Sumber Perikatan

Pendahuluan
            Syariat Islam mengajarkan kepada manusia agar menjalankan segala aktifitasnya berdasarkan aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, dan Rasullulah. Begitu pula dalam mentasarrufkan kegiatan dalam masyarakat ataupun kegiatan bermuamalat. Setiap melakukan kegiatan terdapat akad atau perikatan yang terjadi didalamnya seperti dalam melakukan transaksi jual beli antara penjual dan pembeli. Akad merupakan pertalian ijab dan Kabul yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
            Adapun perbedaan yang terjadi dalam proses proses perikatan antara hukum Islam dan KUHPerdata adalah pada tahap perjanjian. Pada pihak perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua, baru kemudian lahir perikatan. Pada KUHPerdata, perjanjian pihak pertama dan kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan diantara mereka.
            Hukum perikatan Islam titik tolak yang paling membedakan adalah pada pentingnya unsure ikrar (ijab kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara mereka para pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab kabul), maa terjadilah aqdu atau perikatan.
Sumber-sumber perikatan dapat disebut sebab-sebab perikatan, memang para ahli hukum Islam terkadang menggunakan istilah sebab untuk menunjukkan arti sumber. Ahmad Mushafa Az-Zahqa’, menyebut sumber-sumber perkitan meliputi lima macam yaitu, akad, kehendah sepihak, perbuatan bermanfaat, dan syara’.[1]Adapun penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan pada penulisan ini.



A.    Akad
Akad secara bahasa adalah ikatan, mengikatan. Istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata.[2]Sedangkan istilah al-ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian, yaitu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain.[3]
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Dalam hokum perikatan Islam titik tolak yang paling membedakannya adalah pentingnya unsur ikrar (ijab kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab kabul), maka terjadilah aqdu (perikatan).
 Dari definisi akad diatas dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam, yaitu sebagai berikut:
1.      Pertalian ijab dan kabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh salah satu  pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima dan menyetujui kehendak (mujib) tersebut oleh pihak lainnya (qabil).  Ijab kabul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan  dua pihak yang melakukan akad.[4]Pengungkapan yang dilakukan dalam ijab kabul itu menunjukkan jenis akad yang dimaksud, karena setiap akad itu memiliki ketentuan hak-hak, kewajiban, dan akibat hukum yang berbeda.[5]
2.      Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al-qur’an dan dalam Hadits . Pelaksanaan akad, tujuan akad, objek akad tidak boleh bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan mengakibatkan akad itu tidak sah.
3.      Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari bentuk tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad akan menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.
Menurut Musthafa Az-Zarqa mendefinisikan tasharrufadalah segala perbuatan yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum hak dan kewajiban.[6] Tasharruf memiliki dua bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.       Tasharruf Fi’li adalah usaha yang dilakukan manusia dari tenaga dan badannya.
b.      Tasharruf Qouli
Usaha yang keluar dari perkataan manusia, dan tidak semua perkataan manusia digolongkan suatu akad.
B.     Kehendak Sepihak
Perbuatan hokum sepihak, yaitu perbuatan hokum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan kewajiban ha dan kewajiban pada satu pihak pula.[7] Kehendak sepihak dalam hukum Islam, tindakan yang menimbulkan akibat hukum yang luas dan bermacam-macam, adapun akibat hukum tersebut, antara lain:
1.      Tindakan akibat hukum berdasarkan kehendak sepihak berdasarkan kehendak sepihak tanpa adanya pertemuan dengan kehendak pihak lain[8], yaitu:
a)      Perikatan (al-iltizam)
Dalam pernyataan klasik, seperti orang yang menyatakan akan memberikan sesuatu kepada orang lain. Iltizam ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan orang lain.[9]Ada yang menyatakan bahwa aliltizam ialah
كون شخص مكلف شر عا بعمل او امتنا ع من عمل لمصلحة غير ه
Setiap perikatan dipastikan memiliki dua dampak, yaitu dampak umum dan dampak khusus. Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu perikatan atau maksud utama dari perikatan, seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.[10]Sedangkan dampak khusus yaitu  segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar perikatan, baik dari segi hukum atau hasil.
b)      Janji (sepihak)
Orang yang menetapkan atas dirinya untuk melakukan sesuatu dimasa akan datang, misalnya berjanji akan menjual sesuatu kepada orang lain (janji melakukan jual beli), atau janji memberi hadiah apabila atas sesuatu yang dilakukan orang lain (al-ju’alah).
Janji dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzimdan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa’id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini:
1.)    Wa’id harus cakap hukum
2.)    Dalam hal janji dilakukan oleh pihak yang belum cakap hokum, maka efektifiasa/ keberlakuan janji tersebut tergantung pada izin pengampunya
3.)    Wa’id harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mewujudkan ma’ud bih
4.)    Wa’d harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/ kontrak perjanjian
5.)    Wa’d harus dikaitkan dengan sesuatu syarat yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud
6.)    Ma’ud bih tidak bertentangan dengan syariah
7.)    Syarat yang dimaksud pada angka 2 tidak bertentangan dengan syariah
8.)    Mau’ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana yang dimaksud.[11]
c)      Nazar
Orang yang berniat untuk melakukan sesuatu dimasa datang sebagai suatu perbuatan ibadah kepada Tuhan.
2.      Tindakan hukum yang diperselisihkan oleh ahli hukum Islam mengenai tindakan sepihak semata atau diperlukan adanya ijab dan kabul dari dua belah pihak,[12] tindakan hukum tersebut antara lain:
a)      Hibah (al-hibah)
b)      Pinjam Pakai (al-‘ariah)
c)      Penanggungan (al-kafalah)
d)     Pinjam Uang (al-qard)
Pandangan yang kuat dalam hukum Islam mengenai ini menyatakan bahwa, karena pada akhirnya merupakan tindakan timbal balik (atas beban), meskipun awalnya bersifat Cuma-Cuma, maka diperlukan pernyataan kehendak timbal balik dari kedua pihak yang berupa ijab dan kabul, artinya bukan lagi kehendak sepihak melainkan harus berdasarkan kehendak dua pihak.
C.    Perbuatan Merugikan/ Perbuatan Melawan Hukum
Menurut ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, Perbuatan melawan hukum, yang oleh karenanya menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugiannya. Dari ketentuan pasal tersebut jelas terlihat unsur-unsur perbuatan melawan hukum antara lain:[13]
1.      Perbuatan tersebut harus melawan hukum
2.      Harus ada kesalahan
3.      Harus ada kerugian yang ditimbulkan
4.      Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Perbuatan melawan hukum tidak hanya melawan undang-undang tetapi juga melanggar hal-hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketentuan umum.[14]Menurut H.R. 1919, perbuatan melawan hukum adalah atau tidak berbuat yang disebutkan sebagai berikut:
1.      Melanggar hak orang lain
Hak orang lain bukan semua hak, tetapi hanya hak-hak pribadi, seperti integritas tubuh, kebebasan kehormatan, dan lain-lain, serta ha-hak absolut, seperti hak-hak kebendaan, octroi, nama perniagaan, hak cipta, dan lain-lain.
2.      Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3.      Bertentangan dengan kesusilaan
Perbuatan yang dilakukan seseorang bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat.
4.      Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan oleh masyarakat.
Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok yaitu:
a)      Aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya.
b)      Aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingan.
D.    Perbuatan Bermanfaat
Perbuatan bermanfaat yaitu seseorang yang melakukan hal yang menguntungkan orang lain. Perikatan yang dilakukan seseorang  dan prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya berbuat atau memberi sesuatu kepada orang lain.[15] Sehingga dalam perbuatan bermanfaat tidak ada unsur yang dapat menyebabkan kerugian kepada orang lain.
Jika kita kaitkan dalam bidang muamalat maka seperti tidak diperblehkannya melakukan transaksi yang mengandung unsur sebagai berikut:
1.      Maysir
Arti harfiyahnya memperoleh sesuatu dengan sanat mudah tanpa kerja keras, atau mendapat keuntungan tanpa kerja keras. Singkatnya transaksi ini mengandung perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi. Karena dalam berjudi kita menggantungkan keuntungan hanya pada keberuntungan.[16]
2.      Gharar
Secara bahasa adalah khathr yaitu pertaruhan, majhul al-aqibah tidak jelas hasilnya, ataupun dapat juga diartikan sebagai Al-mukhatarah pertaruhan. Gharar adalah bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut gharar yaitu semua transaksi yang didalamnya mengandung unsur-unsur ketidakjelasan. Sehingga mengakibatkan atas hasil yang tidak pasti terhadap hak dan kewajiban dalam suatu transaksi.[17]
3.      Riba
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang perbankan syariah, disebutkan bahwa riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil), antara lain dalam transaksi penukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas. Dalam transaksi pinjam meminjam yang mensyaratkan penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu.[18]


E.     Syara’
Perikatan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’ alqur’an, hadits dan sunnah rasullah. Demikian objek akad tidak boleh bertentangan dengan syara’ apabila vertentangan maka akad itu dikatakan tidak sah.
Ketentuan syara’ juga bisa menimbulkan perikatan seperti ikatan pernikahan, atau antara anak dengan orang tua, suami dengan istri. Adanya hubungan hak dan kewajiban yang melekat didalamnya.
Sumber hukum perikatan dalam Islam berasal dari Alqu’an, Al-hadits dan Ijtihad, adapun perbuatan yang diakukan dalam perikatan tidak boleh dengan hal tersebut, yaitu:
1.      Al-Qur’an.
a.       Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
b.      Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu
c.       Hai orang-orang beriman penuhilah akad-akad itu.
2.      Hadits.
a.       Hadits Nabi Muhammad Saw diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Rasulullah Saw. Telah bersabda, “ janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibel oleh orang lain.
b.      Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim
Siapa saja yang melakukan jual beli salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran tertentu), timbangan tertentu, dan waktu tertentu.[19]


3.      Ijtihad.
Kedudukan Ijtihad dalam muamalat memiliki peran yang sangat penting hal ini disebabkan, sebagian besar ketentuan muamalat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits yang masih bersifat umum. Oleh karena ayat Alqur’an dan Hadis hukum yang menjadi objek ijtihad hanyalah yang bersifat dzanni.[20]
Dewan Syariah Nasional diantaranya mengeluarkan masalah-masalah yang berhubungan kegiatan keuangan, produk, jasa keuangan syariah.[21]


















DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet 8, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Dewi, Gemala, dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016.
Djuwani, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), Cet 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Komariah, Hukum Perdata, Malang: UMM Press, 2010.
Mas’adi, Ghufron A.,  Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet.1, Jakarta: Raja Grafindo, 2002.
Muhwan, Wawan,  Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Sahrani, Sohari dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Sahroni, Oni dan M. Hassanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad Dan Implementasinya Dalam Ekonomi Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2013.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dan Fikih Muamalat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Jurnal
Taufiq dan Ali Masjono, Hubungan Maysir Gharar dan Riba dengan Strategi Pembiayan Berbasis Syariah di Bank Muamalat Indonesia, Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IKWI, t.t.
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi, Al-Iqtishod: Vol. 1, No. 1, Januari 2009.
Rohmah, Umi, “Perikatan (Iltizam) Dalam Hukm Barat dan Islam”, Jurnal Al-‘Adl: Vol 7 No.2, Juli 2014



.
                                                                                




[1] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), hlm. 60.
[2] Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 45.
[3] Ibid., hlm. 248.
[4] Dimyauddin djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2008), hlm. 51.
[5] Oni sahroni dan M. Hasanuddin, fikih Muamalah Dinamika Teori Akad Dan Implementasinya Dalam Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 29.
[6]Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet.1, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hlm.77.
[7] Umi Rohmah, “Perikatan (Iltizam) Dalam Hukm Barat dan Islam”, Jurnal Al-‘Adl: Vol 7 No.2, Juli 2014, hlm. 5.
[8] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian, hlm. 61.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2013), hlm. 56.
[10] Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 51.
[11]Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 Tentang Janji (wa’d) dalam transaksi keuangan Bisnis Syariah.
[12]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian,  hlm.61.
[13] Wawan Muhwan, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 85.
[14] Ibid., hlm. 32.
[15]Komariah, Hukum Perdata, (Malang: UMM Press, 2010), hlm.140.
[16] Taufiq dan Ali Masjono, Hubungan Maysir Gharar dan Riba dengan Strategi Pembiayan Berbasis Syariah di Bank Muamalat Indonesia, (Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IKWI, t.t.), hlm.2.
[17]Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi, Al-Iqtishod: Vol. 1, No. 1, Januari 2009, hlm.2.
[18]Taufiq dan Ali Masjono, Hubungan Maysir Gharar dan Riba., hlm. 3.
[19] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), Cet 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 145.
[20]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet 8, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 81.
[21] Keputusan Dewan Syariah Nasional No. 01 Tahun 2000 Tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI)

0 Response to "Sumber Perikatan"

Post a Comment