Pembiayaan Al-qord: Teori dan Praktik Kontrak

A. Latar Belakang Masalah.
Perbankan syariah sebagai suatu lembaga intermediasi para surplus dana dengan defisit dana memiliki beberapa produk dalam operasionalnya. Produk yang dimilikinya terbagi dalam tiga jalur yang saling bekergantungan, diantaranya, penghimpunan dana, penyaluran dana dan jasa. Pada kesempatan ini saya akan membahas salah satu produk penyaluran dana yang dimiliki oleh perbankan syariah yaitu pembiayaan perjanjian Al-Qord. Perjanjian pembiayaan Al-Qord sendiri telah mendapat legalitas oleh pengawas perbankan syariah dibidang kesyariahannya yaitu majelis ulama indonesia melalui komisinya yaitu dewan syariah nasional yang menerbitkan Fatwa no: 19/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Al-Qord.
Berangkat dari aturan ini perbankan syariah menyediakan pembiayaan Al-Qord kepada para nasabahnya yang membutuhkan. Hal ini tentu saja mendapat respon positif bagi para nasabah yang merasa kebutuhannya disediakan oleh pihak perbankan syariah. Adanya pertukaran supply and demand diantara pihak, membuat perbankan syariah perlu mengadakan suatu standard perjanjian pembiayaan Al-Qord yang mana nantinya akan disuguhkan kepada para nasabah yang memerlukannya.
Pembuatan perjanjian ini memang hanya sepihak oleh pihak perbankan (perjanjian baku). Nasabah tidak dilibatkan dalam pembuatannya. Sehingga hal ini sedikit menjadi problematik ketika dilihat dari asas kebebasan berkontrak dan keseimbangan. Apalagi apabila perbankan dengan kuasanya membuat perjanjian yang tidak memperhatikan poin-poin keabsahan perjanjian baku. Perbankan memang terkesan memiliki peran yang lebih dominan dalam perkara pembiayaan Al-Qord. Karena pihak perbankan adalah pemilik dana (surplus dana) sedang nasabah hanya sebagai pengguna dana (defisit dana). Sehingga dari hal ini banyak anggapan perjanjian dalam perbankan menggunakan sistem take it or leave it (apabila setuju tanda tangan apabila tidak silahkan cari yang lain).
Dari ulasan diatas peneliti tertarik untuk menganalisis perjanjian pembiayaan Al-Qord pada salah satu bank pembiayaan rakyat syariah dengan tinjauan hukum perjanjian syariah. Sehingga nantinya perjanjian pembiayaan Al-Qord yang telah dimiliki dan standarkan oleh bank pembiayaan rakyat syariah ini  dapat dikupas serta dikritiki dengan teori perjanjian syariah.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana kesesuaian pengertian, rukun dan syarat perjanjian pembiayaan Al-Qord pada bank pembiayaan rakyat syariah tersebut ?
2. Bagaimana sistematika pembentukan dan teori perjanjian syariah memandang perjanjian pembiayaan Al-Qord pada bank pembiayaan rakyat syariah tersebut ?
C. Tinjauan Pustaka
Hukum perjanjian syariah sebagai bagian dari hukum Islam, memuat dua kategori besar ketentuan. Pertama, ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian baik perjanjian bernama maupun perjanjian tidak bernama. Ketentuan-ketentuan ini biasanya di kalangan pengkaji hukum Islam dikenal dengan nama nazkariyyah al-'aqd (asas-asas akad, teori akad). Kedua, memuat ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi aneka akad khusus yang biasanya dibicarakan ketika berbicara tentang masing-masing akad khusus tersebut.
Pengertian akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqd, yang yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt.), antara beberapa pihak dalam hal tertentu. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam bahwa kata al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Dari pengertian akad secara bahasa ini, maka akad secara bahasa adalah pertalian yang mengikat.
Wahbah Zuhaili mengkutip pernyataan salah satu ahli hukum positif yaitu "akad adalah kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, baik berupa menimbulkan kewajiban, memindahkannya, mengalihkan, maupun menghentikannya".
Dari pemaparan berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa akad merupakan pertemuan antara para pihak, untuk mendapatkan ijab dari pihak yang menawarkan dan qabul sebagai penerimaan dari pihak yang menerima dalam bentuk pernyataan kehendak masing-masing pihak. Maka dari akad inilah yang nantinya muncul suatu perikatan (iltizam) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Selanjutnya mengenai Al-Qord berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara etimologi, Al-Qord bermakna القطح (memotong) karena uang yang diambil oleh orang yang meminjamkan memotong sebagian hartanya. Al-Qord ialah salah satu jenis pendekatan untuk taqarrub kepada Allah dan merupakan jenis muamalah yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya, karena muqtaridh (penghutang/debitur) tidak diwajibkan memberikan iwadh (tambahan) dalam pengembalian harta yang dipinjamnya itu kepada muqridh (yang memberikan pinjaman/kreditur).
Dalam perjanjian Al-Qord, pemberi pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman kepada pihak lain dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikannya pada waktu yang telah diperjanjikan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman itu diberikan. Sehingga perjanjian pembiayaan Al-Qord adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati baik secara sekaligus ataupun cicilan.
1. Rukun akad Al-Qord.
Rukun akad adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu disebut rukun. Menurut jumhur ulama bahwa rukun akad terdiri dari:
a. Al-‘Āqidain (pihak-pihak yang berakad Al-Qord).
b. Ma’qūd ‘Alaih (objek akad Al-Qord).
c. Sigat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
d. Tujuan Akad Al-Qord
2. Dasar Hukum Al-Qord.
Dasar hukum utang-piutang atau Al-Qord, dalam al-Qur’an diantaranya adalah Firman Allah QS. Al-Baqarah : 245
من ذا الذى يقرض الله قرضا حسنا فيضعفه له اضعا فا كثيرة ؤ الله يقض و يبصط ؤاليه تر خعؤن   ÇËÍÎÈ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (Soenarjo, R. H. A, dkk., 1971: 70).
3. Struktur dan Anatomi Perjanjian.
Dalam suatu perjanjian tertulis adanya suatu landasan pembetukannya yang menggambarkan suatu perjanjian terlihat berstruktur. Sehingga perjanjian menjadi lebih rapi dan terkait dalam penyusunannya. Para ahli berbeda pandangan tentang hal-hal apa saja yang menjadi struktur dan anatomi perjanjian. Ray wijaya mengemukakan bahwa ada tujuh anatomi kontrak/akta, yaitu:
a. Judul (Heading).
b. Pembukaan.
c. Komparisi.
d. Premis (Recital).
e. Isi Perjanjian.
f. Penutup (Clocure/Closing).
g. Tanda Tangan (Attnstation)
Dilanjutkan Hikmahanto Juwana mengemukakan bahwa ada tiga bagian utama dari kontrak, khususnya kontrak bisnis, yaitu bagian pendahuluan, isi, penutup. Dari beberapa pendapat para ahli diatas sebenarnya semuanya sama hanya saja dalam penamaan sedikit berbeda hal pokok dalam suatu perjanjian seperti halnya yang dikemukakan oleh Hikmahanto Juwana. Namun dalam penganalisisan perjanjian pembiayaan Al-Qord penulis lebih condong menggunakan pendapat Ray Wijaya. Karena dirasa dapat mengungkap pasal demi pasal yang dicantumkan dalam perjanjian pembiayaan Al-Qord.
4. Asas-Asas dalam Akad
Kita tahu bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih muamalat. Jika fikih muamalat mengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonominya. Dalam pandangan fikih muamalah, akad (transaksi) yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas tertentu. Asas ini merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, apabila sebuah akad dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan. Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas ibahah, asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam. Kepadanya berlaku kaidah fikih:
 الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحري
Kaidah di atas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan dengan larangan universal dalam hukum Islam.
b. Asas kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan akad sesuai dengan kepentingannya, sepanjang tidak mengakibatkan makan harta sesama secara batil.
c. Asas konsensualisme, asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Asas keseimbangan, hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad, baik keseimbangan antara apa yang diberikannya dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam menanggung resiko. Artinya, bahwa seseorang yang melakukan transaksi harus menghindari adanya unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Selain itu, juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah satu / kedua belah pihak.
d. Asas kemaslahatan, artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat, berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena membawa manfaat dan kebaikan.
e. Asas amanah, artinya bahwa para pihak yang melakukan akad haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, jika suatu saat ditemukan informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut bisa dijadikan dasar untuk membatalkan akad.
f. Asas keadilan, keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul akad tanpa bisa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk itu. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah dalam Q.S. al Maidah ayat 8 yang menegaskan bahwa, Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi sehingga muncul rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai keadilan terhadap keduanya.

D. Analis Perjanjian Pembiayaan Al-Qord .
1. Cakupan sistematika perjanjian pembiayaan Al-Qord .
Perjanjian pembiayaan Al-Qord pada bank pembiayaan rakyat syariah ini terdiri dari 10 pasal. Dimulai dari judul perjanjian yang menyebutkan bahwa perjanjian ini berdasarkan akad Al-Qord . Dilanjutkan dengan pembukaan perjanjian yang dilaksanakan pada hari selasa tanggal 18 Oktober 2014. Tentu saja masalah waktu ini menjadi fleksibilitas tergantung pada kesepakatan antara pihak nasabah dengan perbankan dalam melakukan perjanjian ini. Dilanjutkan dengan komparisi perjanjian yang menyebutkan para pihak yang akan melakukan perjanjian pembiayaan Al-Qord yaitu bank sebagai pihak pertama dan nasabah sebagai pihak kedua. Barulah masuk dalam pembahasan isi perjanjian, dimana pada perjanjian ini pasal 1 menyebutkan pembiayaan dan penggunaannya. Bank sebagai pihak pertama memberikan pembiayaan dengan akad ijarah kepada pihak kedua yang mana akan digunakan untuk penyelesaian kewajiban.
Setelah isi perjanjian sudah dicakup maka perjanjian dilanjutkan dengan klausul-klausul yang membahas mulai dari jangka waktu, angsuran dan biaya-biaya. Pada pasal ini merincikan mengenai jangka waktu jatuh temponya perjanjian pembiayaan Al-Qord, serta angsuran yang harus dibayarkan nasabah setiap bulannya serta biaya-biaya yang akan muncul menjadi tanggungan nasabah. Selanjutnya klausul yang menyatakan bahwa perjanjian ini menjadi pembayaran yang diutamakan (hak preference), klausul syarat realisasi pembiayaan, klausul cidera janji atas wanprestasi yang mana dalam klausul ini bank lebih banyak menyatakan kemungkinan terburuk yang terjadi maka bank berkuasa untuk mengeksekusi jaminan (bank cari aman).
Selanjutnya mengenai klausul pernyataan dan jaminan, yang menyebutkan obyek yang dijadikan jaminan pada perjanjian pembiayaan Al-Qord dan diakhiri dengan klausul- klausul ketentuan tambahan dan penyelesaian perselisihan yang kemungkinan terjadi pada perjanjian pembiayaan Al-Qord. Cakupan perjanjian selanjutnya adalah penutup yang diwujudkan dengan tanda tangan masing-masing pihak dan dibubuhi dengan materai 6000.
Perjanjian pembiayaan Al-Qord yang diterapkan oleh bank pembiayaan rakyat syariah ini sudah memenuhi standar sistematika yang telah banyak disepakati oleh drafter. Sehingga dari segi sistematika perjanjian ini mencakup judul, pembukaan, komparisi, isi, klausul-klausul, dan penutup kontrak.
2. Perjanjian pembiayaan Al-Qord  tinjaun asas perjanjian syariah.
Perjanjian pembiayaan Al-Qord ini merupakan suatu perikatan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi para pihak. Perikatan ini menggunakan prinsip akad Al-Qord . Kewajiban yang dimunculkan dari perjanjian ini tertuang dalam beberapa poin diantaranya pada isi perjanjian yang menyatakan pihak bank berkewajiban memberikan pembiayaan kepada nasabah sebesar Rp. 21.216,000,- (dua puluh satu juta dua ratus enam belas ribu rupiah) dan dalam klausul perjanjian nasabah berkewajiban memberikan jaminan kepada pihak bank atas pembiayaan ini berupa sebidang tanah pekarangan beserta apa yang tumbuh dan berdiri diatasnya dengan sertifikat HN no. 03080 ds baturetno an. (_____________) / GS tgl 17.5.1997 no. 04168/1997 luas 99m2 dengan harga transaksi lelang sementara 27.720.000.
Ditinjau dari rukun akadnya perjanjian ini sudah mencakup ke empat unsur akad yang telah dipaparkan. Al-‘Āqidain (pihak-pihak yang berakad) terdiri dari dua pihak yaitu bank sebagai pihak pertama dan nasabah sebagai pihak kedua. Ma’qūd ‘Alaih (objek akad) telah disebutkan yaitu pinjaman uang sebesar 21.216.000,- yang akan digunakan untuk penyelesaian kewajiban nasabah. Sigat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri) tertuang dalam penutup perjanjian yaitu tanda tangan dari masing-masing pihak yang telah dibubuhi dengan materai 6000.
Tujuan akad juga akan sekaligus memberi arahan pada jenis akad yang akan digunakan. Sehubungan dengan pembiayaan yang diajukan nasabah kepada pihak bank bertujuan untuk membantu nasabah menyelesaikan kewajibannya (konsumtif). Sehingga pada perjanjian ini akad yang digunakan adalah akad Al-Qord karena sesuai dengan pengertiannya dan juga pembiayaan ini dialokasi untuk penyelesaian kewajiban nasabah, bukan untuk usaha.
Selanjutnya ditinjau dari asas-asas perjanjian syariah, secara umum perjanjian pembiayaan Al-Qord diperbolehkan (mencakup asas ibahah). Karena telah sesuainya akad yang digunakan dalam pemenuhan kebutuhan konsumen didalam penyelesaian kewajibannya (konsumtif) berdasarkan dasar hukum Surah An-Nissa ayat 1 dan 29 serta Fatwa DSN MUI. Tentunya praktik ini tidak ada dalil penentang apabila semua dilakukan sesuai dengan klausul yang telah dimuat dalam perjanjian ini. Kebebasan para pihak dalam melakukan perjanjian ini juga tidak melanggar nilai syariah yang berlaku pihak bank membantu nasabah untuk menyelesaikan kewajibannya (konsumtif).
Konsensualisme antara kedua belah pihak telah dibuktikan dengan kesepakatan masing-masing pihak untuk memberikan tanda tangannya dan dibubuhi dengan materai 6000 dalam perjanjian ini. Hal ini merupakan suatu pemaknaan dari potongan ayat (antaradin minkum). Tentu saja kesepakatan ini melahirkan asas pacta sunt servanda, yang mana perjanjian pembiayaan Al-Qord  ini menjadi wajib untuk ditaati. Dan akan menjadi salah satu alat bukti yang kuat ketika terjadi sengketa.
Namun hanya saja dalam asas keseimbangan perjanjian ini masih tidak sepenuhnya memenuhi asas tersebut. Karena tidak terjadinya bergaining position antara bank sebagai pihak pertama dan nasabah sebagai pihak kedua dalam pembuatan perjanjian pembiayaan Al-Qord. Karena apabila kita berbicara mengenai perjanjian baku masih adanya ikhtilaf diantara pakar ekonomi syariah.
Pembakuan perjanjian ini disinyalir agar mempermudah dan mengefisienkan kegiatan pembiayaan Al-Qord yang ada di perbankan. Hal ini tentu tidak sepenuhnya negatif apabila pihak drafter perjanjian memperhatikan posisi dari nasabah, dan tidak hanya mementingkan keuntungannya. Seperti halnya dalam perjanjian pembiayaan Al-Qord yang diterapkan oleh bank pembiayaan rakyat syariah ini, pihak bank memang terkesan mencari keamaan dalam menyalurkan dan nasabah lainnya. Mulai dari klausul biaya-biaya, pengutamaan pembayaran dan peristiwa cidera janji. Pada klausul biaya-biaya, perjanjian ini menyebutkan segala biaya yang dikeluarkan dari perjanjian ini mulai dari biaya administrasi sampai pada biaya penagihan apabila nasabah lalai dalam melakukan angsuran ditanggung oleh nasabah.
Selain itu bank juga meminta nasabah memberikan hak preference kepada perjanjian ini. Sehingga nasabah mengutamakan pembayaran angsuran perjanjian ini terlebih dahulu ketimbang perjanjian lainnya. Terakhir pada pasal cidera janji bank mengungkapkan bahwa bank dapat melakukan tindakan yang dirasa perlu dalam perjanjian ini yaitu dalam bentuk pengeksekusian jaminan.
Sehingga agar perjanjian ini mencapai kemaslahatan bagi para pihak yaitu nasabah bisa melakukan usahanya dengan lancar dan pihak bank dapat mengoperasionalkan dana yang telah dihimpunnya serta menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi. Maka perlu kiranya asas amanah ditanamkan dari masing-masing pihak yang mana i’tikad baik dihadirkan sebelum melakukan perjanjian pembiayaan Al-Qord maka klausul cidera janji tidak terlanggar dan pasal penyelesaian perselisihan tidak perlu diterapkan.
Namun hal ini sudah nampak dilakukan oleh pihak bank selaku pihak pertama karena bank memberikan tambahan (tempo) waktu pembayaran kepada nasabah selama 12 bulan dikarenakan nasabah belum dapat menyelesaikan kewajibannya sehingga pihak bank membuatkan adendum atas perubahan perjanjian ini. Sikap bank pembiayaan rakyat syariah ini sudah sangat menggambarkan jati dirinya sebagai lembaga keuangan bank yang berbasis syariah karena telah sesuai dengan aturan yang ada dalam pedoman hidup umat Islam yaitu Al-Quran Al-Karim yang tertera pada Surah Al-Baqarah ayat 280.
و ان كا ن ذو عسرة فنظرة الى ميسرة 4 .......
Akhirnya, perjanjian pembiayaan Al-Qord pada bank pembiayaan rakyat syariah ini overall sudah memenuhi asas-asas yang telah dipaparkan diatas hanya saja masih belum adanya bergaining position diantara kedua pihak. Padahal pada perjanjian ini bukan hanya nasabah yang membutuhkan bank. Namun juga sebaliknya bank memnutuhkan nasabah. Karena apabila bank hanya bisa menghimpun dana yang besar namun tidak bisa menyalurkannya maka bank akan kekurangan margin keuntungan dalam operasionalnya.
Namun dari segi rukun dan syarat sah suatu perjanjian, perjanjian pembiayaan Al-Qord ini telah memenuhi apa yang telah diatur pada fiqh muamalah maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yang mana adanya para pihak yang telah menyatakan kesediaannya dalam suatu tanda tangan yang dibubuhi materai, dan obyek akad berupa pembiayaan Al-Qord serta tujuan perjanjian yang jelas guna memenuhi kebutuhan.. Sehingga akad ini menjadi akad perjanjian yang sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, serta menjadi alat bukti yang sah apabila suatu saat terjadi sengketa.

E. Daftar Pustaka.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah, Yogyakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2010.

Aziz Dahlan, Abdul dan dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeva, 2001, jilid 1.

Kementerian Agama RI, al-Qurān dan Terjemahan Dilengkapi dengan Kajian
Usul Fiqih dan Intisari Ayat, (Bandung: Syaamil Quran, 2011).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Khafifuddin, Metodologi Kajian Fiqh, cet  ke- 2, Situbondo: Ibrahimy Press,
2011.

Muslich, Wardi. Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010.
Nakha’i, Imam dan Moh.Asra Ma’sum, Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah Situbondo:
Ibrahimy Press, 2011.

M. Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada
Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2011.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Umum Grafiti, 2007.

Soemitra, Andri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2014

0 Response to "Pembiayaan Al-qord: Teori dan Praktik Kontrak"

Post a Comment