum menurut syara’. Ketika mendapatkan persoalan terkait Hukum Islam dalam ekonomi, maka umat Islam akan masuk dalam tatanan hukum Negara yakni Hukum Positif.
Menurut H. Muhammad Daud Ali dalam hal ini, pusat perhatian ditujukan pada kedudukan Hukum Islam dalam sistem Hukum Indonesia. Sedangkan  menurut Ichtianto, Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan Hukum Nasional dan mrupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.[1]
Dengan memperhatikan konsideran Keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tentang penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada saat itu, Ketua Mahkamah Agung masih memberikan nama Kompilasi Hukum Islam dimana pelaksanaan Hukum Islam dapat ditegakkan melalui KHI tersebut di Pengadilan Agama.
Adanya surat edaran nomor 08 tahun 2008 tentang eksekusi putusan Badan Arbitrase Syari’ah oleh Ketua Mahkamah Agung RI, terkait pemberian petunjuk pada kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang ada di Indonesia. Pada surat edaran yang ada menetapkan Badan Arbitrase Syari’ah sebagai lembaga yang dipilih untuk memberikan putusan sengketa dalam kegiatan ekonomi syari’ah. Selanjutnya, dalam putusan sengketa terkait ekonomi syari’ah tidak lagi merujuk pada ketentuan KHI namun KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) sekaligus putusan yang ada di dalamnya terkait sengketa para pihak pelaku ekonomi syari’ah.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dijadikan pedoman oleh Badan Arbitrase Syari’ah dalam memutuskan perkara persengketan  pada kegiatan usaha menurut syari’ah. Oleh karena itu, KHES telah dijadikan pedoman menggantikan Hukum Islam yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) merupakan wujud aktual dari Hukum Islam yang ada di Indonesia terkait kegiatan perekonomian Islam, bilamana terjadi persengketaan antara pelaku ekonomi Islam sehingga mengantarkannya pada Badan Arbitrase Syari’ah.
B.  Rumusan Masaah
1.      Bagaimana pengertian dan struktur KHES?
2.      Bagaimana tinjauan umum hukum kontrak syariah analisis KHES?
3.      Bagaimana kritik tentang kelemahan KHES?



BAB II
Pembahasan
A.  Pengertian dan struktur Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Dalam istilah di Indonesia dikenal dengan kata “kompilasi” yang secara etimologis kumpulan/himpunan yang tersusun secara teratur. Kata kompilasi tersebut diambil dari bahasa Inggris “compilation” atau bahasa Belanda “compilatie” yang kemudian dalam term kompilasi diambil kata compilare artinya mengumpulkan bersama-sama.
Secara terminologis, kompilasi diartikan mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia ke dalam bentuk teratur.[2] Selain itu, ada yang mendefinisikan suatu porses kegiatan pengumpulan berbagai bahan untuk membuat sebuah buku, tabel, statistik, atau yang lain dan mengumpulkannya seteratur mungkin setelah sebelumnya bahan-bahan tersebut diseleksi.[3]
Dari pengertian di atas bahwa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah disusun oleh aparat Negara dalam hal ini Mahkamah Agung dengan penetapan Hukum Islam yang telah disesuaikan di Indonesia. Sehingga dengan adanya KHES tersebut, para pelaku usaha ekonomi yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah apabila terjadi sebuah sengketa hukum dapat diselesaikan dengan rujukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Putusan dalam penyelesaian sengketa diputuskan oleh Badan Arbitrase Syari’ah.[4] Walaupun demikian, hakim dalam melakukan putusan hukum untuk menggali dan menemukan hukum sehingga tercapai putusan yang adil dan benar.[5]
Hal-hal yang terkait di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah di bagi menjadi 4 (empat) bagian pembahasan, yang disebut dengan istilah Buku, meliputi:[6]
1.      Buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal, yang terdiri dari:
a.       BAB I tentang Ketentuan Umum dengan 1 pasal dan 21 ayat.
b.      BAB II tentang Subyek Hukum dengan 16 pasal
c.       BAB III tentang Amwal dengan 3 pasal
2.      Buku II tentang Akad, yang terdiri dari:
a.       BAB I tentang Ketentuan Umum dengan 1 pasal dan 42 ayat.
b.      BAB II tentang Asas Akad dengan 1 pasal dan 11 ayat
c.       BAB III tentang Rukun, Syarat, Kategori Hukum, ‘Aib, Akibat, dan Penafsiran Akad dengan 34 pasal
d.      BAB IV tentang Ba’I dengan 35 pasal
e.       BAB V tentang Akibat Ba’I dengan 43 pasal
f.       BAB VI tentang Syirkah dengan 53 pasal
g.      BAB VII tentang Mudharabah dengan 24 pasal
h.      BAB VIII tentang Muzara’ah dan Musaqah dengan 16 pasal
i.        BAB IX tentang Khiyar dengan 24 pasal
j.        BAB X tentang Ijarah dengan 40 pasal
k.      BAB XI tentang Kafalah dengan 27 pasal
l.        BAB XII tentang Hawalah dengan 11 pasal
m.    BAB XIII tentang Rahn dengan 41 pasal
n.      BAB XIV tentang Wadi’ah dengan 21 pasal
o.      BAB XV tentang Gashb dan Itlaf dengan 22 pasal
p.      BAB XVI tentang Syirkah dengan 44 pasal
q.      BAB XVII tentang Wakalah dengan 69 pasal
r.        BAB XVIII tentang Shulh dengan 19 pasal
s.       BAB XIX tentang Pelepasan Hak dengan 9 pasal
t.        BAB XX tentang Ta’min dengan 21 pasal
u.      BAB XXI tentang Obligasi Syariah Mudharabah dengan 6 pasal
v.      BAB XXII tentang Modal dengan 4 pasal
w.    BAB XXIII tentang Reksa Dana Syariah dengan 15 pasal
x.      BAB XXIV tentang Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah (SBI Syari’ah) dengan 5 pasal
y.      BAB XXV tentang Obligasi Syari’ah 4 pasal
z.       BAB XXVI tentang Pembiayaan Multijasa dengan 3 pasal
aa.   BAB XXVII tentang Qardh dengan 6 pasal
bb.  BAB XXVIII tentang Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah dengan 9 pasal
cc.   BAB XXIX tentang Dana Pensiun Syari’ah dengan 48 pasal
3.      Buku III tentang Zakat dan Hibah
a.       BAB I tentang Ketentuan Umum dengan 1 pasal
b.      BAB II tentang Ketentuan Umum Zakat dengan 1 pasal
c.       BAB III tentang Harta Yang Wajin Dizakati dengan 15 pasal
d.      BAB IV tentang Hibah dengan 43 pasal
4.      Buku IV tentang Akuntansi Syari’ah
a.       BAB I tentang Cakupan Akuntansi Syari’ah dengan 9 pasal
b.      BAB II tentang Akuntansi Piutang dengan 4 pasal
c.       BAB III tentang Akuntansi Pembiayaan dengan 24 pasal
d.      BAB IV tentang Akuntansi Kewajiban dengan 16 pasal
e.       BAB V tentang Akuntansi Investasi Tidak Terikat dengan 3 pasal
f.       BAB VI tentang Equitas dengan 4 pasal
g.      BAB VII tentang ZIS dan Qardh dengan 2 pasa
Sedangkan pengelolaan zakat dan wakaf merupakan pembahasan di luar Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dikarenakan merupakan kegiatan sosial yang bukan komersil. Masing-masing memiliki rujukannya, terkait pengelolaan zakat pada Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 dan wakaf pada Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004.
B.  Tinjauan umum hukum kontrak syariah analisis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Batasan akad yang lebih luas terdapat dalam Pasal 20 ayat 1 KHES, yang dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dari rumusan tersebut maka akad harus merupakan perjanjian tertulis kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad tersebut memuat ijab dan kabul. Ijab yakni pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan. Sedang Kabul yakni pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab dan kabul ini diadakan untuk menunjukkan adanya kesukarelaan timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akad adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut secara timbal balik.
1.       Asas-asas Akad
Asas-asas akad adalah sebagai berikut:[7]


a.    Asas ilahiyyah
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak luput dari ketentuan Allah Swt. Kegiatan muamalah, termasuk di dalamnya perbuatan perikatan, tidak pernah terlepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan pengertian tiap perbuatan dalam perikatan didasarkan pada ketauhidan. Misalkan melakukan akad musyarakah dengan baik, maka diharapkan akad musyarakah itu selain memenuhi kebutuhan muamalah, juga dapat meningkatkan hubungan dengan Allah Swt.
b.      Asas al-hurriyyah (asas kebebasan)
Islam memberikan kebebasan para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan ditentukan oleh para pihak. Para pihak berhak menentukan bentuknya, seperti akad secara tertulis yang isinya memberikan hak dan kewajiban pada para pihak secara seimbang sesuai dengan syariah.
c.       Asas al-musawah (persamaan/kesetaraan)
Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan perikatan. Persamaan kedudukan para pihak merupakan asas dalam akad. Para pihak dianggap sama kedudukannya dalam syariah agar para pihak dapat menentukan isi akad sesuai dengan hak dan kewajibannya.
d.      Asas al-adalah (keadilan);
Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral maupun materiil, antar individu dan masyarakat. Asas keadilan memberikan keseimbangan dari para pihak yang melakukan akad untuk mengatur sendiri hak dan kewajibannya sesuai dengan yang disepakati dalam akad itu sendiri.
e.       Asas al-ridha (kerelaan)
Dalam Alquran surat Annisa ayat (29), dinyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan, didasarkan atas suka sama suka. Semua perbuatan dalam menjalankan akad, didasarkan dengan suka sama suka dan bukan karena pihak satu memaksa pihak yang lain.
f.       Asas ash-shidq (kejujuran)
Kejujuran dalam melaksanakan perikatan harus ada. Kejujuran dari para pihak yang berakad sangat menentukan jalannya akad itu sendiri. Jika salah satu berhianat maka telah terjadi pelanggaran hak dan kewajiban dari salah satu pihak.
g.      Asas al-kitabah (tertulis)
Dalam Alquran surat Albaqarah ayat (282) dan (283), hendaknya perikatan itu dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi dan diberi tanggung jawab individu-individu yang melakukan perikatan. Akad hendaknya dilakukan secara tertulis agar hak dan kewajiban para pihak menjadi jelas.        
2.      Rukun Dan Syarat Akad
Dalam Hukum Islam untuk sahnya suatu akad, harus dipenuhi rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa atau tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk suatu hal, peristiwa atau tindakan tersebut.[8]
Suatu Akad haruslah memenuhi rukun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 KHES. Rukun akad terdiri atas:
a.       Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain/al-‘aqidain);
Dalam suatu akad harus ada para pihak yang melakukan akad atau yang berakad. Tidak disebut akad, jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja.[9] Pasal 23 KHES menyebutkan bahwa syarat pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Pasal 2 KHES menyebutkan bahwa seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah. Sedang badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b.      Objek akad (al-ma’qud alaih/mahal al-‘aqd);
Pasal 24 KHES menyebutkan bahwa objek  akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Pasal 17 KHES menjelaskan bahwa pemilikan amwal pada dasarnya merupakan titipan dari Allah Subhanahu wata’ala untuk didayagunakan bagi kepentingan hidup. Oleh karena itu pemilikan benda pada dasarnya bersifat individual dan penyatuan benda dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha atau korporasi. Di samping itu pemilikan benda tidak hanya memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terdapat hak masyarakat. Pemilikan benda pada dasarnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit madharat.
c.       Tujuan pokok akad (maudhu’ al-‘aqd)
Tujuan akad harus merupakan hal yang diperbolehkan oleh syariah. Adapun tujuan pokok akad menurut Pasal 25 KHES yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Pasal 26 KHES menyatakan bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariah Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum; dan/atau kesusilaan.





d.      Kesepakatan (shigat al-‘aqd).
Shigat adalah pernyataan untuk mengikatkan diri dengan ijab (offer) dan kabul (acceptance).[10] Di dalam Pasal 59 dan 60 KHES dinyatakan bahwa kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan, dan isyarat yang memiliki makna hukum yang sama. Kesepakatan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masing-masing pihak, baik kebutuhan hidup maupun pengembangan usaha.
Bagian Ketiga KHES (Pasal 29 sampai dengan Pasal 35 KHES) menjelaskan bahwa kesepakatan menjadi batal jika mengandung unsur:
a.       ghalath atau khilaf;
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu akad kecuali kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat yang menjadi pokok perjanjian.
b.      Dilakukan di bawah ikrah atau paksaan;
Paksaan yaitu mendorong seorang melakukan sesuatu yang tidak diridlainya dan tidak merupakan pilihan bebasnya. Paksaan dapat menyebabkan batalnya akad apabila:
        i.       Pemaksa mampu untuk melaksanakannya.
      ii.       Pihak yang dipaksa memiliki persangkaan kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang diancamkannya apabila tidak mematuhi perintah pemaksa tersebut.
    iii.       Yang diancamkan menekan dengan berat jiwa orang yang diancam. Hal ini tergantung kepada orang perorang.
    iv.       Ancaman akan dilaksanakan secara serta merta.
      v.       Paksaan bersifat melawan hukum.
c.       taghrir atau tipuan
Penipuan yaitu mempengaruhi pihak lain dengan tipu daya untuk membentuk akad, berdasarkan bahwa akad tersebut untuk kemaslahatannya, tetapi dalam kenyataannya sebaliknya. Penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak membuat akad itu jika tidak dilakukan tipu muslihat.
d.      ghubn atau penyamaran.
Penyamaran adalah keadaan di mana tidak ada kesetaraan antara prestasi dengan imbalan prestasi dalam suatu akad.
3.      Subjek Akad
Subjek hukum sebagai pelaku hukum seringkali disebut pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari 2 (dua) macam yaitu manusia dan badan hukum. Manusia adalah pribadi kodrati. Badan hukum adalah badan yang dibuat oleh hukum yang memiliki hak dan kewajiban sebagai pengemban hukum.[11]
Manusia sebagai subjek hukum perikatan Islam adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf berasal dari Bahasa Arab yang artinya “yang dibebani hukum”. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Pasal 2 KHES memberikan batas usia dewasa kepada subjek hukum berupa pribadi kodrati (mukallaf), yaitu telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah.
4.       Hukum Akad
Hukum Akad menurut Pasal 27 KHES dibagi  ke dalam tiga kategori, yaitu:
a.    Akad yang sah
Akad yang sah adalah akad yang rukun dan syarat-syaratnya terpenuhi.
b.    Akad yang fasad/dapat dibatalkan
Akad yang fasad adalah akad yang rukun dan syarat-syaratnya terpenuhi, tetapi  terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat.
c.    Akad yang batal/batal demi hokum
Akad yang batal adalah akad yang rukun dan/atau syarat-syaratnya kurang.
5.      Wanprestasi Dan Sanksinya
Pasal 36 KHES menyebutkan bahwa pihak dalam suatu Akad dapat dianggap melakukan ingkar janji (wanprestasi), apabila karena kesalahannya:
a.       Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya;
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.       Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;
d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pasal 37 KHES menyebutkan bahwa pihak dalam akad dapat dikatakan melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan, bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Adapun sanksi bagi pihak dalam akad yang melakukan ingkar janji diatur dalam Pasal 38 KHES, yaitu:


a.       Membayar ganti rugi;
Pasal 39 KHES mengatur tentang penjatuhan sanksi pembayaran ganti rugi, yaitu apabila:
                                i.            Pihak yang melakukan ingkar janji  setelah  dinyatakan  ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji;
                              ii.            Sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya;
                            iii.            Pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang dilakukannya tidak di bawah paksaan.
b.      Pembatalan akad;
c.       Peralihan risiko;
d.      Denda;
e.       Membayar biaya perkara.
6.      Kekuatan Hukum Akad
Pasal 44 sampai dengan Pasal 47 KHES mengatur tentang akibat suatu akad, yaitu:
a.       Semua akad yang dibentuk secara sah berlaku sebagai nash syariah bagi mereka yang mengadakan akad.
b.      Suatu akad tidak hanya mengikat untuk hal yang dinyatakan secara tegas di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat akad yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan nash-nash syariah.
c.       Suatu akad hanya berlaku antara pihak-pihak yang mengadakan akad.
d.      Suatu akad dapat dibatalkan oleh pihak yang berpiutang jika pihak yang berutang terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak yang berpiutang.
7.      Berakhirnya Akad
Suatu  akad  dipandang  berakhir  apabila  telah  tercapai  tujuannya. Selain  telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:[12]
a.       Di-fasakh  (dibatalkan),  karena  adanya  hal-hal  yang  tidak  dibenarkan  syara’, seperti  yang  disebutkan  dalam  akad  yang fasad.  Misalnya,  jual  beli  barang  yang  tidak memenuhi syarat kejelasan.
b.      Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau majelis.
c.       Salah  satu  pihak  dengan  persetujuan  pihak  lain  membatalkan  karena  merasa menyesal  atas  akad  yang  baru  saja  dilakukan. Fasakh dengan  cara  ini  disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual-beli  yang  dilakukan,  Allah  akan  menghilangkan  kesukarannya  pada  hari Kiamat kelak.
d.      Karena  kewajiban  yang  ditimbulkan,  oleh  adanya  akad  tidak  terpenuhi  pihak-pihak  yang  bersangkutan.  Misalnya,  dalam khiyar pembayaran  (khiyar  naqd) penjual  mengatakan,  bahwa  ia  menjual  barangnya  kepada  pembeli,  dengan ketentuan  apabila  dalam  tempo  seminggu  harganya  tidak  dibayar,  akad  jual  beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akan berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak membayar, akad menjadi rusak (batal).
e.       Karena  habis  waktunya,  seperti  dalam  akad  sewa  menyewa  berjangka  waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
f.       Karena tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang.
g.      Karena kematian.

C.  Kritik tentang kelemahan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
secara umum fiqh itu bersifat zanni (relatif) ketika masih dalam tingkatan produk pemikiran, sehingga tidak mengikat setiap muslim. Tetapi, ketika fiqh itu naik menjadi qanun atau hukum positif atau menjadi rujukan dalam keputusan hakim di pengadilan maka otomatis mengikat setiap umat Islam atau para pihak.
KHES merupakan bentuk dari peng-qanun-an terhadap fiqh. Karena materi KHES pada dasarnya adalah fiqh, sehingga kurang tepat jika menggunakan istilah Hukum Ekonomi Syari’ah karena istilah Syari’at lebih diartikan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat asasi, tetap dan lebih luas cakupannya. Sementara penggunaan istilah hukum ekonomi syariah atau perbankan syariah tidak dapat menjamin terwujudnya nilai-nilai Syari yang bersifat tetap, karena semuanya adalah hasil pemikiran manusia, lebih-lebih ketika fiqh itu telah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat duniawi-nisbi.
Kaitannya dengan materi fiqh, menurut hemat penulis, KHES ini masih banyak isi yang perlu dikritisi dan disempurnakan. Seperti dalam ketentuan Akad, belum menyebutkan asas-asas pokok dalam hukum akad (perjanjian), yakni asas asas ibahah, kebebasan berakad, konsensualisme, janji itu mengikat, keseimbangan, kemaslahatan, amanah, dan keadilan. Asas-asas ini sangat penting sebagai pertimbangan filosofis dalam mengembangkan reinterpretasi hukum-hukum muamalat ke dalam cakupan yang lebih luas, karena ketika hukum sudah dibakukan maka akan semakin mempersempit cakupannya. Justru dalam KHES lebih banyak menyebutkan kaidah-kaidah fiqhiyyah dalam satu rangkaian yang belum diklasifikasikan jenis, cakupan dan fungsinya. Justru setiap topik itu memerlukan kaidah-kaidah tersebut sebagai landasan filosofisnya.
Hal demikian itu akan semakin membuat kesimpangsiuran dalam penerapannya, sementara yang terjadi masih banyak ikhtilaf dalam hukum mu’amalat di kalangan ulama. Persoalan itu akan muncul ketika para pihak yang bertikai adalah para pakar dalam hukum muamalat. Masih dalam akad, KHES belum menyebutkan sub-sub topik penting dalam akad, masih terlalu global. Hal itu akan menimbulkan masalah ketika muncul perkara yang tidak ter-cover dalam KHES, sehingga penafsiran hakim yang “dipaksakan” itu justru akan menimbulkan masalah lain, yaitu rasa keadilan para pihak. Di sinilah perlunya format hukum yang lebih rinci, sehingga dapat menjawab banyak persoalan.
Jika hukum itu terlalu global, maka perbedaan tak dapat terelakkan, mengingat para hakim mempunyai paradigma dan perspektif yang berbeda-beda. Sebagai contoh lain adalah dalam ketentuan Mudarabah tidak menyebutkan ketentuan jaminan, padahal masalah jaminan dalam mudarabah termasuk topic yang sangat populer kajian fikih dan dalam praktek hukum muamalat di LKS.
Dalam akad Qard tidak disinggung tentang status hukum riba, sementara larangan riba merupakan ikon dalam propaganda perbankan syari’ah dan ekonomi Islam. Tetapi disebutkan bahwa biaya administrasi dalam akad Qard dibebankan kepada nasabah, dengan tanpa diberi batasan. Hal itu akan menimbulkan masalah ketika kreditur menafsirkan secara berlebihan yang terlalu membebani debitur.
Dalam ketentuan Zakat Tanam-tanaman dan Buah-buahan tidak disebutkan ketentuan nisabnya, sedangkan jenis harta yang lainnya disebutkan semua. Hal ini akan menyisakan masalah dalam prakteknya nanti ketika menentukan besarnya nisab yang terkena wajib zakat.
Demikian juga, dalam ketentuan zakat ini tidak disebutkan kriteria paramustahiq dan muzakki. Dan masih banyak lagi yang perlu disempurnakan.



BAB III
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut,Secara sosiologis, KHES disusun sebagai respon terhadap perkembangan baru dalam hukum mu’amalat dalam bentuk praktek-praktek ekonomi Syari’ah melalui LKS-LKS yang memerlukan payung hukum.
Secara konstitusional, KHES disusun sebagai respon terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA), yang memperluas kewenangan PA, seperti Hukum Ekonomi Syari’ah. Dengan kata lain, KHES merupakan upaya ”positifisasi” hukum muamalat dalam kehidupan umat Islam di Indonesia yang secara konstitusional sudah dijamin oleh sisitem konstitusi Indonesia. KHES merupakan produk pemikiran fikih Indonesia dalam bidang ekonomi (muamalat).
Dalam tingakatannya sebagai produk pemikiran, maka fikih itu bersifat zanni dan tidak mengikat setiap muslim, tetapi ketika dipositifkan maka mengikat setiap umat Islam. Dalam pembuatan hukum perlu mengakomodir kenyataan sosiologis umat Islam, terutama dalam hukum-hukum yang lebih dominan dimensi sosiologisnya (duniawinya), seperti Hukum Ekonomi Syari’ah. KHES juga bagian dari produk ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i) karena melibatkan banyak kalangan (ahli). Dalam ijtihad jama’i tidak mengharuskan semua orang telah menguasai hukum Islam atau memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, tetapi cukup menguasai dalam bidangnya. Hanya saja, dalam penyusunan KHES hanya mengakomodir sebagian kecil umat Islam dan para pakar, berbeda dalam penyusunan KHI sebelumnya.




Daftar Pustaka
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2004.
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), (2010)
Dewi Gemala, et al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007
http://awawankurniawan.blogspot.co.id/2014/02/pengertian-kompilasi-hukum-islam.html
http://www.pengertianpengertian.com/2011/12/pengertian-kompilasi.html,
Jayadi Abdullah, Beberapa Aspek Tentang Perbankan Syariah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2011,
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syrai’ah
Surat Edaran Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah.




[1]Kurniawan Awawan, diposting senin, 3 Februari 2014, http://awawankurniawan.blogspot.co.id/2014/02/pengertian-kompilasi-hukum-islam.html diakses 1 Desember 2017.
[2]Lewis Mulfored Adms dkk, Webster’s Word University Dictionary, (1965), hlm. 213 dikutip oleh Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, (2001), hlm. 143.
[3]http://www.pengertianpengertian.com/2011/12/pengertian-kompilasi.html, diakses 1 Desember 2017.
[4]Surat Edaran Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah
[5]Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syrai’ah
[6]Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), (2010), hlm. 8-194
[7]Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 30.
[8] Abdullah Jayadi, Beberapa Aspek Tentang Perbankan Syariah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2011, hlm. 10.
[9]Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 51.
[10] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 65
[11] Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 51.
[12] Ibid., hlm. 92.

0 Response to "Kritik Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah"

Post a Comment