Rukun Dan Syarat Perjanjian (Akad)

Pendahuluan Rukun dan Syarat Perjanjian / Akad

Rukun dan syarat perjanjian atau akad menjadi hal yang wajib dipahami bagi setiap pihak yang hendak melakukan perjanjian atau akad. 

Perjanjian atau kesepakatan atau akad tidak akan terbentuk dengan baik jika tidak memenuhi rukun dan syarat akad atau perjanjian.

Perlu diingat, semua akad atau perjanjian memiliki rukun dan syarat yang berlaku sama. Jika terdapat akad atau perjanjian yang tidak memenuhi rukun dan syarat ini maka akad atau perjajian tersebut dapat masuk dalam kategori akad batil, akad tidak sah, dan akad maukuf.

Untuk menjadi akad yang sah maka harus memenuhi rukun dan syarat yang akan dibahas sekarang ini.

Adapun syarat khusus daru setiap akad akan dibahas dalam masing-masing analisis akad. Seperti misalnya musyarakah terdapat syarat khusus mampu bekerjasama, musyarakah mutanaqisah ada syarat khusus porsi kepemilikan modal, mudharabah ada syarat khusus mampu mengelola modal dan seterusnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia pada hakekatnya tidak dapat hidup sendiri dalam masyarakat. Disadari atau tidak, adalah suatu keharusan bagi manusia untuk melakukan interaksi dengan manusia lainnya karena secara pribadi manusia tidak akan mampu untuk memenuhi semua kebutuhannya tanpa adanya bantuan dari orang disekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Dalam pergaulan hidup, tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain, sehingga timbullah apa yang dinamakan hak dan kewajiban. Setiap orang memiliki hak yang harus diperhatikan orang lain, dan pada saat yang sama juga memikul kewajiban yang harus dipenuhi terhadap orang lain. 

Hubungan antara hak dan kewajiban ini diatur dengan pedoman-pedoman hukum yang berlaku, guna menghindari terjadinya bentrokan berbagai kepentingan yang ada. Pedoman-pedoman hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat itu disebut sebagai Hukum Muamalat, termasuk di dalamnya hukum-hukum perjanjian.

Menurut Ahmad Azhar Basyir akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya,[1]dengan kata lain akad dapat diartikan sebagai tindakan hukum dua pihak dalam mempresentasikan kehendak kedua belah pihak.[2]

Penggunaan akad dalam kehidupan sehari-hari tentunya memiliki koridor ataupun aturan yang harus dipenuhi setiap orang yang hendak melakukan suatu perjanjian, karena dengan memahami dan mengikuti koridor ini maka akad akan menjadi sempurna yang akibat hukumnya dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu dalam makalah yang singkat ini penulis akan memaparkan hal-hal apa saja yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, baik itu rukun maupun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu akad atau perjanjian.


Pembahasan Rukun dan Syarat Akad / Perjanjian

Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun adalah hal yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.[3]

Dalam syariah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu, sedangkan definisi syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.[4]

Menurut ahli-ahli Hukum Islam kontemporer, rukun akad atau perjanjian syariah (yang semuanya harus lengkap dan memenuhi syarat) itu ada empat, yaitu:


Pihak-pihak yang berakad (Al-‘Aqidain)

Al-‘aqidain atau pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Karena itu , orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz tidak sah melakukan transaksi jul beli, kecuali membeli sesuatu yang kecil-kecil atau murah seperti korek api, korek kuping, dan lain-lain.[5]

Pihak-pihak yang berakad memerlukan syarat-syarat agar rukun itu dapat berfungsi membentuk akad. Dalam hukum Islam syarat-syarat terbentuknya akad atau perjanjian ada beberapa hal, yaitu: 


Memiliki kecakapan (ahliyah). Menurut fiqh, syarat kecakapan terbagi menjadi du

Ahliyah al-wujub,merupakan kecakapan seseorang untuk menerima hak dan memikul kewajiban. Dalam menerima hukum, suatu kecakapan bersifat pasif sehingga dapat berlaku bagi semua manusia secara keseluruhan, mulai dari kondisi dalam kandungan hingga manusia tersebut meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan fiqh, syarat kecakapan menerima hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  1. Kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyah al-wujub an-naqishah) ialah kecakapan menerima hukum yang berlaku bagi subyek hukum yang masih dalam kandungan. Misalnya kecakapan janin untuk menerima hak-hak kebendaan berupa warisan. Kecakapan ini dikatakan tidak sempurna karena hanya menerima hak yang bersifat terbatas dan belum mampu memikul kewajiban.
  2. Kecakapan menerima hukum secara sempurna (ahliyah al-wujub al-kamilah). Kecakapan ini berlaku bagi subyek hukum setelah dilahirkan hingga meninggal dunia. Dikatakan sempurna karena subyek hukum selain mampu menerima hak juga dapat memikul kewajiban.[6]

Ahliyah al-ada, merupakan kecakapan untuk bertindak hukum secara aktif. Karena bersifat aktif, kecakapan ini berlaku hanya bagi subyek hukum yang secara alamiah telah memiliki kemampuan bertindak hukum. Dalam fiqh, kecakapan al-ada dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  1. Kecakapan bertindak hukum secara tidak sempurna (ahliyah al-ada an-naqishah) ialah kecakapan yang berlaku bagi subyek hukum ketika berada pada usia tamyiz. Usia tamyiz merupakan syarat kecakapan minimal bagi para pihak yang akan mengadakan akad. Namun dalam akad tertentu, usia tamyiz tidak dianggap memenuhi syarat kecakapan sebelum mencapai usia kedewasan. 
  2. Kecakapan bertindak hukum sempurna (ahliyah al-ada al-kamilah) ialah kecakapan yang berlaku bagi subyek hukum sejak memasuki usia dewasa hingga meningga dunia.[7]

Berbilang pihak (lebih dari satu pihak). Akad tidak tercipta dengan hanya ada satu pihak baik itu orang yang membuat ijab saja ataupun kabul saja, sebab dalam setiap akad harus ada dua pihak. Akan tetapi, seseorang dapat mewakilkan atau memberi kuasa kepada orang lain guna membuat perjanjian atas namanya. Begitu pula seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain dalam penutupan suatu perjanjian.[8]

Pernyataan kehendak para pihak (Shighat al-‘aqd)

Shighat al-‘aqd adalah cara bagaimana pernyataaan pengikatan diri itu dilakukan[9] atau apa yang dikehendaki pihak yang satu disetujui oleh pihak yang lain.[10] Dalam literatur fiqh, shighat al-‘aqd biasanya diwujudkan  dalam bentuk ijab dan kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad. Dimana ia menunjukkan maksud/kehendak dengan penuh kerelaan, baik datangnya dari pihak penjual atau pembeli.[11] Sedangkan kabul merupakan penerimaan dan persetujuan dari pihak kedua terhadap penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.[12] 

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al-aqd adalah:[13].

Shighat al-‘aqd harus jelas pengertiannya dan tidak memiliki banyak pengertian, misalnya seseorang berkata “Aku serahkan barang ini”, kalimat tersebut masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan, apakah benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau sebagai pemberian”.

Harus bersesuaian ijab dan kabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang menerima berbeda lafadz, misalnya seseorang berkata “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”, tetapi yang mengucapkan kabul berkata, “Aku terima benda ini sebagai pemberian”. Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan kabul akan menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh agama Islam karena bertentangan dengan islah di antara manusia. 

Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena tidak ada suatu kesepakatan terjadi disebabkan paksaan, kekhilafan atau penipuan. Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut suatu ancaman,[14] misalnya, apabila seseorang tidak menandatangani suatu surat perjanjian maka keluarganya akan dibunuh satu persatu. Kekhilafan dapat terjadi terhadap orang (subjek perjanjian) atau barang (objek perjanjian) yang menjadi tujuan dari perjanjian. Misalnya perjanjian pembiayaan diakukan dengan direktur suatu PT, ternyata bukan dengan direktur PT yang dimaksud. Penipuan dapat terjadi apabila salah satu pihak dalam perjanjian dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar secara lihai sehingga pihak lainnya terbujuk memberikan persetujuan/izinnya.[15]

Terjadi dalam satu majelis. Satu majelis disini tidak berarti harus bertemu secara fisik dalam satu tempat, yang terpenting adalah kedua pihak mampu mendengarkan maksud masing-masing, apakah akan menetapkan kesepakatan atau menolaknya.

Adapun cara-cara yang dapat ditempuh dalam membuat suatu perjanjian (akad) adalah sebagai berikut ini:

a.    Tulisan. Maksudnya adalah transaksi antara dua belah pihak yang berbeda lokasi dengan menggunakan kesepakatan tertulis itu dibolehkan. Contonya adalah transaksi pembukaan rekening giro dan deposito di perbankan, dimana kesepakatan kedua pihak dilakukan secara tertulis pada form akad, yang diisi sebagai pemilik giro atau deposito dan bank sebagai pemilik giro dan deposito. [16]
b.    Isyarat. Maksudnya adalah bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab dan kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan dengan tulisan.[17]
c.    Dilalah ta’ati. Maksudnya adalah perilaku pihak akad yang menunjukkan keinginan mereka untuk bertransaksi tanpa ungkapan lisan atau tertulis. Misalnya, transaksi yang terjadi di supermarket, dimana pembeli mengambil barang yang ingin dibelinya kemudian membawanya ke kasir dan menyerahkan harganya tanpa melafalkan ijab dan kabul.[18]
d.   Dilalah lisanul hal. Maksudnya adalah perbuatan tertentu yang menunjukkan keinginan untuk melakukan akad. Misalnya, seseorang yang meninggalkan barangnya di pos satpam, maka perbuatan itu menunjukkan keinginan untuk menitipkan barangnya kepada petugas keamanan.[19]

Obyek akad (Al-mahallul ‘aqd)

Al-mahallul ‘aqdatau obyek akad. Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak.[20] Dalam akad jual beli obyeknya bisa berupa barang atau jasa dan harga, dalam sewa menyewa obyeknya adalah manfaat dari barang yang disewakan dan uang sewa.[21]

Obyek akad yang dipakai oleh pihak-pihak yang berakad memerlukan syarat-syarat agar rukun itu dapat berfungsi membentuk akad. Adapun syarat-syarat obyek akad tersebut adalah sebagai berikut:[22]

Obyek transaksi harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan. Tidak diperbolehkan bertransaksi atas obyek yang belum jelas dan tidak ada waktu akad, karena hal ini akan menimbulkan masalah saat serah terima. Menurut Ibnu Taimiyah, boleh saja obyek transaksi tidak ada saat kontrak, namun obyek tersebut harus dapat dipastikan adanya di kemudian hari, sehingga bisa diserahterimakan. 

Obyek transaksi harus berupa harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. Tidak boleh bertransaksi atas bangkai, darah, babi, anjing dan yang lainnya. Begitu juga dengan barang yang belum berada dalam genggaman pemilik, seperti ikan yang masih dalam lautan dan burung di angkasa.

Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari. Walaupun barang tersebut ada dan dimiliki oleh akid, namun tidak bisa di serahterimakan, maka akad batal adanya.

Adanya kejelasan tentang obyek transaksi, dalam arti barang tersebut diketahui secara detail oleh kedua pihak. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari. Obyek transaksi tidak bersifat majhul (tidak diketahui) dan mengandung unsur gharar.

Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.


Tujuan Akad (Maudhu al-‘aqd)

Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’ dan tujuan akad itu terkait erat dengan berbagai bentuk yang dilakukan. Misalnya tujuan akad jual beli adalah untuk memindahkan hak penjual kepada pembeli dengan imbalan. 

Dalam akad ijarah, tujuannya adalah pemilikan manfaat orang yang menyewa dan pihak yang menyewakan mendapat imbalan dan dalam ariyah tujuannya adalah pemilikan manfaat oleh pihak yang meminjam tanpa imbalan.

Oleh sebab itu apabila tujuan suatu akad berbeda dengan tujuan aslinya, maka akad itu menjadi tidak sah. Tujuan setiap akad menurut ulama fiqh, hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. 

Atas dasar itu, seluruh akad yang mempunyai tujuan atau akibat hukum yang tidak sejalan dengan kehendak syara’, hukumnya tidak sah seperti berbagai akad yang dilangsungkan dalam rangka menghalalkan riba. Misalnya jual beli al-‘ainah(salah satu bentuk akad semu yang diciptakan untuk menghalalkan riba). 

Di dalam jual beli seperti ini, seseorang (Ahmad) menjual barangnya kepada pembeli (Budi) apabila dengan hutang harganya Rp. 220.000,- dengan tenggang waktu satu bulan. Kemudian Ahmad membeli lagi barang itu kepada Budi saat itu juga dengan harga tunai Rp. 200.000,-. 

Sekalipun Budi sudah menerima Rp. 200.000,- yang harus dibayar bila masa satu bulan telah habis. Selisih Rp. 20.000,- itu, menurut para Fuqaha termasuk riba. Oleh sebab itu, akad itu tidak sejalan dengan tujuan yang dikehendaki syara. 

Bentuk lain dari jual beli bentuk semu itu adalah menjual anggur kepada pengelola pabrik minuman keras. Apabila penjual mengetahui bahwa pembeli adalah pengelola minuman keras, maka penjual dilarang untuk menjual anggur itu kepada pengelola minuman keras itu.[23] 

Bentuk lain dari tujuan akad itu dilarangnya dua orang yang berakad untuk melakukan tindak pidana seperti untuk pembunuhan, penipuan, pelacuran dan sejenisnya.[24] 

Bahkan kontrak yang akan menimbulkan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral atau kepatutan dan ketertiban umum juga bukan menjadi tujuan dari akad yang dibenarkan. Begitu juga larangan terhadap akad yang bertujuan untuk melakukan diskriminasi, monopolistik dan penindasan.[25]


Kesimpulan Rukun dan Syarat Akad / Perjanjian Syariah

Adapun rukun dan syarat terbentuknya perjanjian (akad) dalam Islam, adalah sebagai berikut:

Pihak-pihak yang berakad (Al-‘Aqidain). Dengan syarat memiliki: 

  1. Kecakapan (ahliyah). Yang dimaksud yaitu, kecakapan seseorang untuk menerima hak dan memikul kewajiban (ahliyah al-wujub) dan kecakapan untuk bertindak hukum secara aktif (ahliyah al-ada).
  2. Berbilang pihak (lebih dari satu pihak). Akad tidak tercipta dengan hanya ada satu pihak baik itu orang yang membuat ijab saja ataupun kabul saja, sebab dalam setiap akad harus ada dua pihak. Akan tetapi, seseorang dapat mewakilkan atau memberi kuasa kepada orang lain guna membuat perjanjian atas namanya. Begitu pula seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain dalam penutupan suatu perjanjian.


Pernyataan kehendak para pihak (Shighat al-‘aqd),dengan syarat: 


  1. Shighat al-‘aqd harus jelas pengertiannya dan tidak memiliki banyak pengertian.
  2. Harus bersesuaian ijab dan kabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang menerima berbeda lafadz.
  3. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena tidak ada suatu kesepakatan terjadi disebabkan paksaan, kekhilafan atau penipuan.
  4. Terjadi dalam satu majelis.


Obyek akad (Al-mahallul ‘aqd) dengan syarat sebagai berikut:


  1. Obyek transaksi harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan. 
  2. Obyek transaksi harus berupa harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
  3. Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
  4. Adanya kejelasan tentang obyek transaksi, dalam arti barang tersebut diketahui secara detail oleh kedua pihak serta obyek transaksi tersebut tidak bersifat majhul (tidak diketahui) dan mengandung unsur gharar.
  5. Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.


Tujuan Akad (Maudhu al-‘aqd)

Tujuan setiap akad menurut ulama fiqh, hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, seluruh akad yang mempunyai tujuan atau akibat hukum yang tidak sejalan dengan kehendak syara’, hukumnya tidak sah seperti berbagai akad yang dilangsungkan dalam rangka menghalalkan riba, menjual anggur kepada pengelola minuman keras, berakad untuk melakukan tindak pidana seperti untuk pembunuhan, penipuan, pelacuran dan sejenisnya, kontrak menimbulkan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral atau kepatutan dan ketertiban umum serta akad yang bertujuan untuk melakukan diskriminasi, monopolistik dan penindasan.








DAFTAR PUSTAKA
A.Wangsawidjaya Z, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasinya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002 
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Hisranuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Genta Press, 2008.
Junaidi Abdullah, “Analisis Asas-Asas Konsensualisme di Lembaga Keuangan Syariah, Iqtishadia, Vol. 8, No. 2, September 2015.
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Jakarta: PT. Refika Aditama, 2011.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Oni Sahroni, Fikih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2010.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.




[1] Junaidi Abdullah, “Analisis Asas-Asas Konsensualisme di Lembaga Keuangan Syariah, Iqtishadia, Vol. 8, No. 2, September 2015, hlm. 285.
[2] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.69.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 966. 
[4] Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007), hlm. 50.
[5] Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2011), hlm. 174.
[6] Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE, 2009), hlm. 25.
[7] Ibid., hlm. 25-26.
[8] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat”, hlm.121.
[9] Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 28.
[10] A. Wangsawidjaya Z, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 154.
[11] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 51.
[12]Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 29.
[13] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 47-48.
[14] Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 29.
[15] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2010), hlm. 135.
[16]Oni Sahroni, Fikih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 32.
[17] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 48-49.
[18] Oni Sahroni, Fikih Muamalah, hlm. 33.
[19] Ibid.
[20] Hisranuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 8.
[21] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasinya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 27.
[22] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, hlm. 57-58.
[23] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 105.
[24] Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 38.
[25] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 99-100.

0 Response to "Rukun Dan Syarat Perjanjian (Akad)"

Post a Comment