Akad Ijarah Maushufah Fi Dzimmah


Akad Ijarah Maushufah Fi Dzimmah adalah contoh praktik transaksi akad yang baru, sebagai hasil dari perkembangan perilaku bisnis masyarakat di LKS. 
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Sebagia makhluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang-orang lain disebut muamalat.[1]
Dalam bermuamalah, terdapat akad-akad yang diperjanjikan, salah satunya adalah akad ijarah. Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[2]Sekarang ini terdapat praktik di masyarakat bentuk sewa-menyewa yang mekanismenya menggunakan pola pemesanan manfaat barang dan/atau jasa berdasarkan spesifikasi yang disepakati (sewa-inden). Berkaitan dengan hal ini, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah untuk dijadikan pedoman.[3]
Adapun fatwa yang berkaitan dengan akad Ijarah Maushufah al-Dzimmah adalah Fatwa DSN-MUI No: 101/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al-maushufah Fi Al-Dzimmah dan Fatwa DSN-MUI No: 102/DSN-MUI/X/2016 Tentang Al-Ijarah Al-maushufah Fi Al-Dzimmah Untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Inden.



  Pengertian Akad Ijarah Mausufah Fi Dzimmah

1.      Ijarah Maushufah Fi Dzimmah akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal)

Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan/atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah). 
Sedangkan akad Ijarah Maushufah al-Dzimmah adalah akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kuaIitas).[4]
Di dalam hukum Islam istilah orang yang menyewakan disebut dengan mu’jir, sedangkan orang yang menyewa disebut dengan musta’jir, dan benda yang disewa dikenal dengan istilah ma’jur, serta uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang disebut dengan ujrah.[5]

2.      Pendapat Ulama Terkait Ijarah Maushufah Fi Dzimmah

Ada beberapa pendapat tentang akad Ijarah Maushufah Fi Dzimmah menurut para ulama, diantaranya:[6]

a.    Badr al-Hasan al-Qasimi dalam al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah menjelaskan sebagai berikut:

"Adapun al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah bersifat ke depan (forward ijarah), boleh dilakukan dengan syarat kriteria obyeknya dapat digambarkan secara terukur dan diserahkan pada waktu tertentu sesuai kesepakatan saat akad."

b.   Ahmad Muhammad Mahmud Nashar dalam Fiqh al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah wa Tathbiqatuha fi al-Muntajat al-Maliyyah al-Islamiyyah li Tamwil al-Khadamat (2009), menjelaskan sebagai berikut:

"Ahli fikih berbeda pendapat tentang status hukum al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah; pertama, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa akad ijarah atas manfaat barang yang termasuk maushufah fi al-dzimmah adalah akad yang dilarang (baca: tidak sah); mereka berpendapat bahwa barang sewa (mahall al-manfa 'ah) harus sudah ditentukan pada saat akad atau perjanjian dilakukan; dan kedua, jumhur ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah membolehkan akad ijarah atas barang yang termasuk maushufah fi al-dzimmah; mereka menganggap akad ijarah maushufah fi al-dzimmahini bagian dari bentuk akad jual-beli salam atas manfaat."

c.    AI-Ma'ayir al-Syar'iyyah Nomor 9 tentang parameter (dhawabith) al-Ijarah wa al-Ijarah al-Muntahiyyah bi al-Tamlik, yaitu dalam kitab tersebut ditetapkan hal-hal berikut:

"Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh dilakukan dengan syarat kriteria barang sewa dapat terukur meskipun obyek tersebut belum menjadi milik pemberi sewa (pada saat ijab-qabul dilakukan); waktu penyerahan barang sewa disepakati pada saat akad, barang sewa tersebut harus diyakini dapat menjadi milik pemberi sewa baik dengan cara memperolehnya dari pihak lain maupun membuatnya sendiri; tidak disyaratkan pembayan ujrah didahulukan (dilakukan pada saat akad) selama ijab-qabul yang dilakukan tidak menggunakan kata salam atau salaf,[7]apabila barang sewa diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria yang disepakati, pihak penyewa berhak menolak dan meminta gantinya yang sesuai dengan kriteria yang disepakati pada saat akad."

3.      Ketentuan-Ketentuan Dalam Ijarah Maushufah Fi Dzimmah

Di dalam Fatwa DSN-MUI No: 101/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al-maushufah Fi Al-Dzimmah memuat beberapa ketentuan yang spesifik berkaitan dengan manfaat barang dan pekerjaan, barang sewa, ujrah, serta ketentuan terkait dengan uang muka dan jaminan.[8]

a.    Ketentuan terkait Manfaat Barang (Manfaat 'Ain) dan Pekerjaan ('Amal)

1.    Diketahui dengan jelas dan terukur spesifikasinya (ma'lum mundhabith) supaya terhindar dari perselisihan dan sengketa (al-niza');

2.    Dapat diserahterimakan, baik secara hakiki maupun secara hukum;[9]

3.    Disepakati waktu penyerahan dan masa ijarahnya; dan

4.    Sesuai dengan prinsip syariah

b.   Ketentuan terkait Barang Sewa

1.    Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus jelas dan terukur spesifikasinya;[10]

2.    Barang sewa yang dideskripsikan boleh belum menjadi milik pemberi sewa pada saat akad dilakukan;

3.    Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan dan menyerahkan barang sewa;

4.    Barang sewa diduga kuat dapat diwujudkan dan diserahkan pada waktu yang disepakati;

5.    Para pihak harus sepakat terkait waktu serah-terima barang sewa;dan

6.    Apabila barang yang diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria pada saat akad dilakukan, penyewa berhak menolaknya dan meminta ganti sesuai kriteria atau spesifikasi yang disepakati.

c.    Ketentuan terkait Ujrah

1.    Ujrahboleh dalam bentuk uang dan selain uang;[11]

2.    Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan berdasarkan kesepakatan;

3.    Ujrah boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai kesepakatan[12]; dan

4.    Ujrah yang dibayar oleh penyewa setelah akad, diakui sebagai milik pemberi sewa.

d.   Ketentuan terkait Uang Muka dan Jaminan

1.    Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya uang muka (uang kesungguhan “hamisy jiddiyah”) yang diserahkan oleh penyewa kepada pihak yang menyewakan.[13]

2.    Uang muka dapat dijadikan ganti rugi (al-ta'widh) oleh pemberi sewa atas biaya-biaya/kerugian yang timbul dari proses upaya mewujudkan barang sewa apabila penyewa melakukan pembatalan sewa, dan menjadi pembayaran sewa (ujrah) apabila akad al-ijarah al-maushufahfi al-dzimmahdilaksanakan sesuai kesepakatan.

3.    Pemberi sewa dapat dikenakan sanksi apabila menyalahi substansi perjanjian terkait spesifikasi barang sewa dan jangka waktu.

4.    Apabila jumlah uang muka lebih besar dari jumlah kerugian, uang muka tersebut harus dikembalikan kepada penyewa.

5.    Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya jaminan (al-rahn)[14]yang dikuasai oleh pemberi sewa baik secara hakiki (qabdh haqiqi) maupun secara hukum (qabdh hukmi).[15]

4.      Ijarah Maushufah Fi Dzimmah pada Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Inden Syariah

Implementasi akad IMFZ dapat diterapkan pada produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Inden Syariah. PPR Inden syariah merupakan produk pembiayaan bank syariah dalam rangka pembelian rumah secara inden (atas dasar pesanan) menggunakan prinsip syariah dengan akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) atau Ijarah Muntahiyah Bi Tamlik (IMBT).[16]
Dalam Fatwa DSN MUI No. 102 diatur ketentuan syariah terkait penerapan akad IMFZ pada produk PPR Inden Syariah sebagai berikut:[17]

1.    Ketentuan terkait Manfaat Barang (Manfaat 'Ain)

a.    Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diketahui spesifikasinya (ma'lum) supaya terhindar dari perselisihan dan sengketa (al-niza');
b.    Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diserah-terimakan baik secara hakiki maupun secara hukum;
c.    Jangka waktu penggunaan manfaat (masa ijarah) harus disepakati pada saat akad;
d.   Manfaat harus berupa manfaat yang boleh berdasarkan syariah; dan Manfaat yang diharapkan adalah manfaat yang dimaksud dalam akad yang dapat dicapai melalui akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah.

2.    Ketentuan terkait Barang Sewa Inden (PPR-Inden)

a.    Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus terukur spesifikasinya;
b.    Barang sewa yang dideskripsikan boleh belum menjadi milik pemberi sewa pada saat akad dilakukan;
c.    Ketersediaan barang sewa wajib diketahui dengan jelas serta sebagian barang sewa sudah wujud  pada saat akad dilakukan;
d.   Wujud barang sewa yang dimaksud pada huruf c, harus jelas, siap dibangun, milik pemberi sewa atau pengembang yang bekerjasama dengan pemberi sewa, dan bebas sengketa;
e.    Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan barang sewa;
f.     Para pihak harus meyakini bahwa  barang sewa dapat diwujudkan  pada waktu yang disepakati;
g.    Para pihak harus sepakat terkait waktu serah-terima barang sewa; dan
h.    Apabila pemberi sewa menyerahkan barang sewa namun tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati atau gagal serah pada waktu yang disepakati, maka penyewa berhak:
1)        Melanjutkan akad dengan atau tanpa meminta kompensasi dari pemberi sewa, atau
2)        Membatalkan akad dengan meminta pengembalian dana sesuai dengan jumlah yang telah diserahkan.

3.    Ketentuan terkait Ujrah

a.    Ujrah boleh dalam bentuk uang  dan selain uang;
b.    Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan berdasarkan kesepakatan;
c.    Ujrah boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai perjanjian sejak akad dilakukan; dan
d.   Ujrah yang dibayar oleh penyewa setelah akad, diakui sebagai milik pemberi sewa.

4.    Ketentuan terkait Uang Muka dan Jaminan

a.    Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya uang muka (uang kesungguhan “hamisy jiddiyah”) yang diserahkan oleh penyewa kepada pemberi sewa.
b.    Uang muka dapat dijadikan ganti rugi (al-ta'widh) oleh pemberi sewa karena proses upaya untuk mewujudkan barang sewa (apabila penyewa melakukan pembatalan sewa), dan menjadi pembayaran sewa (ujrah)  apabila akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dilaksanakan sesuai kesepakatan.
c.    Apabila jumlah uang muka lebih besar dari jumlah kerugian maka uang muka tersebut harus dikembalikan kepada penyewa.
d.   Apabila pemberi sewa menyalahi substansi perjanjian terkait spesifikasi barang sewa, jangka waktu dan gagal serah, maka penyewa berhak:
1)   Melanjutkan akad dengan atau tanpa meminta kompensasi dari pemberi sewa, atau
2)   Membatalkan akad dengan pengembalian dana sesuai dengan jumlah yang telah diserahkan.
e.    Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya jaminan (al-rahn) dari pemberi sewa baik secara hakiki (qabdhhaqiqi) maupun secara hukum  (qabdhhukmi).

5.    Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C.    Kesimpulan Contoh Praktik Ijarah Maushufah Fi Dzimmah

Dari Uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa akad Ijarah Maushufah al-Dzimmah adalah akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya secara terukur (kuantitas dan kuaIitas) yang mana pemberi sewa memiliki kemampuan untuk mengadakan dan menyerahkan barang sewa sesuai kesepakatan, apabila pada saat penyerahan barang tidak sesuai dengan kesepakatan maka penyewa berhak menolak dan meminta ganti rugi sesuai kriteria dan spesifikasi yang disepakati.
Akad Ijarah Maushufah al-Dzimmah bisa diaplikasikan dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) sesuai dengan Fatwa DSN-MUI No: 102/DSN-MUI/X/2016 Tentang Al-Ijarah Al-maushufah Fi Al-Dzimmah Untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Inden. Fatwa ini memuat beberapa ketentuan yang spesifik berkaitan dengan manfaat barang dan pekerjaan, barang sewa, ujrah, serta ketentuan terkait dengan uang muka dan jaminan. Ketentuan-ketentuan ini dijadikan pedoman dalam Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Inden.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000.
Fatwa DSN-MUI No: 101/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah
Fatwa DSN-MUI No: 102/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah Untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Inden.
Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2011.
Rifki Muhammad, AkuntansiKeuangan Syariah (Konsep dan implementasi PSAK Syariah), Yogyakarta: P3EI, 2008.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah




[1] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 11.
[2] Rifki Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah (Konsep dan implementasi PSAK Syariah), (Yogyakarta: P3EI, 2008), hlm. 357.
[3] Fatwa DSN-MUI No: 101/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah
[4] Lihat Fatwa DSN-MUI No: 101/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah
[5] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 70.
[6] Fatwa DSN-MUI No: 101/DSN-MUI/X/2016
[7] Ada beberapa pendapat berkaitan dengan pembayaran ujrah, diantaranya:
a.     Ulama Malikiyyahsebagaimana terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Dasuqi 'ala al-Syarh al-Kabir(12/336), kitab Syarh Muntaha al-Iradat (2/252), kitab Asna al-Mathalib (2), dan kitab Bidayah al-Mujtahid (21182) karya Ibn Rusyd, berpendapat bahwa ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah wajib dibayar di awal pada saat akad (majelis akad); agar terhindar dari jual-beli piutang dengan piutang.
b.     Ulama Syafi'iyyahsebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat (2/360) dan kitab Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj (6), berpendapat bahwa ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah wajib dibayar di awal pada saat akad (majelis akad) sebagaimana wajibnya membayar harga (tsaman) dalam akad jual-beli salam.
c.     Ulama Hanabilahsebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Kafi fi Fiqh Ibn Hanbal (2/169) karya lbn Qudamah, memiliki dua pendapat terkait waktu pembayaran ujrahdalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah, yaitu:
1)    Ujrah boleh dibayar di akhir akad (tidak mesti dibayar di awal dalam majelis akad); sebagaimana dibolehkan mengakhirkan pembayaran ujrah dalam akad ijarah atas barang atas dasar kesepakatan; dan
2)    Ujrah harus dibayar di muka dalam majelis akad; sebagaimana harusnya membayar harga (tsaman) di awal dalam akad jual-beli salam.
[8] Fatwa DSN-MUI No: 101/DSN-MUI/X/2016
[9] Objek akad disyaratkan harus dapat diserahkan apabila objek tersebut berupa barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat dinikmati dan diambil manfaatnya apabila objek itu berupa manfaat benda seperti dalam sewa-menyewa benda. (Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, 2007)
[10] Objek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas, termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya (Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah, 2011)
[11] Dalam kitab Syarh al-Bahjah al-Wardiyah (2/206), dijelaskan tentang bolehnya ujrah dalam bentuk uang (al-nuqud) maupun selain uang
[12] Menurut ‘Abd al-Sattar Abu Ghuddah berpendapat bahwa pembayaran ujrahdalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh tidak tunai meskipun dalam perjanjiannya menggunakan kata jual-beli salam, sedangkan Nazih Hammad berpendapat bahwa pembayaran ujrah dalam akad al-ljarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh tidak tunai apabila menggunakan kata ijarah, bukan kata salam
[13] Majma' al-Fiqh al-lslami pada ketentuan nomor 72 (3/8), menetapkan boleh diminta uang panjar (uang muka) sebagai tanda jadi dalam akad al-ljarah al-Maushufahfi al-Dzimmah;
[14] Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas. (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah).
[15] Dalam kitab al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba 'ah (2/220) karya 'Abd ai-Rahman al-Jaziri, dijelaskan tentang bolehnya adanya jaminan (al-rahn) dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah
[16] Lihat Ketentuan Umum dalam Fatwa DSN-MUI No: 102/DSN-MUI/X/2016
[17] Fatwa DSN-MUI No: 102/DSN-MUI/X/2016

0 Response to "Akad Ijarah Maushufah Fi Dzimmah"

Post a Comment