Penggolongan Perjanjian Syariah
January 22, 2018
Add Comment
A. Pendahuluan
Hukum Islam mengatur seluruh hubungan manusia baik itu dengan Allah maupun dengan sesama manusia yang lainnya. Hubungan antar sesama manusia biasa disebut dengan istilah muamalat. Dalam istilah muamalat sendiri terdapat banyak objek yang terkandung didalamnya, dan salah satunya adalah yang berhubungan dengan masalah akad atau transaksi.
Akad ataupun kontrak adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari, hampir dalam setiap kegiatan kita seringkali menggunkan sebuah akad sebagai penunjang kebutuhan.
Akad memiliki arti sebagai pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya, dengan kata lain akad dapat diartikan sebagai tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan antara ijab dan qabul dalam merepresentasikan kehendak kedua belah pihak. Setiap akad memiliki tujuan akad berdasarkan tentang akad apa yang dilakukannya.[1]
Penggunan akad dalam kehidupan sehari-hari tentunya memiliki koridor yang harus diperhatikan, karena dengan memahami koridor ini maka akad akan menjadi akad yang sempurna dan dapat memiliki akibat hukum ataupun dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu disini akad memiliki berbagai macam bentuk yang dapat dibedakan kedalam beberapa hal yang disesuaikan menurut pembagiannya. Dengan adanya berbagai macam penggolongan akad, penulis ingin memaparkan lebih lanjut mengenai apa saja penggolongan akad serta bagaimana penggolongan akad ini apabila dilihat dari aspek syariah telah sesuaikah dengan kaidah akad yang telah ditetapkan, lalu apa saja akad yang dapat dilaksanakan dengan sempurna oleh pihak yang membuat akad serta apakah akad tersebut dapat meiliki akibat hukum.
B. Pembahasan
Hukum kontrak syariah merupakan produk hukum hasil pengembangan dari teori-teori akad (nadhariyat al-‘uqud) yang terdapat dalam kitab fikih muamalat. Banyaknya akad diperlukan klasifikasi lebih lanjut untuk mempermudah dalam pemehamannya, karena pada setiap akad memiliki sifat tersendiri yang menjadi ciri khas dari akad tersebut, baik dari segi tujuan, objeknya maupun dari segi pelaksanaan sebuah akad. Dalam fiqih muamalat pembagian akad dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan diantaranya:
1. Akad ditinjau dari keabsahannya dibagi menjadi dua yaitu:
a. Akad shahih: adalah akad yang telah memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan oleh hukum syara’. Akad shahih berlaku bagi seluruh akibat hukum yang ditimbulkan dan bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya.[2] Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad shahih antara lain:[3]
1) Sah secara hukum: objek harus sah dan harus diperbolehkan untuk diperdagangkan. Harus dari nilai hukum, yang berarti isi dan ketentuan harus halal dan tidak mengganggu ketertiban umum atau kesusilaan.
2) Para pihak harus membuat akad atas kesadaran sendiri.
3) Barangnya harus bisa diserahterimakan pada waktu yang ditentukan dalam akad.
4) Objeknya harus jelas secara terperinci, dengan kuantitas maupun kualitas nilai dari barang yang dijadikan objek transaksi.
Akad shahih dalam pandangan ulama hanafiyah dan malikiyah dibagi lagi dalam beberapa akad:
1) Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan) ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. [4]
Akad nafidz dalam hal ini dibagi lagi menjadi dua yaitu:
(a) Akad lazim, ialah akad nafidz yang tidak dapat difasakh oleh para pihak yang bersangkutan tanpa izin dari pihak lain contohnya seperti akad bagi hasil.
(b) Akad ghiru lazim, adalah akad yang tidak bersifat mengikat bagi para pihak yang berakad. Adapun yang termsuk akad ghairu lazim antara lain seperti wadi’ah dan ariyah.
2) Akad mauquf adalah akad yang dilakukan oleh seseorang, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini. Akad bertalian dengan persetujuan.[5]Contoh akad ini adalah akad yang dilakukan oleh anak kecil misalnya dalam hal jual beli, akad jual beli ini baru sah apabila telah mendapat persetujuan dari wali.
b. Akad tidak shahih, adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.[6]Ulama hanafi membagi akad yang tidak shahih ini kedalam dua bagian, yaitu:[7]
1) Akad batil : adalah akad yang terjadi apabila terdapat orang-orang yang tidak mmenuhi syarat-syarat kecapakan atau objeknya tidak dapat menerima hukum akad sehingga dengan demikian pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang oleh syarak. Dengan kata lain akad batal adalah akad yang tidak terpenuhiya rukun maupun syarat akad. [8]
Akad batal dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum, meskipun secara material pernah terjadi, oleh ebab itu kad ini tidak mempunyai akibat hukum sama sekali. Contohnya seperti akad jual beli minuman keras dipandang sebagai akad yang batil karena hilangnya salah satu rukun akad yaitu objek akad yang merupakan benda yang tidak dapat menerika hukum akad diakrenakan tidak dibenarkan secara syara’.[9]
2) Akad fasid: adalah akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetpi tidak sah sifatnya, adapun perbedaan dengan akad bathil yaitu akad bathil tidak sah baik pokok maupun sifatnya. Maksud dari pokok adalah rukun dan syarat terbentuknya akad adapun yang dimaksud dengan sifat adalah syarat-syarat keabsahan akad.[10]
Adapun penyebab dari akad yang fasid antara lain:
a) Persetujuan yang cacat
b) Kurangnya informasi yang relevan mengenai nilai
c) Adanya salah satu pihak yang dirugikan
2. Akad dari segi bernama (nominat) dan tidak bernama dibagi menjadi dua yaitu:[11]
a. Akad musammah yaitu akad yang ketentuan-ketentuan hukumnya serta namanya telah ditentukan oleh syara’.[12] Mengenai jumlah akad bernama ini para fuqaha berbeda pendapat, menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-fiqh al-islami wa Adillatuh menyebutkan terdapat 13 akad, kemudian menurut al-Kasani terdapat 18 akad dan menurut az-Zarqa’ terdapat 25 akad.[13] Adanya perbedaan ini dikarenakan adanya pemahaman yang dianut oleh para fuqaha, seperti az-zarqa’ yang memasukkan semua akad termasuk didalamnya akad yang tidak berhubungan dengan harta kekayaan maupun akad yang hanya ditentukan oleh orang sepihak.
b. Akad ghoiru musamma adalah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum terdapat ketentuan hukumnya.[14]Penggunaan akad ghoiru musamma atau berlakunya akad ini ditentukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau bagi mereka yang membuatnya. Akad ghoiru musamma timbul akibat kebutuhan manusia yang selalu berkembang ditiap masanya sehingga membutuhkan suatu hal yang baru dalam menunjang kebutuhannya.
3. Akad dilihat dari segi dilarang atau tidaknya berdasarkan syara’:
Akad apabila dilihat dari segi boleh atau tidaknya menurut syara’ dibagi menjadi dua akad antara lain:
a. Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya. Dapat diartikan akad masyru’ adalah akad yang berdasarkan oleh syara’ akan pembenarannya, yaitu akad yang secara syara’ telah dianggap tidak bertentangan hukum Islam. Termasuk dari akad masyru yaitu; jual beli, sewa-menyewa, mudharabah, musyarakah dan sebagainya.
b. Akad yang dilarang oleh syara’ adalah yang bertentangan dengan syariah Islam, dan ketertiban umum. Contohnya seperti menjual anak binatang yang masih terdapat dalam perut induknya.[15]
4. Akad berdasarkan tukar-menukar hak antara lain:
a. Akad mu’awadhoh adalah akad di mana salah satu pihak memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain sebagai imbalan.[16]Contohnya jual beli, yaitu pihak penjual menyerahkan barang kepada pembeli dengan pihak pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran dari barang yang diserahkan oleh penjual. Adanya transaksi ini memberikan gambaran bahwasanya kedua belah pihak memiliki kesamaan yaitu saling menyerahkan barang.
b. Akad tabarru’ : yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan.[17] Atau dapat dikatakan sebagai akad pemilikan sesuatu tanpa adanya iwadh(penukaran).[18]Contohnya yaitu hibah ataupun wakaf.
c. Akad atas beban dan cuma-cuma ( ‘aqd al-mu’awdhah wa at-tabarru’) adalah akad yang pada mulanya merupakan akad tabarru’ atau akad cuma-Cuma yang kemudian berubah menjadi akad mu’awadhah atau akad adanya beban prestasi. Contohnya seperti akad qardh, yang mana pada awalnya seseorang memberikan pinjaman kepada kreditur yang mana pada awalnya merupakan pemberian Cuma-Cuma yang kemudian berubah ketika pihak debitur menagih menjadi akad atas beban yang mana pihak debitur harus mngembalikan pinjaman.[19]
5. Akad menurut kedudukannya dibagi menjadi dua yaitu:
a. Akad pokok (al-‘aqd al-ashli) yaitu akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak bergantung kepada suatu hal lain. Termasuk kedalam jenis ini adalah akad semua akad yang keberadaanya karena dirinya sendiri seperti akad jual-beli sewa-menyewa dan lain-lain.[20]
b. Akad asesoir, yaitu akad yang tidak berdiri sendiri dan berlakunya tergantung pada akad lain. Misalnya akad rahn dan kafalah yang berlaku karena adanya akad hutang-piutang.[21] Terhadap akad jenis ini berlaku kaidah hukum تا بعالتابع ( pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikut) atau dapat diartikan esuatu yang mengikut kepada yang lain, maka hukum baginya adalah hukum yang diikuti.[22]
6. Akad bertempo dan akad tidak bertempo
a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang mana masa berlakunya terbatas atau tidak berlaku lama. Dalam akad tidak bertempo unsur waktu bukan merupakan pokok dari isi perjanjian. Atau dengan kata lain akad fauriyah merupakan akad yang pemenuhan prestasinya hanya dilakukan dengan satu kali dalam waktu yang singkat. Misalnya penyerahan barang dalam jual beli.[23]
b. Akad istimrar, ialah akad yang memerlukan waktu lama untuk proses pelaksanaanya. Lamanya proses pelaksanaan akad tersebut terkait dengan kesempurnaan tujuan yang hendak dicapai. Misalnya kad syirkah, ijarah dan lain-lain yang membutuhkan jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan atau mencapai tujuan akad.
7. Akad dilihat dari segi objeknya dibagi menjadi 2 yaitu:[24]
a. Akad ainiyah yaitu akad yang objeknya berupa benda berwujud. Dalam akad yang bersifat ainiyah kesempurnaan akad tergantung pada penyerahan benda (ayn) sebagai objek akad. Misalnya dalam transaksi jual beli, akad akan dikatakan sempurna apabila benda yang dijadikan objek perdagangan telah diserhanakan kepada para pihak.
b. Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang kesempurnaaanya tegantung pada objek perbuatan seseorang (fi’il) untuk melaksanakan akad. Pada akad ini, kesempurnaannya hanya didasarkan pada bentuk perbuatan akadnya saja dan tidak mengharuskan adanya penyerahan objek tertentu yang berupa benda. Karena objeknya yang berupa perbuatan (fi’il), maka ketentuan yang berlaku ialah kaidah fiqh yang menyatakan bahwa hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syara’’. Misalnya dalam mudharabah, adanya keterikatan perbuatan mudharib untuk menjalankan suatu usaha menjadi bagian kesempurnaan akad.
8. Akad dilihat ada atau tidaknya syarat penyerta akad
Dalam hukum kontrak syariah, selain terdapat syarat yang telah ditentukan oleh syara’ juga terdapat syarat yang sengaja dicantumkan dalam kesepakatan oleh para pihak. Dalam fiqh syarat yang diajukan oleh para pihak disebut syarat penyerta. Keberadaan syarat ini dalam praktek kontrak perjanjian terkait dengan hak dan kewajiban. Akad ini dibagi menjadi dua antara lain:
a. Akad tanpa syarat (akad munjiz), yaitu akad yang dibuat oleh para pihak tanpa menetapkan atau membebankan adanya syarat tertentu kepada pihak lain.
b. Akad bersyarat ( akad ghairu munjiz), yaitu akad yang dibuat oleh para pihak, dengan menetapkan adanya syarat tertentu kepada salah satu atau kedua belah pihak.
Pemberlakuan syarat-syarat pada sebuah akad ada yang sah dan ada juga yang tidak sah untuk diperjanjikan. Adapun syarat yang tidak sah diperjanjikan disebut dengan syarat fasid. Hal ini dikatakan fasid karena berlakunya bertentangan dengan prinsip syariah sehingga dapat merugikan di antara para pihak.
9. Akad dilihat dari segi formalitas
Akad dilihat dari segi formalitasnya antara lain:[25]
a. Akad konsensual: yaitu akad yang untuk terciptanya sesuatu maka tidak diperlukan sebuah formalitas, melainkan hanya kata sepakat saja dapat diartikan bahwa akad itu sudah terjadi dan sudah sah asalkan tidak bertentangan dengan syariat.
b. Akad formalistik adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh pembuat hukum, dimana apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka akad menjadi tidak sah. Contohnya yaitu pernikahan untuk sahnya suatu pernikahan tidak bisa hanya dengan kesepakatan para pihak saja melainkan juga membutuhkan dua orang saksi sebagai syarat untuk membuat akad diwujudkan dan menjadi sah.
c. Akad riil adalah akad yang mana terjadinya sebuah akad harus terdapat penyerahan riil dari sebuah objek yang dijadikan akadnya, dan akad ini belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum sebelum adanya penyerahan objek akad tersebut. contoh dari akad riil yaitu hibag, penitipan, kredit dan akad gadai.
10. Akad ditinjau dari segi maksud tujuan yang dicapai:
a. Akad al-Tamlikiyah, merupakan akad yang bertujuan untuk kepemilikan.[26]Objek kepemilikan dapat diwijudkan dalam bentuk benda maupun manfaat. Kepemilikan tersebut dapat terjadi selain karena kegiatan yang bersifat komersial (tijarah), juga karena adanya bantuan dari pihak lain atas dasar kebaikan.
b. Akad al-isytirak, yaitu akad yang bertujuan melakukan kerja sama menjalankan suatu usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun termasuk akad ini adalah semua akad musyarakah dan mudharabah. Selain itu akad lain yang terkait dengan kerjasama yaitu, muzara’ah, musyaqah dan mukhabarah.[27]
c. Akad al-ithlaq, yaitu akad yang bertujuan menyerahkan tanggung jawab kewenangan kepada orang lain. Akad yang digunakan dalam hak ini adalah akad wakalah.
d. Akad at-tautsiq, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menanggung atau menjamin sesuatu menjadi kewajiban pihak lain. Termasuk dalam kategori ini misalnya akad kafalah, hawalah dan rahn.[28]
e. Akad al-hifdh, yaitu akad yang dimaksudkan untuk memelihara harta benda yang diamanhkan seseorang kepada pihak lain. Misalnya melalui akad wadiah, seseorang dapat menitipkan sesuatu kepada pihak lain.[29]
11. Akad berdasarkan kewajiban mengganti atau tidaknya
Akad berdasarkan kewajiban mengganti atau tidaknya dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda tersebut diterima oleh pihak kedua. Contoh akad ini adalah qardh yang mana pihak yang memiliki hutang memiliki tanggung jawab untuk mengembalikannya kepada pihak yang memberikan hutang.[30]
b. Akad amanah yaitu akad yang mana barang yang dialihkan melalui akad tersebut merupakan amanah ditangan pihak penerima, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut keculi apabila terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pihak penerima barang. termasuk akad jenis ini antara lain akd penitipan, peminjaman, dan perwakilan.[31]
c. Akad gabungan yaitu akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satunya dari segi dhaman dan unsur yang lainnya dari segi amanah. Adapun contoh akad ini adalah akad rahn, yang mana dalam akad rahn terdapat sebuah kewajiban untuk membayar hutang dan dan dari segi lain juga ada tanggung jawan terhadap barang yang digadaikan.
C. Kesimpulan
Akad merupakan sebuah tindakan hukum yang selalu dilakukan, tentunya memiliki norma yang harus diterapkan. Akad memilki beberapa macam berdasarkan penggolongannya. Adapun dalam pembagian akad terdapat beberapa perbedaan pendapat yang disebabkan oleh berbedanya pemaham terhadap makna akad.
Akad dibedakan berdasarkan jenisnya dapat dibagi menjadi sepuluh bentuk. Akad apabila ditinjau dari segi keabsahannya dibagi menjadi dua yaitu akad shahih dan akad tidak shahih. Akad shahih kemudian dibagi lagi menjadi dua yaitu akad nafiz dan akad mauquf, selanjutnya akad tidak shahih dibagi kedalam dua kategori juga yaitu akad fasid dan akad bathil. Akad dari segi penamaan dibagi menjadi dua yaitu akad bernama dan akad tidak bernama. Akad apabila dilihat dari segi dilarang atau tidaknya dibagi menjadi dua, yaitu akad masyru’ dan akad terlarang, kemudian apabila dilihat dari tukar menukar hak juga dibagi menjadi tiga, yaitu akad tabarru’, akad muawaddah dan akad gabungan antara muawaddah dan akad tabarru’.
Dilihat dari segi objeknya akad dibagi menjadi dua yaitu akad ainiyah dan ghairu ainiyyah, kemudian apabila dilihat dari segi formalitasnya akad dibagi menjadi tiga yaitu, akad konsensual, akad formalistik dan akad riil.
D. Daftar Pustaka
Abdul Rahman Ghazaly, dkk. Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Media Group, 2010
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Abdul Mudjib, Al-Qawa-‘idul Fiqhiyyah, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980.
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta: 2009
Farid Budiman, Karakteristik Akad Pembiayaan Al-Qardh sebagai akad Tabarru’, Yuridika:Volume 28 No 3, September-Desember 2013
Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Di Dunia Islam Kontemporer, Depok: Gramata Publising, 2011.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Gemala Dewi., dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012.
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, Jakarta: PT. Gramedia, 2009.
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih Muamalah (Dinamika Teori akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2016.
Sohari dan Ru’fah abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Veitzhal Riva, dkk. Islamic Transaction Law In Business Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2011
[1] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Psersada, 2007), hlm. 68-69.
[2]Abdul Rahman Ghazaly, dkk. Fiqh Muamalat ( Jakarta: Kencana Media Group, 2010), hlm. 56.
[3]Veitzhal Riva, dkk. Islamic Transaction Law In Business Dari Teori ke Praktek ( Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 41.
[4] Abdul Rahman Ghazaly,dkk. Fiqh Muamalat, hlm. 56.
[5] Sohari dan Ru’fah abdullah, Fikih Muamalah, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 49.
[6]Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Di Dunia Islam Kontemporer, ( Depok: Gramata Publising, 2011), hlm. 115.
[7]Namun menurut jumhur ulama tidak membedakan akan pembagian akad berdasarkan tidak sahnya, menurut jumhur ulama akad batil maupun akad fasid keduanya memiliki esensi yang sama, yaitu keduanya merupakan akad yang tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, ( Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 114.
[9] Ibid, hlm. 114.
[10]Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, ( Jakarta: PT. Gramedia, 2009), hlm. 188-189.
[11]Pembagian akad berdasarkan penamaan ini juga selaras dengan apa yang terkandung dalam KUHperdata dalam pasal 1319 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa ada dua macam kontrak yaitu kontrak nominat (bernama) dan konytrak innominat (tidak bernama). ( Wawan Muhawan Hariri, Hukum Perikatan (Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam islam), ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), hlm. 177.
[12]Gemala Dewi., dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 148.
[13]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah) , hlm. 73-75.
[14]Sohari Sahrani dan Ru’fah abdullah, Fikih Muamalah, hlm. 48.
[15] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),hlm. 28.
[16]Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih Muamalah (Dinamika Teori akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 72.
[17]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 54.
[18]Farid Budiman, Karakteristik Akad Pembiayaan Al-Qardh sebagai akad Tabarru’, Yuridika: Volume 28 No 3, September-Desember 2013, hlm. 407.
[19] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, hlm. 83.
[20] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah ( Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 81.
[21]Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta: 2009), hlm. 21.
[22]Abdul Mudjib, Al-Qawa-‘idul Fiqhiyyah ( Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980), hlm. 49.
[23]Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam ( Bandung; Pustaka Setia, 2011), hlm. 55.
[24]Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, hlm. 18
[25] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, hlm. 78.
[26] Oni Sahroni dan M. Hasanudin, Fikih muamalah, hlm. 73.
[27]Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, hlm. 21.
[28] Ibid, hlm. 22
[29] Ibid, hlm. 22.
[30] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 54.
[31] Syamsul Anwar, Hukum perjanjian Syariah, hlm. 82.
0 Response to "Penggolongan Perjanjian Syariah"
Post a Comment