Akibat Hukum Perjanjian Syariah Dalam Objek

PENDAHULUAN


A.    Latar belakang
Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan sarana dan jembatan yang harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.[1] Menarik apa yang dikatakan maka bila menyimak tentang ide yang ingin dicita-citakan (das sollen), artinya kita berupaya mewujudkan keinginan tersebut dengan mencari format dan pola, yang selanjutnya, bagaimana membawa kehendak, keinginan tersebut agar dituangkan kedalam isi perjanjian yang dibuat para pihak (das sein).
Secara umum perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, dalam hal ini kedudukan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang, akan tetapi perjanjian tersebut mempunyai pengertian yang luas dan umum, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat. Hal tersebut disebabkan pengertian perjanjian menurut konsepsi pasal 1313 KUH Perdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang mengigatkan diri pada pihak lainya tanpa menentukan tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat.
Oleh karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling menigkatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.[2]

Suatu persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, persetujuan-persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah piha dan persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.[3] Persetujuan (overeenkomsten) merupakan suatu perbuatan hukum berupa kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan antara, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.[4] Dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang, yang selanjutnya dikenal dengan asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract.[5]
Sebagian besar perjanjian-perjanjian bersumber dari kesepakatan kedua belah pihak, akan tetapi ada sebagian yang bersumber dari suatu perbuatan yang tak melanggar hukum dari salah satu pihak, akan tetapi undang-undang menentukan akibat bagi pembuat dari perjanjian itu. Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dan tidak bertentanggan dengan undang-undang adalah kmengikat le dua belah pihak, dan perjanjian itu pada umumnya tidak dapat di tarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. [6]  Dengan demikian jelas bahwa perjanjian merupakan suatu hubungan hukum, yang berarti bahwa yang tersangkut dalam perjanjian haknya dijamin dan dilindunggi oleh hukum atau undang-undang. Sehingga apabila haknya tidak dipenuhi secara sukarela, dia berhak menuntut melalui pengadilan supaya orang,yang bersangkutan dipaksa untuk memenuhi atau menegakkan haknya.
B.     Pembahasan
1.      Perjanjian (Akad)
Dalam hukum Indonesia perjanjian disebut “akad” dalam hukum Islam, kata akad berasal dari al-a’qd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[7] Sedangkan secara etimologis perjanjian yang di dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittifa’ akad atau kontrak yang dapat diartikan sebagai perjanjian atau persetujuan merupakan suatu perbutan di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih. [8]Adapun Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) yang diterjemahkan dengan persetujuan/ perjanjian.[9]Sedangkan di dalam Pasal 1313 KUH Perdata mengungkapkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Definisi perjanjian dari pasal tersebut ialah:
a.       Tidak jelas, Karen setiap perbuatan dapat disebut perjanjian
b.      Tidak tampak asas konsensualisme
c.       Bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi tersebut disebabkan di dalam rumusan hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian karena kelemahan tersebut maka para ahli hukum mengemukakan sendiri arti kata perjanjian.[10]
Rumusan tersebut selain kurang lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, sangat luas karena hanya dipergunakan kata “perbuatan” tercakup juga perbuatan suka rela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum dan menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya, sehingga perumusannya menjadi suatu perbuatan hukum yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[11]
Selain Pasal 1313 KUH Perdata muncul pendapat lain mengenai perjanjian oleh para ahli hukum salah satunya dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro yang mengungkapkan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda anatar dua pihak, dalam mana  suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.
Berdasarkan pendapat Wirjono Prodjodikoro maka dapat dipahami bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang, kedua, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang konkrit dalam hubungan tersebut.[12]
2.      Objek Akad
Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau sesuatu yang lain yang tidak berkenaan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tidak berbadan.
Misalnya akad jual beli rumah obyeknya adalah benda, yaitu berupa rumah dan ruang harga penjualannya yang juga merupakan benda akad sewa menyewa obyeknya adalah manfaat barang yang disewa, akad pengangkutan obyeknya adalah jasa pengangkutan. Imbalannya, yang bisa berupa benda (termasuk uang), manfaat atau jasa juga merupakan obyek akad. Jadi dalam akad jual beli rumah, misalnya, menurut hukum Islam bukan rumahnya saja yang merupakan obyek akad, tetapi imbalannya yang berupa uang atau berupa lainnya juga merupakan obyek akad jual beli.
Dari hal tersebut para ahli hukum Islam mengungkapkan beberapa syarat pada objek akad di antaranya:[13]
a)      Objek Akad Dapat Diserahkan atau Dapat Dilaksanakan
Obyek akad disyaratkan harus dapat diserahkan apabila obyek tersebut berupa barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat dinikmati maupun dapat diambil manfaatnya apabila obyek itu berupa manfaat benda seperti dalam sewa menyewa benda (ijārah almanāfi’). Apabila obyek akad berupa sesuatu perbuatan seperti mengajar, melukis, mengerjakan suatu pekerjaan, maka pekerjaan itu harus mungkin dan dapat dilaksanakan.
b)      Objek Akad Harus Tertentu atau Dapat Ditentukan
Syarat kedua dari obyek akad adalah bahwa obyek tersebut tertentu dan dapat ditentukan. Dasar ketentuan ini adalah bahwa Nabi SAW melarang jual beli kerikil. Dengan jual beli kerikil dimaksudkan jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil pada obyek jual beli, dimana obyek yang terkena batu kerikil tersebut itulah jual beli yang terjadi. Hal ini hampir mirip dengan judi dimana seseorang memasang sejumlah uang, kemudian menggulirkan sebuah bola kecil, kemudian roda atau bola kecil tersebut berhenti atau masuk lobang, maka itulah obyek yang dia menangkan. Di sini terjadi ketidaktentuan atau ketidakjelasan obyek. Dari larangan ini diabstraksikan ketentuan umum bahwa suatu obyek akad harus tertentu atau dapat ditentukan.
Obyek akad itu tertentu artinya diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila obyek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah. Ketidakjelasan kecil (sedikit) yang tidak membawa kepada persengketaan tidak membatalkan akad. Ahli-ahli hukum Hanafi menjadikan akad kebiasaan dalam masyarakat sebagai menentukan mencolok atau tidaknya suatu ketidak jelasan.[14]
c)      Objek Akad Dapat Ditransaksikan Menurut Syarak
Suatu obyek dapat ditransaksikan dalam hukum Islam apabila memenuhi kriteria-kriteria berikut:
1)      Tujuan obyek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila transaksi tersebut bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. Dalam hukum Islam, ada tiga jenis pemilikan dilihat dari segi pemiliknya, yaitu: (1) milik pribadi/individual. (2) milik negara, misalnya: gedung atau kendaraan, dianggap tidak dapat dijual kecuali setelah dicabut dari daftar millik negara. (3) milik umum/ masyarakat, yakni barang yang tidak dimiliki oleh masyarakat atau biasanya dalam kitab fiqih disebut sebagai milik Allah.
2)      Sifat atau hakikat dari obyek itu tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan transaksi. Yakni, sesuatu juga tidak dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu memang tidak dapat menerima transaksi atau tidak dapat menerima akibat hukum akad. Untuk dapat ditransaksikan dan dapat menerima akibat hukum akad, suatu obyek, apabila berupa benda, harus (1) merupakan benda bernilai dalam pandangan syariat Islam (m lmutaqawwim), dan (2) benda yang dimiliki.
3)      Obyek akad tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Obyek yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum lebih tertuju kepada obyek yang berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Adapun obyek berupa benda yang bertentangan dengan ketertiban umum syar’i seperti narkoba atau VCD porno dimasukkan dalam kategori benda yang tidak bernilai pada pandangan syari’at Islam.[15]
Dalam hal ini juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah yaitu:
a)      Barang tersebut harus suci atau meskipun najis bisa dibersihkan. Dari hal tersebut maka akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya. Seperti cuka, susu atau benda cair sejenis yang terkena najis.
b)      Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan, karena fungsi legal dari suatu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan seperti minuman keras dan sejenisnya semua itu tidak dapat diperjualbelikan.
c)      Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, karena yang demikian itu termasuk gharar dan itu terlarang.
d)     Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
e)      Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual lansung. Harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi.[16]
Berdasarkan hal tersebut akad dipandang telah terjadi jika telah memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad adalah ijab dan kabul. Adapun syaratnya ada yang menyangkut obyeknya dan ada pula yang menyangkut subyeknya, namun dalam pembahasan ini terfokus pada syarat obyek akad yang dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Telah ada pada waktu akad diadakan
Barang yang belum terwujud tidak boleh dijadikan obyek akad, dengan pengecualian pada akad salam yaitu akad yang didahului dengan pemesanan.

2.      Dapat menerima hukum akad
Para fukaha sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad. Jadi jual beli tidak dapat dilakukan dengan obyek barang yang haram dan benda mubah yang belum menjadi milik seorangpun, sebab benda mubah masih menjadi hak semua orang untuk manikmatinya demikian juga benda-benda yang menjadi milik negara.
3.      Dapat ditentukan dan diketahui
Dalam konteks ini para fukaha sudah sepakat, dan peranan urf (adat kebiasaan) sangat penting untuk menentukan apakah syarat kejelasan suatu obyek akad itu sudah terpenuhi atau belum.
4.      Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi
Obyek akad harus dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika, obyek akad harus memang benar-benar dibawah kekuasaan yang sah pihak yan bersangkutan. Intinya obyek akad itu telah terwujud, jelas dan dapat diserahkan.[17] 
3.      Akibat Perjanjian (Akad)
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengungkapkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari istilah “semua” tersebut menunjukkan makna bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama.[18]R. Setiawan mengungkapkan bahwa dari perkataan “setiap/semua” dalam pasal tersebut dapat disimpulkan azas kebebasan berkontrak.[19]
Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan di dalam istilah secara “sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua perjanjian yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat. Adapun yang dimaksud dengan secara sah di sini adalah bahwa pembuatan perjanjian harus mematuhi ketentuan dalam pasal 1320 KUH Perdata.[20]Artinya bahwa setiap kebebasan berkontrak dibatasi oleh hukum yang bersifat memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang.
Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata mengungkapkan bahwa “suatu perjanjian tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Menurut R. Setiawan jika perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tidak mengikat.[21]Dari hal tersebut jelas bahwa apa yang sudah disepakati oleh para pihak tidak boleh diubah oleh siapapun juga, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh para pihak,  ataupun ditentukan demikian oleh undang-undang berdasarkan suatu perbuatan hukum atau keadaan hukum tertentu.
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengatur bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Adapun yang dimaksud dengan hal tersebut ialah menjelaskan perjanjian menurut kepatutan dan keadilan. Dalam rangka pelaksanaan perjanjian, peranan itikad baik (te goeder trouw) sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali. Bahkan R. Subekti mengungkapkan bahwa itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa karena itikad baik itu merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya.[22]
Pasal 1339 KUH Perdata menunjuk pada terikatnya persetujuan kepada sifat, kebiasaan dan undang-undang. Sedangkan Pasal 1347 KUH Perdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian.[23] Menurut Mariam Darus Badrulzaman, terikatnya para pihak pada perjanjian ini tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.[24]
Sedangkan di lihat dari akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian perlu dilakukan penentuan ruang lingkup isi perjanjian, kekuatan atau daya ikat perjanjian serta akibat hukum yang timbul apabila isi perjanjian tidak dilaksanakan. Adapun ruang lingkup perjanjian di antaranya:
a.       Ruang Lingkup Perjanjian
1)      Penafsiran Perjanjian
Penafsiran perjanjian adalah upaya untuk menentukan apa yang menjadi maksud bersama para pihak. Hal ini dimaksudkan karena perjanjian itu tidak lain dari kesepakatan para pihak yang bersangkutan, bukan kehendak salah satu pihak yang tidak bertemu dengan kehendak pihak lain.
Adapun maksud kaidah hukum Islam (al-qawa’d al-fiqhiyyah) yang menjadi pedoman penafsirannya adalah:
·         Kaidah bersangkutan menegaskan bahwa dalam akad yang dipegangi adalah pernyataan kehendak.
·         Bila suatu pernyataan itu sudah jelas, maka dipegangi pengertian yang sudah jelas tersebut.
·         Apabila pengertian yang jelas dari ungkapan para pihak dalam akad tidak jelas, maka dilakukan penafsiran dengan mencari makna majazi (kiasan) karena memberlakukan suatu pernyataan lebih utama dari mengabaikannya.
·         Kaidah-kaidah yang melindungi kedudukan debitur atau pihak yang lemah dalam akad.
2)      Penentuan Cakupan Isi Akad
Dalam menghadapi suatu akad, hakim atau ahli hukum tidak hanya berusaha mennetukan apa yang menjadi maksud para pihak dengan penafsiran akad itu, tetapi juga berusaha menentukan cakupan isi akad. Adapun yang dimaksud ialah cakupan berisi prestasi yang menjadi hak salah satu phak dan menjadi kewajiban pihak lain.  cakupan yang dimaksud adalah akibat hukum yang timbul dari akad. Seperti yang diungkapkan bahwa akibat hukum dari akad dalam hukum Islam dibedakan menjadi dua macam di antaranya, pertama, akibat hukum pokok dan kedua, akibat hukum tambahan akad.
Akibat hukum pokok akad untuk masing-masing akad bernam sudah ditetapkan. Sedangkan untuk akad-akad tidak bernama hukum pokok akad itu tidak ditetapkan oleh pembuatan hukum, melainkan di tetapkan oleh para pihk sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup perjanjian dengan syarat tidak bertentangan dengan syariah.
Akibat hukum tambahan dimana disebut juga hak-hak akad. Yang dibedakan menjadi dua macam, pertama, akibat-akibat hukum yang ditentukan oleh pembuat hukum syariah. kedua, akibat hukum yang timbul karena diperjanjikan oleh para pihak dalam klausul akad.
b.      Daya IKat Perjanjian
·         Kewajiban memenuhi akad
Bentuk-bentuk kewajiban memenuhi prestasisebagai berikut hukum yang timbul dari akad berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tujuan masing-masing akad.  Dari tujuan tersebut dapat dibedakan menjadi lima macam di antaranya: Pertama, akad pemindahan milik (‘aqd at-tamlik) yaitu akad yang tujuan pokoknya memindahkan milik atas sesuatu dari satu pihak ke pihak lain. Kedua, akad melakukan pekerjaan (‘aqd at-amal) yaitu satu akad dimana kwajiban salah satu pihak adalah melakukan pekerjaan. Ketiga, akad persekutuan (‘aqd at-isytirak) yaitu akad untuk megadakan persekutuan antara dua pihak atau lebih. Keempat, akad penjaminan (‘aqd at-tausiq) yaitu akad yang tujuannya untuk memberikan jaminan dan penguatan terhadap suatu akad pokok dan kelima, akad pendelegasian (‘aqd at-tafwidh) yaitu akad yang tujuannya untuk menyerahkan sebagian atau seluruh kewenangan bertindak hukum dari seseorang kepada orang lain.
·         Klausal akad baku
Perjanjian baku adalah suatu perjnjian yang dibuat oleh dua pihak dimana salah satu pihak menstrandarkan klausul-klausulnya kepada pihak lain yang tidak mempunyai kebebasan untuk melakukan tawar menawar dan tidak mempunyai pilihan kecuali menerimanya.
·         Keadaan memberatkan (Masyaqqah)
Keadaan memberatkan (Masyaqqah) adalah suatu peristiwa yang luar biasa yang diluar kemampuan para pihak dan yang terjadi secara tidak dapat diduga sebelumnya, serta menyebabkan pelaksanaan isi perjanjian yang sangat memberatkan salah satu pihak dan menimbulkan kerugian fatal.
Dasar syariah dari teori keadaan memberatkan adalalah 1) asas “kerugian harus dihilangkan” (adh-dhararu yuzal) dan 2) asas “kesukaran mendatangkan kelonggaran” (al-masyaqqah tajlibu at-tasisir). Dimana dalam contoh seperti doktrin tentang apa yang dikenal dengan musibah pertanian (al-ja’ihah), dan  doktrin uzur dalam sewa-menyewa (al-ijarah). Adapun cara penerapan keadaan yang memberatkan di kalangan ahli-ahli hukum hukum Islam klasik yaitu ada yang berpendapat melalui kesepakatan, melalui kehendak sepihak atau melalui hakim sesuai dengan keadaan masing-masing akad.
c.       Tanggung Jawab Akad (Dhaman al-‘Aqd)
Tanggung jawab akad dibagi menjadi tiga unsure pokok di antaranya adanya perbuatan ingkar janji yang dapat dipersalahkan, perbuatan ingkar janji itu menimbulkan kerugian kepada kreditor dan kerugian itu disebabkan oleh (memiliki hubungan sebab-akibat dengan) perbuatan ingkar janji debitur.
Adapun yang menjadi penyebab terjadinya daman ada dua macam yaitu tidak melaksanakan akad dan alpa dalam melaksanakannya. timbulnya tanggung jawab akad megandaikan bahwa terdapat suatu akad yang sudah memenuhi ketentuan hukum sehingga dapat mengikat dan wajib dipenuhi.sedangkan bilamana akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan isinya oleh debitur atau dilaksanakan, tetapi tidak sebagaimana mestinya maka terjadilah kesalahan di pihak debitur tersebut, baik kesalahan itu karena kesengajannya untuk tidak melaksanakannya maupun karena kelalaiannya.

Akan terwujud tanggung jawab tidak hanya cukup dengan adanya kesalahan dari pihak debitur, namun ada juga kerugian para pihak kreditur sebagai akibat dari kesalahan tersebut. adapun dasar dari timbulnya tanggung jawab ganti rugi adalah kaidah hukum Islam/ kerugian kehilangan, yaitu kerugian dihilangankan dengan ditutup melalui pemberian ganti rugi. Adapun dalam kaitannya degan ingkr akad, kerugian yang terjadi lebih banyak menyangkut harta kekayaan, yang terwujud dalam bentuk terjadinya pengurangan kuantitas, kualitas maupun manfaat.
Adapun hubungan kausalitas bahwa kewajiban debitur untuk memberikan ganti rugi terhadap terhadap kreditornya timbul dari kesalahannya karena tidak melaksanakan aka dang telah disepakati. Sebaliknya tidaklah wajar apabila debitur diwajibkan memberikan pergantian kepada kreditur atas suatu yang bukan merupakan kesalahannya atau mungkin merupakan kesalahannya tetapi ia berada dalam situasi terpaksa oleh keadaan sehingga tidak dapat melaksanakan perikatannya.[25]

C.    Kesimpulan
perjanjian adalah perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang. Sedangkan objek perjanjian yaitu objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan, objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan dan objek akad dapat ditransaksikan menurut syarak. Adapun akibat hukum akad ialah ruang lingkup perjanajian, daya ikat perjanjian dan tanggung jawab kontrak.


  DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul., 2010, Hukum Perjanjian Syariah (studi tentang teori akad dalam fikih muamalat), Jakarta: Rajawali Pers.
Bardrulzaman, Mariam Darus., 2011, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung: Alumni.
Badrulzaman, Mariam Darus., 2001, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Pasaribu, Chairuman., 1994, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Hartono, C.F.G. Sunaryati., 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni.
HS, Salim., 2003, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad, Abdul kadir., 1982, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.
Setiawan, R., 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta.
Soekanto, Soejono dan Purbacaraka Purnadi., 1986, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Alumni.
Subekti., 1979, Hukum Perjanjian, Jakarta: Internusa.
Subekti., 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa.
Syahrani, Riduan., 2004, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni
Tjitrosudibio, R. Subekti, R., 2003, Kitab Undang–Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.
Prodjodikoro, Wiryono., 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur.
Prodjodikoro, Wirjono., 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: CV. Mnadar Maju.




[1]C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1.
[2]Abdul kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 78.
[3]Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1986, Hlm. 63.
[4]Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981), hlm.11.
[5]Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Internusa, 1979), hlm. 13.
[6]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1980), hlm. 139.
[7]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (studi tentang teori akad dalam fikih muamalat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),hlm. 68
[8]Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 1.
[9]R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang–Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hal. 338.
[10]Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 161.
[11]R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1994), hlm.49
[12]Wiryono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: CV. Mnadar Maju, 2011), hlm. 4.
[13]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 191.
[14]Ibid., hlm. 201-202.
[15]Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah…, hlm. 205-209
[16]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi dan Implementasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 25-26.
[17]Ibid., hlm. 29.
[18]Mariam Darus Bardrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 107.
[19]R. Setiawan, Pokok-Pokok…, hlm. 64.
[20]Mariam Darus Bardrulzaman, KUH Perdata…, hlm. 108.
[21]R. Setiawan, Pokok-Pokok…, hlm. 64.
[22]Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 247.
[23]R. Setiawan, Pokok-Pokok…, hlm. 65.
[24]Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 87-88.
[25]Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah…, hlm. 301-337. 

0 Response to "Akibat Hukum Perjanjian Syariah Dalam Objek"

Post a Comment