Konversi Akad Mudharabah Ke Qardhu

A.  Pendahuluan
Realitas historis berdirinya Perbankan Syariah di Indonesia tentu tidak terlepas dari beberapa regulasi yang mempengaruhinya. Diawali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang secara eksplisit memperbolehkan pengelolaan bank berdasarkan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing),[1]membuat eksistensi perbankan syariah di Indonesia semakin menampakkan taringnya sebagai Lembaga Keuangan Bank (LKB) yang unggul dengan berbagai produk yang ditawarkannya.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia semakin pesat, sehingga pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbanakan Syariah yang secara khusus mengatur aktivitas perbankan syariah di seluruh Indonesa. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum spesifik untuk mengatur perbankan syariah.[2]
Pembiayaan dalam perbankan syariah merupakan suatu pembeda dengan produk yang ditawarkan oleh bank konvensional. Pembiayaan merupakan sebagian besar asset dari bank syariah sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga kualitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-undang Perbankan Syariah bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian.[3]
Berdasarkan berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui penerapan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten. Penerapan prinsip kehati-hatian dijabarkan dalam bentuk rambu-rambu kesehatan bank.[4]
Prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh perbankan syariah sebelum melakukan pembiayaan kepada nasabah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah tidak menjamin pembiayaan tersebut terhindar dari suatu masalah pasca terjadinya akad yang dapat mengancam kesehatan bank. Berdasarkan hal di atas, suatu perbankan syariah perlu melakukan langkah antisipatif untuk menyelamatkan pembiayaan tersebut.
Pembiayaan perbankan syariah yang berpotensi melahirkan masalah dengan tingkat risiko yang cukup tinggi adalah pembiayaan mudharabah, mulai dari side streaming yaitu nasabah tidak menggunakan dana sebagaimana yang disebut dalam kontrak, kelalaian dan kesalahan nasabah yang disengaja, hinga yang paling fatal adalah penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.[5] Maka, dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang konversi akad mudharabahkepada akad qardu sebagai solusi pembiayaan mudharabah yang bermasalah.
B.  Tinjauan Umum tentang Akad Mudharabah dan Qordu
1.    Pengertian Mudharabah dan Qardu
Mudharabah diambil dari kata الضرب في الأرض yang artinya: السفر للتجارة yakni melakukan perjalanan untuk berdagang.[6]Senada dengan pengertian di atas, Syafi’i Antonio juga menyatakan bahwa mudharabah berasal dari kata dharb, artinya “memukul atau berjalan”. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usaha.[7]  Pendapat lain dikemukakan oleh Mahmudatus Sa’diyah yang menyatakan bahwa mudharabah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi (ضارب)yang berarti berdagang atau memperdagangkan.[8]
Lebih lanjut Mahmudatus Sa’diyah menjelaskan bahwa mudharabah disebut juga qiradh[9]oleh penduduk Hijaz.  Senafas dengan Mahmudatus Sa’diyah, Ismail Nawawi juga menjelaskan bahwa mudharabah merupakan bahasa Irak, sedangkan bahasa penduduk Hijaz menyebut dengan istilah qiradh.[10]
Wahbah Zuhaily dalam Ismail Nawawi mengemukakan bahwa mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dalam hal ini pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shohibul mal) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua sebagai pengelola usaha (mudhorib). Keuntungan yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan biasanya dalam bentuk presentase (nisbah).[11]
Penggunaan akad mudharaba dapat dituangkan dalam bentuk penghimpunan dana atau penyaluran dana. Akad mudharabah dalam penghimpunan dana dilakukan antara nasabah investor dengan perbankan syariah, sedangkan penyaluran dana dengan akad mudharabah dilakukan antara bank syariah dengan nasabah penerima fasilitas.[12]
Sedangkan qardu dalam arti bahasa berasal dari kata qaradha yang sinonimnya adalah qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).[13]Sedangkan menurut syara’, qardu adalah menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian ia meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut.
Syafi’i Antonio mengemukakan bahwa qardu adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur klasik, qardu dikategorikan dalam aqd tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.[14]
Qardu merupakan salah satu produk perbankan syariah yang lebih mengarah kepada misi sosial. Qardu termasuk produk pembiayaan yang disediakan oleh bank dengan ketentuan bank tidak boleh mengambil keuntungan berapapun darinya dan produk ini hanya diberikan pada saat keadaan emergency. Dalam hal ini, bank hanya terbatas untuk memungut biaya administrasi dari nasabah, dan nasabah hanya berkewajiban membayar pokoknya saja, dan untuk jenis qardu al-hasan pada dasarnya apabila nasabah memang dalam keadaan tidak mampu membayar, maka ia tidak perlu mengembalikannya.[15]
Pengaplikasian akad qardu dalam perbankan syariah biasanya diterapkan sebagai hal-hal berikut:[16]
a.       Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonaiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek.
b.      Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena masih tersimpan dalam bentuk deposito.
c.       Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membantu sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu qardu al-hasan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa qordu sebagai produk perbankan syariah merupakan suatu pembiayaan khusus yang disediakan oleh bank untuk nasabah tertentu dan dalam keadaan tertentu. Dengan artian, pengabulan pembiayaan ini hanya diperuntukkan pada nasabah yang telah diketahui oleh bank kondisi ekonominya.
2.    Dasar Hukum mudharabah dan Qardu
Secara umum, landasan dasar syariah terkait akad mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Para ualama madzhab pun sepakat bahwa mudharabah dibolehkan berdasarkan ayat-ayat dalam al-Qur’an yaitu dalam surat al-Muzammil ayat 20, surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah ayat 198 serta dalam hadis.
1.      Al-Qur’an
...وَءَاخرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِيْ الْأَرْضِ يَبْتَغونَ مِنْ فَضْلِ اللهِ...(المزمل)
فَإذَا قُضِيَةِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوْا فِيْ الأَرْضِ وَابْتَغوا مِنْ فَضْلِ اللهِ...(الجمعة)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغوا فَضْلاً مَنْ رَبِّكُمْ...(البقرة)
2.      Al-Hadis
عن صالح بن صهيب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: ثلاث فيهن البركة البيع إلى أجل و المقارضة و خلط البر بالشعير للبيت لا للبيع.
Sedangkan landasan dasar syariah yang memperbolehkan akad qardu didasarkan pada ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 245, surat al-Hadid ayat 11 dan surat at-Taghabun ayat 17 serta berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majjah.
1.      Al-Qur’an
مَنْ ذا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْراً, وَاللهُ يَقْبِضُ وَ يَبْصُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُون (البقرة)
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَ لَهُ أَجْررٌ كَرِيْم (الحديد)
إِنْ تُقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَ يَغْفِرْ لِكُمْ و اللهُ شَكُورٌ حَلِيْمٌ (التغابون)
2.      Al-Hadis
عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة.
3.    Rukun dan Syarat Mudharabah dan Qardu
Rukun dan syarat merupakan sekumpulan komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad yang sah dan mengikat. Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu dapat terwujud karena adanya unsur-unsur yang membentuknya. Sedangkan syarat adalah hal-hal yang diperlukan agar unsur (rukun) sebagaimana dimaksud dapat tecapai. Tanpa adanya syarat, maka rukun akad tidak dapat membentuk akad.[17]
Adapun rukun akad mudharabah menurut jumhur ulama terdiri dari tiga hal, yaitu; aqid (pemilik modal dan pengelola), ma’qud ‘alaih (modal, tenaga/pekerjaan, dan keuntungan), dan shighat (ijab dan qobul). Namun menurut Syafi’iyah, rukun akad mudharabah terdiri dari lima hal, yaitu; modal, tenaga (pekerjaan), keuntungan, shighat, dan aqidain.[18] 
Secara ringkas, syarat yang harus dipenuhi untuk tercapainya rukun akad mudharabah yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili dalam Ismail Nawawi adalah sebagai berikut:[19]
a.       Pemilik modal dan pengelola keduanya harus mampu bertindak sebagai sebagai pemilik modal (owner) dan manajer.
b.      Ucapan serah terima (shighat ijab wa al-qobul) kedua belah pihak untuk menunjukkan kemauan mereka dan terdapat kejelasan tujuan kemauan mereka dalam melakukan sebuah kontrak/transaksi.
c.       Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pemilik modal (shohibul mal) kepada pengelola (mudhorib) untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Modal disyaratkan harus diketahui jumlahnya, jenisnya (mata uang) dan modal harus disetor tunai kepada mudhorib.
d.      Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal, keuntungan adalah tujuan akhir dari mudharabah.
e.       Pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi pengelola (mudhorib) dalam kontrak mudharabah yang disediakan oleh pemilik modal. Pekerjaan dalam kaitan ini berhubungan dengan manajemen kontrak mudharabah dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam transaksi.
Sedangkan rukun dalam akad qardu menurut jumhur fuqaha terdiri dari tiga unsur, yaitu; aqid (muqridh dan muqtaridh), ma’qud ‘alaih (uang atau barang), dan shighat (ijab dan qobul).[20]Adapun syarat yang harus dipenuni untuk tercapainya rukun dalam akad qardu sebagaimana dimaksud di atas secara ringkas adalah sebagai berikut:[21]
a.       Besarnya pinjaman (qardu) harus diketahui dengan takaran, timbangan, atau jumlahnya.
b.      Sifat pinjaman (qardu) dan usinya harus diketahui jika dalam bentuk hewan.
c.       Pinjaman (qardu) tidak sah dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.
C.  Analisis Konversi Akad Mudharabah Kepada Akad Qardu
Pembiayaan adalah sumber pendapatan bank terbesar sekaligus merupakan sumber risiko bisnis yang terbesar. Oleh karena itu, bank syariah wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah. Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.[22]
Penanganan pembiayaan bermasalah merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dalam proses pembiayaan.[23] Kepatuhan bank terhadap amanat dalam Pasal 2 Undnag-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menekankan agar bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya harus berdasarkan prinsip kehati-hatian, tidak sepenuhnya memberi jaminan bagi bank untuk terhindar dari suatu pembiayaan yang bermasalah.
Secara yuridis, penanganan pembiayaan bermasalah di bank syariah telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disebut PBI) Nomor 13/9/PBI/2011 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syaria Dan Unit Usaha Syariah. Pasal 1 Ayat (7) PBI Nomor 13/9/PBI/2011 menjelaskan bahwa Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya antara lain melalui:[24]
1.    Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
2.    Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain meliputi:
a.       Perubahan jadwal pembayaran;
b.      Perubahan jumlah angsuran;
c.       Perubahan jangka waktu;
d.      Perubahan nisbah dalam Pembiayaan mudharabah atau musyarakah;
e.       Perubahan proyeksi bagi hasil dalam Pembiayaan mudharabah atau musyarakah; dan/atau
f.       Pemberian potongan.
3.    Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain meliputi:
a.       Penambahan dana fasilitas Pembiayaan bank;
b.      Konversi akad Pembiayaan;
c.       Konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau
d.      Konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah.
Bank syariah hanya dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut; 1) nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan 2) nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.[25]Restrukturisasi pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik.
Jika analisis dan bukti-bukti telah memadai, bank syariah akan melakukan penyelamatan pembiayaan bermasalah dengan upaya restrukturisasi apabila nasabah masih mempunyai itikad baik dalam arti masih mau diajak kerjasama dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah, akan tetapi jika nasabah sudah tidak beritikad baik dalam arti tidak dapat diajak kerjasama dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan melakukan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah.[26]
Salah satu upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah yang dilakukan oleh bank syairah yang turut diatur dalam PBI Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi adalah konversi akad pembiayaan.[27]Konversi akad sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI tentang Konversi Akad Murabahah yaitu membuat akad baru bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, namun ia masih dipandang prospektif.[28]
Mengenai konversi akad mudharabah kepada akad qardu menurut Dewan Pengawas Syariah boleh dilakukan apabila nasabah yang melakukan pembiayaan mudharabah tersebut belum dikatakan bangkrut, melainkan nasabah tersebut masih memiliki potensi untuk diajak kerja sama.[29]
Dipandang dari segi kemaslahatannya, tidak heran jika akad qardu menjadi akad yang paling populer di kalangan nasabah untuk mengonversi akad mudharabah yang mengalami masalah. Hal ini tidak lain karena akad qardu sebagaimana telah diuraikan dalam tinjauan umum tentang akad qardu memiliki nilai kemaslahatan yang tinggi dan tujuannya memang mengarah keapda misi sosial yang didasarkan pada prinsip tolong menolong dan bank tidak boleh mengambil keuntungan berapapun darinya.
Senada dengan hal di atas, penggunaan akad qardu hanya dapat diberikan oleh bank pada saat keadaan darurat (emergency). Sehingga, jika dikaitkan dengan konversi akad mudharabah, maka akad qardu hadir sebagai solusi yang tepat bagi nasabah yang sedang mengalami masalah dalam pembiayaannya dan butuh upaya penyelamatan atas pembiayaan tersebut. Penyelamatan pembiayaan dengan mengkonversi akad sebagaimana dimaksud di atas tidak hanya menguntungkan nasabah, namun bank juga akan diuntungkan dengan kembalinya dana nasabah kepada bank, sehingga tidak mengurangi kepercayaan nasabah kepada bank.
Kebijakan konversi akad mudharabah kepada akad qardu sebagaimana dimaksud di atas, tidak semata-semata dilakukan sepihak oleh bank. Namun harus berdasarkan persetujuan dari pihak nasabah yang mengalami masalah dalam pembiayaannya. Pengambilan kebijakan ini tentu dengan tidak melewatkan opsi-opsi lain sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah dan Unit Usaha Syairah. Ketika beberapa opsi penyelamatan telah ditawarkan kepada nasbah, maka akan didapatkan satu keputusan yang disepakati bersama oleh para pihak terkait opsi penyelamatan yang dipilih untuk menyelamatkan pembiayaan bermasalah.
Adapun hal lain yang patut diperhatikan dari konversi akad mudharabah kepada akad qardu ini yaitu terkait penambahan biaya administrasi yang dibebankan kepada nasabah karena telah bersepakat untuk melakukan akad baru. Selain itu, perubahan akad yang dilakukan antara nasabah dan bank tentu akan menimbulkan konsekuensi hukum yang jelas berbeda dengan akad sebelumya.
Jika merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (7) PBI Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha syariah, menurut hemat penulis, alangkah lebih baiknya jika nasabah yang mengalami masalah dalam pembiayaannya untuk tidak terlalu terburu-buru mengambil keputusan untuk merekonvensi akadnya yang bermasalah kepada akad lain yang dipandang lebih maslahat.
Hal ini dikarenakan masih ada upaya penyelamatan yang menurut penulis lebih praktis dan cukup mempuni untuk menanggulangi masalah dalam akad pembiayaan mudharabah, yaitu melalui upaya penyelamatan persyaratan kembali (reconditioning). Dengan upaya ini, bank akan meringankan beban nasabah tanpa harus mengubah akad yang telah disepakati sebelumnya.
D.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Sebagai lembaga keuangan yang tunduk terhadap aturan perundang-undangan dan turunannya, bank syariah wajib melakukan upaya penyelamatan terhadap pembiayaan yang bermasalah sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syraiah Dan Unit Usaha Syariah.
2.      Salah satu upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah yang turut diatur dalam PBI Nomor 13/9/PBI/2011 adalah upaya konversi akad. Dalam hal ini konversi akad mudharabah kepada akad qardu diperbolehkan oleh Dewan Pengawas Syariah selama nasabah terkait belum dinyatakan bangkrut melainkan nasabah tersebut masih memiliki potensi untuk diajak kerja sama.
3.      Qardu seringkali dijadikan akad baru untuk merekonvensi akad mudharabah. Hal ini tidak lain karena akad qardu sebagaimana telah memiliki nilai kemaslahatan yang tinggi dan tujuannya memang mengarah keapda misi sosial yang didasarkan pada prinsip tolong menolong dan bank tidak boleh mengambil keuntungan berapapun darinya.
4.      Hal yang patut diperhatikan dalam konversi akad ini adalah penambahan biaya administrasi, karena nasabah dan bank telah bersepakat untuk melakukan akad baru.
5.      Hemat penulis, lebih praktis jika menggunakan upaya penyeleamatan lain yaitu reconditioning, karena dalam upaya ini bank akan banyak memberi kelonggaran bagi nasabah tanpa harus merubah akad yang telah disepakati sebelumnya.



Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Hadis
Buku:
Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah-Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 2007
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ascrya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015.
Huda, Nurul dkk, Baitul Mal wa Tamwil Sebuah Tinjauan Teoritis, Jakarta: Amzah, 2016.
Mubarok, Jaih, Akad Mudharabah, Bandung: Fokus Media, 2013.
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005.
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer-Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Zuhaili, Wahbah , Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu-Juz 4, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
Jurnal
Friyanto, “Pembiayaan Mudharabah, Risiko dan Penanganannya (Studi Kasus Pada Bank BTN Kantor Cabang Syariah Malang)”, JMK, Volume 15, Nomor 2, September 2013.
Mahmudatus Sa’diyah, “Mudharabah dalam Fiqih dan Perbankan Syariah”, Jurnal Equilibrium, Volume 1, No. 2, Desember 2013.
Trisadini Prasastinah Usanti, “Penanganan Risiko Hukum Di Bank Syariah”, Jurnal Yuridika, Volume 29, Nomor 1, Januari-April 2014
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun1998 Perbankan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Web
Khoiro Aulit Taufiqo, “Konversi Akad Sebagai Upaya Penyelamatan Pembiayaan”, dalam https://www.kompasiana.com/kat/konversi-akad-sebagai-upaya-penyelamatan-pembiayaan_558a4c616823bd48078b4592, diakses tanggal 24 Juni 2015 Pukul 14.10 Wib.




[1] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), hlm. 31.
[2] Lihat Konsideran dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[3] Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[4] Perwujudan prinsip kehati-hatian tertuang dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa “Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/ atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah Penerima Fasilitas”.
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 98.
[6] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 365.
[7] Ibid, hlm. 95.
[8] Mahmudatus Sa’diyah, “Mudharabah dalam Fiqih dan Perbankan Syariah”, Jurnal Equilibrium, Volume 1, No. 2, Desember 2013, hlm. 305.
[9] Qiradh berarti al-Qoth’u yakni memotong. Dinamakan demikian, karena pemilik harta memotong sebagian hartanya sebagai modal dan menyerahkan hak pengurusannya kepada orang yang mengelola, hal ini juga berlaku bagi pengelola untuk memotong sebagian dari keuntungan dari hasil usahanya untuk  pemilik.
[10] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer-Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial, (Bogor: Ghalia Indoneisa, 2012), hlm. 141.
[11] Ibid
[12] Jaih Mubarok, Akad Mudharabah, (Bandung: Fokus Media, 2013), hlm. 32. Lihat juga Abdul Ghofur dalam Perbankan Syariah,...hlm. 137.
[13] Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat,...hlm. 273.
[14] Muhammad Syafi’i, Bank syariah,...hlm. 131.
[15] Abdul Ghofur, Perbankan Syariah,...hlm. 146-147.
[16] Muhammad Syafi’i, Bank syariah,...hlm. 133.
[17] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah-Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 95-97.
[18] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu-Juz 4, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 839.
[19] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah,...hlm. 143.
[20] Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat,...hlm. 278.
[21] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah,...hlm. 179.
[22] Lihat Pasal 38-39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[23] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hlm. 168.
[24] Lihat Pasal 1 Ayat (7) Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011
[25] Trisadini Prasastinah Usanti, “Penanganan Risiko Hukum Di Bank Syariah”, Jurnal Yuridika, Volume 29, Nomor 1, Januari-April 2014, hlm. 4.
[26] Ibid.
[27] Lihat Pasal 1 Ayat (7) Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011.
[28] Lihat Fatwa DSN-MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.
[29] Khoiro Aulit Taufiqo, “Konversi Akad Sebagai Upaya Penyelamatan Pembiayaan”, dalam https://www.kompasiana.com/kat/konversi-akad-sebagai-upaya-penyelamatan-pembiayaan_558a4c616823bd48078b4592, diakses tanggal 24 Juni 2015 Pukul 14.10 Wib.

0 Response to "Konversi Akad Mudharabah Ke Qardhu"

Post a Comment