Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum Islam


A.           Pengertian Asas
Istilah asas berasal dari bahasa arab (أسَاسٌ) yang berarti dasar atau landasan. Sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan asas ialah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah) yang menjadi bahan perimbangan untuk melakukan perbuatan. Karena nilai-nilai dasar itu sangat berpengaruh terhadap pebuatan atau perilaku manusia secara lahiriah (akhlaq) maka nilai-nilai dasar tersebut harus mengandung unsur-unsur kebenaran hakiki.
Dalam pandangan Islam, untuk mendapatkan kebenaran hakiki sumbernya adalah akidah dan syariat. Dengan menjadikan aqidah dan syariah sebagai sumber kebenaran suatu landasan kontrak (asas), maka diharapkan akan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Bagaimanapun, aqidah dan syariah masih emmuat prinsip-prinsip yang bersifat umum (al-ushul al-kulliyyah) sehingga perlu diwujudkan dalam bentuk peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah) agar mudah dipahami dan diamalkan. Untuk mewujudkannya, diperlukan pengetahuan tentang kaidah-kaidah fiqh (al-qawa’id al-fiqhiyyah) yang terdapat dalam ilmu pengetahuan ushul fiqh.[1]Rumusan asas-asas dalam hukum perjanjian/ kontrak syariah bersumber dari Alqur’an dan Sunnah. Hal ini dimaksudkan agar asas-asas yang dijadikan sebagai dasar hukum penyusunan akad/ kontrak mengandung kebenaran dari Allah SWT. Asas-asas dalam perjanjian/ kontrak syariah tersebut yaitu:
1.        Asas Ibahah (Mabda’ al-ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum dalam hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.”
الأصل فى الأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدّ ليل على التّحريم[2]
Asas ini kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah yaitu berlaku asas bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah yang disebutkan dalam dalil-dalil syariah.[3] Sebaliknya, dalam tindakan muamalat, segala sesuatu sah dilakukan selama tidak ada larangan tegas dalam tindakan tersebut. Jika dikaitkan dengan tindakan hukum khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut (termasuk kesepakatan /hasil ijtihad ulama).
2.         Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at-Ta’aqud)
Asas ini menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang Syariah dan memasukkan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil. Asas ini juga menyatakan kebebasan dalam menentukan objek perjanjian dan bebas bagaimana menentukan cara penyelesaian sengketa jika terjadi di kemudian hari. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan.[4]Ruang lingkup kebebasan berakad dapat berupa kebebasan dalam menentukan objek perjanjian, mengajukan syarat-syarat, menentukan cara penyelesaian apabila terjadi perselisihan atau sengketa.[5]
Asas kebebasan berakad didasarkan kepada beberapa dalil, antara lain:
a.       Firman Allah SWT:
يآأيّهاالّذين أمنوْآأوفُوابِالعُقُود...[6]
“Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian)” (QS. 5: 1).
b.      Sabda Nabi Saw., “barangsiapa menjual pohon korma yang sudah dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual), kecuali apabila pembeli mensyaratkan lain.”
c.       Kaidah hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji.

3.         Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)/ pacta sunt servanda
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.[7] Dalam arti lain, lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak belum dilaksanakan pada saat itu. Tercapainya kesepakatan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka atau kontrak tersebut bersifat obligator, yakni melahirkan kontrak kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
Lahirnya perjanjian pada saat terjadinya kesepakatan tidak berlaku bagi semua jenis kontrak, karena asas ini hanya berlaku pada kontrak konsensual, sedangkan pada kontrak formal memerlukan formalitas tertentu untuk lahirnya kontrak dan kontrak riel lahir pada saat penyerahan barang yang menjadi objek kontrak.[8] Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
Asas ini didasarkan pada dalil-dalil antara lain:
a.       Firman Allah SWT:
يآيّهاالّذين أمنوالاتأكلوآاموالكم بينكم بالباطل إلّآأن تَكونَ تِجارةًعن تراضٍ مِّنكمْ.
“wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali (jika makan harta sesamamu itu dilakukan)dengan cara tukar-tukar berdasarkan perijinan timbal balik (kata sepakat) diantara kamu” (QS An-Nisa:29)
b.      Firman Allah SWT: [9]
واَتوا النّساء صدقاتهنّ نحلة فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
c.       Sabda Nabi Saw., “sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat (HR Ibn Hibban dan Ibn Majah).
d.      Kaidah hukum Islam, pada asasnya perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.
4.         Asas Janji itu Mengikat
Dalam al-Qur‟an dan hadis banyak perintah agar memenuhi janji. Kaidah ushul fikih menerangkan, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”.
a.       Firman Allah SWT dalam asas mengikat adalah:
... وَأوفُوابالعَهدِ إنّ العَهدَكان مسْئولاً
“...dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan pertanggungjawabannya” (QS Al-Isra:34)
b.      Asar dari Ibn Mas’ud “Janji itu adalah utang.”
c.       Sabda Nabi Saw., “Orang-orang Muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka.

5.         Asas Keseimbangan (Mabda’ at- Tawazun fi al- Mu’awadah)
Hukum perjanjian Islam menekankan perlunya keseimbangan, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima (transaksi) maupun keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transaksi tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditur bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.
6.         Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Asas ini dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan yang memberatkan (masyaqqah). Jika dalam pelaksanaan akan terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta mengakibatkan kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkan, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal. Akad haruslah membawa kemaslahatan bagi para pihak serta tidak merugikan satu sama lain.[10]Dalam suatu kaidah:
لاضررولاضرار[11]
Berbuat madharat kepada diri sendiri tidak boleh, demikian berbuat madharat kepada orang lain.
7.         Asas Amanah
Asas amanah ini dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beri’tikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi karena ketidaktahuan pihak satunya. Dalam hukum perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya untuk memberi informasi yang sejujur kepada pihak lain yang tidak mengetahui. Contoh pada masa kini dalam hukum Islam yaitu akad murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah dan akad takaful (asuransi).
8.         Asas Keadilan
Pelaksanaan asas ini dalam suatu akad menuntut para pihak untuk melakukan yang benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang bagi salah satu pihak. Asas ini merupakan tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum, sebagaimana di dalam al-Qur‟an ditegaskan:
ياأيّها الّذين اَمنوا كونو اقوّامين للّه شهداء بالقسط ولا يجرمنّكم شناَن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتّقوى واتّقوااللّه إنّ اللّه خبيربماتعملون [12]
Sering di zaman sekarang akad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki satu kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad tersebut, karena klausul akad telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil jika dalam pelaksanaannya akan menimbulkan kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku karena didorong oleh kebutuhan. Dalam hukum Islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku dapat diubah pengadilan jika memang ada alasan untuk itu.[13]
9.         Asas Personalia Akad
Asas ini menegaskan bahwa akibat hukum yang timbul dari suatu akad hanya berlaku bagi pihak yang membuatnya. Firman Allah SWT:
لايكلّف الله نفسا إلا وسعها...[14]
Seseorang memperoleh apa yang ia usahakan dan memikul akibat apa yang ia lakukan.
ولاتكسب كلّ نفس إلا عليها ولا  تزروازرة  وزرأخرى[15]
Maksud dari ayat ini adalah seseorang tidak memikul tanggung jawab kecuali atas apa yang ia perbuat dan tidak memikul tanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh orang lain.[16]










DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Adib Bisri, Moh., Tarjamah Al Faraidul Bahiyyah, Risalah Qawaid Fiqh, Kudus: MENARA, 1977.

Anwar, Syamsul., Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Burhanuddin., Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE, 2009.

Ghofur Anshori, Abdul., Hukum Perjanjian Islam di Indonesia:konsep, regulasi, dan implementasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.

Minhaji, Akh., dkk., Antologi Hukum Islam, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010.

Miru, Ahmadi., Hukum Kontrak bernuansa Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed-1 cet ke- 2, 2013.





[1] Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah (Yogyakarta: BPFE, 2009), hlm. 41.
[2] Moh. Adib Bisri, Tarjamah Al Faraidul Bahiyyah, Risalah Qawaid Fiqh (Kudus: MENARA, 1977), hlm. 11.
[3]Ahmadi Miru, Hukum Kontrak bernuansa Islam (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed-1 cet 2 2013), hlm. 9.
[4] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: konsep, regulasi, dan implementasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), Hlm. 32.
[5]  Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah(Yogyakarta: BPFE, 2009), hlm. 42.
[6]Al-Maa’idah (5): 1.
[7]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), Hlm. 89.

[8]Ahmadi Miru., Hukum Kontrak bernuansa Islam Ed-1 cet.2  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.9.

[9] Al- Israa’ (17): 34.
[10]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), Hlm. 90.

 [11]Moh. Adib Bisri, Tarjamah Al Faraidul Bahiyyah; Risalah Qawa-id Fiqh(Kudus: MENARA, 1977), hlm. 21.

[12]  Al- Maa’idah (5): 8.
[13] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), Hlm. 92.

[14] Al- Baqarah (2): 286.
[15] Al- An’am (6): 164.
[16] Akh. Minhaji, dkk., Antologi Hukum Islam (Yogyakarta: Sukses Offset, 2010), hlm. 86.

0 Response to "Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum Islam"

Post a Comment