Wa'd Dan Muwa'adah
March 20, 2018
Add Comment
A. Pendahuluan
Perikatan atau perjanjian merupakan kegiatan manusia menjalin suatu perbuatan hukum dan menjadi hukum bagi mereka sendiri yang telah melakukan perjanjian. Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seseorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan masa satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah akad. Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat.
Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji (al-wa’d) atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, janji (al-wa’d) merupakan salah satu unsur dari akad yaitu termasuk dalam sighat akad. Makalah ini ditulis untuk mengkaji dan menjelaskan mengenai hakikat al-wa’d atau janji, serta hukum menunaikan janji dalam lingkup bisnis syariah.
B. Pembahasan
1. Pengertian Janji (al-wa’d)
Ulama telah menjelaskan arti wa’d baik secara bahasa (etimologi) maupun secara istilah (terminologi). Dalam ilmu tauhid konsep wa’d disandingkan dengan kata wa’id (al-wa’d wa al-wa’id) yang berarti janji dan ancaman dari Allah.
Arti wa’d secara istilah dijelaskan oleh ulama dengan penjelasan yang beragam, akan tetapi unsurnya relatif sama, yaitu: (1) pernyataan dari pihak/seseorang (subyek hukum) untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu. (2) perbuatan tersebut dilakukan di masa yang akan datang (istiqbal). Dari segi norma, perbuatan yang dijanjikan termasuk perbuatan baik. Dengan demikian, wa’d secara istilah berarti pernyataan kehendak dari pihak/seseorang/subyek hukum tertentu untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan perbuatan buruk) di masa yang akan datang.
Dalam khazanah fikih terdapat tiga kata yang saling berhubungan dengan al-wa’d, yaitu al-wa’d, al-‘ahd, dan al-‘aqdu. Para ahli tafsir dan pakar fikih menjelaskan bahwa arti al-‘ahd secara istilah mencakup seluruh keharusan bagi manusia yang dibebanka oleh Allah, baik yang berkenaan dengan hak-hak Allah maupun yang berkenaan dengan hak-hak hamba. Sedangkan janji (al-wa’d) adalah seluruh kewajiban manusia yang dibebankan oleh Allah yang berkenaan dengan hak-hak hamba semata. Dengan demikian, al-wa’d merupakan bagian dari al-‘ahd.
Janji (al-wa’d) berbeda degan perjanjian atau kontrak (al-‘aqd). Dalam kontrak terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang telibat dan diterima oleh pihak laind an menimbulkan akibat hukum atas objek perjanjian, serta hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak. Adapun janji adalah “keinginan” yang dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan, dalam tujuan memberikan keuntungan bagi pihak lainnya.
Akad secara etimologi memiliki beberapa makna, yaitu: (1) mengikat (ar-rabtu), atau mengumpulkan dalam dua unjung tali dan mengikat salah satunya dengan jalan lain sehingga tersambung, kemudian keduanya menjadi bagian dari sepotong benda, (2) sambungan (‘aqdatun), atau sambungan yang memegang kedua ujung dan mengikatnya, (3) janji (al-‘ahdu), sebagai mana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
بَلَىٰۚ مَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ وَٱتَّقَىٰ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧٦
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 76)
Suhendi mengemukakan bahwa istilah ‘ahdun dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada keterikatan dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik maupun setuju maupun tidak, tidak berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut. Janji tetap mengikat orang yang membuatnya. Perikataan ‘aqdu mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, kemudian disebut perikatan (‘aqd).
Al-wa’d sepadan dengan janji atau pernyataan pihak tentang kesanggupan untuk melakukan atu tidak melakukan perbuatan tertentu. Sedangkan akad sepadan dengan kata perajanjian, yaitu suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain atau di mana dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Atas dasar perjanjian tersebut, pihak yang satu berhak menuntut pihak yang lain dan yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Oleh karena itu, perjanjian termasuk sumber perikatan, karena perjanjian melahirkan hubungan hukum di mana pihak yang satu berhak menuntut pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dari segi hukum, perikatan muncul karena undang-undang atau perjanjian, dan kedudukan perjanjian dari segi hukum adalah undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.
Perjanjian sepadan dengan akad (al-aqd) karena dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: (1) sepakat bagi mereka yang mengikat dirinya, (2) kecakapan untuk membuat perjanjian, (3) suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal. Dengan demikian, janji (al-wa’d) pada prinsipnya merupakan pernyataan kehendak secara sepihak untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, sedangkan akad adalah kesepakatan para pihak yang berupa pernyataan kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu (ijab) dan disetujui oleh pihak lainnya (qabul).
2. Janji (al-wa’d) dalam Fatwa DSN MUI
Perihal mengenai janji (al-wa’d), DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah, yang memutuskan:
1. Janji (wa’d) adalah pernyataan kehendak dari seseorang atau satu pihak untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan sesuatu yang buruk) kepada pihak lain (mau’ud) di masa yang akan datang;
2. Wa’id adalah orang atau pihak yang menyatakan janji (berjanji);
3. Mau’ud adalah pihak yang diberi janji oleh wa’id;
4. Mau’ud bih adalah sesuatu yang dijanjikan oleh wa’id (isi wa’d); dan
5. Mulzim adalah mengikat, dalam arti bahwa wa’id wajib menunaikan janjinya (melaksanakan mau’ud bih), serta boleh dipaksa oleh mau’ud dan/atau pihak otoritas untuk menunaikan janjinya.
Fatwa DSN-MUI tersebut juga menjelaskan bahwa janji (wa’d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa’id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini. Adapun ketentuan-ketentuan khusus yang dimaksud adalah:
1. Wa’d harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;
2. Wa’d harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (wa’d besryarat);
3. Mau’ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
4. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan
5. Mau’ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka 2.
Terkait dengan penyelesaiain sengketa, Fatwa DSN-MUI tersebut juga menjelaskan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Hukum memenuhi janji bersyarat (al-wa’d al-mu’allaq) menurut mazhab Maliki adalah wajib secara hukum apabila janji dikaitkan dengan sesuatu hal (syarat) dan pihak yang diberi janji telah memulai melakukan hal yang dipersyaratkan tersebut. Al-Amuri menegaskan bahwa ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukum memenuhi janji bersyarat adalah wajib, karena dalam janji tersebut dari segi bentuk (form) telah memenuhi syarat iltizam (kesepakatan).
3. Janji (al-wa’d) dalam Bisnis Syariah
Akad syariah tentang bisnis kontemporer pada umumnya tidak berdiri sendiri. akad merupakan rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan akad-akad lain yang dijembatani dengan wa’d (janji).
Di antara wa’d (janji) dalam lingkup bisnis syariah antara lain:
a. Bisnis dengan Akad Salam dan Istishna’
Akad jual beli yang di dalamnya terkandung unsur wa’d (janji) adalah salam dan istishna’. Jual beli salam dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI N0: 05/DSN-MUI/IV/2000. Akad salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Wa’d terlihat dalam fatwa DSN-MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 terutama dalam penjelasan definisi dan ketentuan mengenai obyek salam, yaitu: (1) harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang; (2) harus dapat dijelaskan spesifikasinya; (3) penyerahannya dilakukan kemudian; (4) waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; (5) pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya; dan (6) tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketentuan mengenai jual-beli istishna‘ dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli istishna‘ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shâni’).
Hubungan akad jual-beli istishna‘ dengan wa‘d terlihat dalam ketentuan lain, yaitu: (1) dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat; (2) semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’; dan (3) jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b. Bisnis dengan Akad Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT)
Akad Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan IMBT adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah masa sewa. Hubungan antara wa’d dengan akad IMBT terlihat pada ketentuan kedua, yaitu: (1) pihak yang melakukan akad IMBT harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilkan, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai; (2) janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Berkaitan dengan fatwa DSN-MUI tentang janji (wa’d), dapat dikontruksikan dalam akad IMBT hukumnya dapat mengikat dan dapat pula tidak mengikat. Kontruksi janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan mengikat jika janji (wa’d) memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang disebutkan pada fatwa DSN-MUI tentang Janji (wa’d), dimana janji (wa’d) akan mengikat jika dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (penerima janji).
Syarat yang harus dipenuhi penerima janji adalah menyelesaikan kewajiban membayar sewa (ijarah) hingga masa sewa (ijarah) selesai, karena akad pemindahan kepemilikan dalam akad, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) hanya dapat setelah masa ijarah selesai, sebagaimana yang telah ditentukan dalam fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002. Namun, tentunya tidak hanya ketentuan dalam hal ini saja, kelima ketentuan yang disebut di dalam fatwa DS-MUI tentang janji (wa’d) tersebut juga harus ikut terpenuhi.
Sebaliknya, janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan tidak mengikat jika dalam konstruksinya janji (wa’d) dalam akad IMBT tidak dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi oleh si penerima janji. Janji (wa’d) akan tidak mengikat jika penerima janji tidak menyelesaikan kewajiban membayar sewa hingga akhir masa sewa, dengan demikian akad pemindahan kepemilikan objek sewa tidak dapat dilakukan oleh pemberi janji, karena tidak memenuhi ketentuan tentang akad IMBT dalam
Fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. Jika salah salah satu dari lima ketentuan khusus pelaksanaan wa’d yang disebut dalam Fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tidak terpenuhi, maka janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya ialah tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan fatwa tersebut bahwa janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa janji (wa’d) adalah suatu keinginan pernyataan kehendak seorang pihak atau pihak lain untuk berbuat sesuatu yang baik dan kesanggupan untuk melaksanakannya, sehingga janji tersebut mengikat bagi pihak yang berjanji. Secara jelas dalam fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah bahwa janji (wa’d) adalah mulzim (mengikat) dan wajib untuk dipenuhi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan khusus di dalamnya. Akan tetapi janji (wa’d) dalam bisnis syariah bisa bersifat mengikat dan bisa juga bersifat tidak mengikat.
Sifatnya yang mengikat apabila janji (wa’d) tersebut dikaitkan dengan sesuatu syarat atau ketentuan-ketentuan khusus yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh mau’ud bih (penerima janji) . Sedangkan bersifat tidak mengikat, apabila janji (wa’d) tersebut tidak dikaitkan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh si penerima janji. Sebagai contoh dalam akad Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik (IMBT), Janji (wa’d) akan tidak mengikat jika penerima janji tidak menyelesaikan kewajiban membayar sewa hingga akhir masa sewa, dengan demikian akad pemindahan kepemilikan objek sewa tidak dapat dilakukan oleh pemberi janji.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Buku/Jurnal
Al-Muri, Mahmud Fahd Ahmad, al-Wa’d al-Mulzim fi Syiagh al-Tamwil al-Masharifi al-Islami, Yordan: Kulliyyah al-Syari’ah wa Dirasah al-Islamiyyah al-Jami’ah Yordan, 2004.
Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah,al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1965.
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Komariah, Hukum Perdata, Malang: UNMUH Malang, 2002.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Mubarok, Jaih, dan Hasanudin, “Toeri Al-Wa’d dan Implementasinya dalam Regulasi Bisnis Syariah”, Jurnal Ahkam, Jakarta Pusat: Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI, Vol. XII, No. 2, Juli 2012.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009.
Sari, Nilam, Kontrak (Akad) dan Implementasinya pada Perbankan Syariah di Indonesia, Banda Aceh: PeNa, 2015.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 2004.
Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Perundang-undangan/Fatwa DSN-MUI
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah.
Fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik.
Fatwa DSN-MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
Fatwa DSN-MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’.
Perikatan atau perjanjian merupakan kegiatan manusia menjalin suatu perbuatan hukum dan menjadi hukum bagi mereka sendiri yang telah melakukan perjanjian. Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seseorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan masa satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah akad. Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat.
Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji (al-wa’d) atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, janji (al-wa’d) merupakan salah satu unsur dari akad yaitu termasuk dalam sighat akad. Makalah ini ditulis untuk mengkaji dan menjelaskan mengenai hakikat al-wa’d atau janji, serta hukum menunaikan janji dalam lingkup bisnis syariah.
B. Pembahasan
1. Pengertian Janji (al-wa’d)
Ulama telah menjelaskan arti wa’d baik secara bahasa (etimologi) maupun secara istilah (terminologi). Dalam ilmu tauhid konsep wa’d disandingkan dengan kata wa’id (al-wa’d wa al-wa’id) yang berarti janji dan ancaman dari Allah.
Arti wa’d secara istilah dijelaskan oleh ulama dengan penjelasan yang beragam, akan tetapi unsurnya relatif sama, yaitu: (1) pernyataan dari pihak/seseorang (subyek hukum) untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu. (2) perbuatan tersebut dilakukan di masa yang akan datang (istiqbal). Dari segi norma, perbuatan yang dijanjikan termasuk perbuatan baik. Dengan demikian, wa’d secara istilah berarti pernyataan kehendak dari pihak/seseorang/subyek hukum tertentu untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan perbuatan buruk) di masa yang akan datang.
Dalam khazanah fikih terdapat tiga kata yang saling berhubungan dengan al-wa’d, yaitu al-wa’d, al-‘ahd, dan al-‘aqdu. Para ahli tafsir dan pakar fikih menjelaskan bahwa arti al-‘ahd secara istilah mencakup seluruh keharusan bagi manusia yang dibebanka oleh Allah, baik yang berkenaan dengan hak-hak Allah maupun yang berkenaan dengan hak-hak hamba. Sedangkan janji (al-wa’d) adalah seluruh kewajiban manusia yang dibebankan oleh Allah yang berkenaan dengan hak-hak hamba semata. Dengan demikian, al-wa’d merupakan bagian dari al-‘ahd.
Janji (al-wa’d) berbeda degan perjanjian atau kontrak (al-‘aqd). Dalam kontrak terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang telibat dan diterima oleh pihak laind an menimbulkan akibat hukum atas objek perjanjian, serta hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak. Adapun janji adalah “keinginan” yang dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan, dalam tujuan memberikan keuntungan bagi pihak lainnya.
Akad secara etimologi memiliki beberapa makna, yaitu: (1) mengikat (ar-rabtu), atau mengumpulkan dalam dua unjung tali dan mengikat salah satunya dengan jalan lain sehingga tersambung, kemudian keduanya menjadi bagian dari sepotong benda, (2) sambungan (‘aqdatun), atau sambungan yang memegang kedua ujung dan mengikatnya, (3) janji (al-‘ahdu), sebagai mana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
بَلَىٰۚ مَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ وَٱتَّقَىٰ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧٦
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 76)
Suhendi mengemukakan bahwa istilah ‘ahdun dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada keterikatan dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik maupun setuju maupun tidak, tidak berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut. Janji tetap mengikat orang yang membuatnya. Perikataan ‘aqdu mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, kemudian disebut perikatan (‘aqd).
Al-wa’d sepadan dengan janji atau pernyataan pihak tentang kesanggupan untuk melakukan atu tidak melakukan perbuatan tertentu. Sedangkan akad sepadan dengan kata perajanjian, yaitu suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain atau di mana dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Atas dasar perjanjian tersebut, pihak yang satu berhak menuntut pihak yang lain dan yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Oleh karena itu, perjanjian termasuk sumber perikatan, karena perjanjian melahirkan hubungan hukum di mana pihak yang satu berhak menuntut pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dari segi hukum, perikatan muncul karena undang-undang atau perjanjian, dan kedudukan perjanjian dari segi hukum adalah undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.
Perjanjian sepadan dengan akad (al-aqd) karena dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: (1) sepakat bagi mereka yang mengikat dirinya, (2) kecakapan untuk membuat perjanjian, (3) suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal. Dengan demikian, janji (al-wa’d) pada prinsipnya merupakan pernyataan kehendak secara sepihak untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, sedangkan akad adalah kesepakatan para pihak yang berupa pernyataan kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu (ijab) dan disetujui oleh pihak lainnya (qabul).
2. Janji (al-wa’d) dalam Fatwa DSN MUI
Perihal mengenai janji (al-wa’d), DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah, yang memutuskan:
1. Janji (wa’d) adalah pernyataan kehendak dari seseorang atau satu pihak untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan sesuatu yang buruk) kepada pihak lain (mau’ud) di masa yang akan datang;
2. Wa’id adalah orang atau pihak yang menyatakan janji (berjanji);
3. Mau’ud adalah pihak yang diberi janji oleh wa’id;
4. Mau’ud bih adalah sesuatu yang dijanjikan oleh wa’id (isi wa’d); dan
5. Mulzim adalah mengikat, dalam arti bahwa wa’id wajib menunaikan janjinya (melaksanakan mau’ud bih), serta boleh dipaksa oleh mau’ud dan/atau pihak otoritas untuk menunaikan janjinya.
Fatwa DSN-MUI tersebut juga menjelaskan bahwa janji (wa’d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa’id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini. Adapun ketentuan-ketentuan khusus yang dimaksud adalah:
1. Wa’d harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;
2. Wa’d harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (wa’d besryarat);
3. Mau’ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
4. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan
5. Mau’ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka 2.
Terkait dengan penyelesaiain sengketa, Fatwa DSN-MUI tersebut juga menjelaskan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Hukum memenuhi janji bersyarat (al-wa’d al-mu’allaq) menurut mazhab Maliki adalah wajib secara hukum apabila janji dikaitkan dengan sesuatu hal (syarat) dan pihak yang diberi janji telah memulai melakukan hal yang dipersyaratkan tersebut. Al-Amuri menegaskan bahwa ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukum memenuhi janji bersyarat adalah wajib, karena dalam janji tersebut dari segi bentuk (form) telah memenuhi syarat iltizam (kesepakatan).
3. Janji (al-wa’d) dalam Bisnis Syariah
Akad syariah tentang bisnis kontemporer pada umumnya tidak berdiri sendiri. akad merupakan rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan akad-akad lain yang dijembatani dengan wa’d (janji).
Di antara wa’d (janji) dalam lingkup bisnis syariah antara lain:
a. Bisnis dengan Akad Salam dan Istishna’
Akad jual beli yang di dalamnya terkandung unsur wa’d (janji) adalah salam dan istishna’. Jual beli salam dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI N0: 05/DSN-MUI/IV/2000. Akad salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Wa’d terlihat dalam fatwa DSN-MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 terutama dalam penjelasan definisi dan ketentuan mengenai obyek salam, yaitu: (1) harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang; (2) harus dapat dijelaskan spesifikasinya; (3) penyerahannya dilakukan kemudian; (4) waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; (5) pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya; dan (6) tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketentuan mengenai jual-beli istishna‘ dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli istishna‘ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shâni’).
Hubungan akad jual-beli istishna‘ dengan wa‘d terlihat dalam ketentuan lain, yaitu: (1) dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat; (2) semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’; dan (3) jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b. Bisnis dengan Akad Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT)
Akad Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan IMBT adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah masa sewa. Hubungan antara wa’d dengan akad IMBT terlihat pada ketentuan kedua, yaitu: (1) pihak yang melakukan akad IMBT harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilkan, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai; (2) janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Berkaitan dengan fatwa DSN-MUI tentang janji (wa’d), dapat dikontruksikan dalam akad IMBT hukumnya dapat mengikat dan dapat pula tidak mengikat. Kontruksi janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan mengikat jika janji (wa’d) memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang disebutkan pada fatwa DSN-MUI tentang Janji (wa’d), dimana janji (wa’d) akan mengikat jika dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (penerima janji).
Syarat yang harus dipenuhi penerima janji adalah menyelesaikan kewajiban membayar sewa (ijarah) hingga masa sewa (ijarah) selesai, karena akad pemindahan kepemilikan dalam akad, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) hanya dapat setelah masa ijarah selesai, sebagaimana yang telah ditentukan dalam fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002. Namun, tentunya tidak hanya ketentuan dalam hal ini saja, kelima ketentuan yang disebut di dalam fatwa DS-MUI tentang janji (wa’d) tersebut juga harus ikut terpenuhi.
Sebaliknya, janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya akan tidak mengikat jika dalam konstruksinya janji (wa’d) dalam akad IMBT tidak dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi oleh si penerima janji. Janji (wa’d) akan tidak mengikat jika penerima janji tidak menyelesaikan kewajiban membayar sewa hingga akhir masa sewa, dengan demikian akad pemindahan kepemilikan objek sewa tidak dapat dilakukan oleh pemberi janji, karena tidak memenuhi ketentuan tentang akad IMBT dalam
Fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. Jika salah salah satu dari lima ketentuan khusus pelaksanaan wa’d yang disebut dalam Fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tidak terpenuhi, maka janji (wa’d) dalam akad IMBT hukumnya ialah tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan fatwa tersebut bahwa janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa janji (wa’d) adalah suatu keinginan pernyataan kehendak seorang pihak atau pihak lain untuk berbuat sesuatu yang baik dan kesanggupan untuk melaksanakannya, sehingga janji tersebut mengikat bagi pihak yang berjanji. Secara jelas dalam fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah bahwa janji (wa’d) adalah mulzim (mengikat) dan wajib untuk dipenuhi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan khusus di dalamnya. Akan tetapi janji (wa’d) dalam bisnis syariah bisa bersifat mengikat dan bisa juga bersifat tidak mengikat.
Sifatnya yang mengikat apabila janji (wa’d) tersebut dikaitkan dengan sesuatu syarat atau ketentuan-ketentuan khusus yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh mau’ud bih (penerima janji) . Sedangkan bersifat tidak mengikat, apabila janji (wa’d) tersebut tidak dikaitkan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh si penerima janji. Sebagai contoh dalam akad Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik (IMBT), Janji (wa’d) akan tidak mengikat jika penerima janji tidak menyelesaikan kewajiban membayar sewa hingga akhir masa sewa, dengan demikian akad pemindahan kepemilikan objek sewa tidak dapat dilakukan oleh pemberi janji.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Buku/Jurnal
Al-Muri, Mahmud Fahd Ahmad, al-Wa’d al-Mulzim fi Syiagh al-Tamwil al-Masharifi al-Islami, Yordan: Kulliyyah al-Syari’ah wa Dirasah al-Islamiyyah al-Jami’ah Yordan, 2004.
Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah,al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1965.
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Komariah, Hukum Perdata, Malang: UNMUH Malang, 2002.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Mubarok, Jaih, dan Hasanudin, “Toeri Al-Wa’d dan Implementasinya dalam Regulasi Bisnis Syariah”, Jurnal Ahkam, Jakarta Pusat: Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI, Vol. XII, No. 2, Juli 2012.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009.
Sari, Nilam, Kontrak (Akad) dan Implementasinya pada Perbankan Syariah di Indonesia, Banda Aceh: PeNa, 2015.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 2004.
Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Perundang-undangan/Fatwa DSN-MUI
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Fatwa DSN-MUI No: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah.
Fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik.
Fatwa DSN-MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
Fatwa DSN-MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’.
0 Response to "Wa'd Dan Muwa'adah"
Post a Comment