Dasar Keberlakuan Hukum Perikatan Islam di Indonesia

Keberlakuan Hukum Perikatan Islam di Indonesia memiliki beberapa dasar dan landasan. Tema tersebut yang kemudian akan dibahas dalam artikel ini, namun tidak berhenti di situ, pembahasan juga dilanjutkan sampai pada kedudukan Hukum Perikatan Islam di Indonesia.

Suatu kenyataan hidup bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia akan hidup berdampingandan berkelompok lalu mengadakan hubungan antarsesamanya, untuk menciptakan keteraturan dalam suatu kelompok dibutuhkan aturan yang mengatur tingkah laku manusia, aturan tersebut dinamakan hukum, jadi hukum adalah aturan-aturan yang timbul dari pergaulan hidup manusia didalam kehidupan manusia juga banyak melakukan aktivitas dengan manusia lainnya untuk itu diperlukan suatu aturan yang mengatur hubungan manusia antar manusia yang lain yang disebut Hukum Perikatan Pada setiap kegiatan perekonomian,  niscaya tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah perjanjian. Hampir pada setiap kegiatan tersebut kita mendapati   adanya   perjanjian-perjanjian   diantara   para   pelaku   ekonomi tersebut.  Kita  sebut saja, perjanjian jual beli, sewa menyewa,  pemberian kuasa, pemberian jasa,  pemborongan  pekerjaan, perjanjian kerja, asuransi, lisensi, keagenan, dan masih banyak lagi. Dari semua kegiatan itu, tidak ada satupun yang terlepas dari jangkauan hukum. Salah satu hukum yang menjangkau semua kegiatan itu kita sebut Hukum Perjanjian (Contract Law) Dalam perkembangan perekonomian di Indonesia, tentunya memerlukan perangkat hukum nasional yang sesuai dengan hukum perikatan atau kontrak yang berkembang dinamis dalam masyarakat melengkapi perangkat perundang-undangan. Di Indonesia berbagai peratutran undang-undang dibuat oleh pemerintah Indonesia telah menggantikan sebagian kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum dagang. Naumun untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia maka ke dua kitab undang-undang itu masih digunakan sampai ada peraturan perundang-undangan yang baru untuk menggantinya.


Rumusan Masalah

Apa saja Dasar-Dasar Keberlakuan Hukum perikatan di Indonesia?

Bagaimana Kedudukan Hukum perikatan Islam dalam Tata Hukum Indonesia?


Dasar Filosofis berlakunya hukum perikatan


Menurut Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, ada dua hal besar yang mendasari berlakunya hukum perikatan islam, dasar pertama adalah akidah, yaitu keyakinan yang memaksa pelaksanaannya dalam transaksi, dasar kedua adalah syariah sepanjang mengenai norma-norma yang mempunyai dua dimensi transendental yang merupakan pertanggung jawaban manusia yang mengatur interaksi sosial diantara manusia yang dikenal dengan hablum minan nass. Keberlakuan hukum perikatan dalam kehidupan umat islam diakui dan dihargai oleh Undang-undang 1945 sebagai konstitusi Negara kita, pada pasal 29 memberikan kebebasan pelaksanaan ajaran agama bagi setiap penduduk Negara

Berbicara mengenai hukum perikatan maka kita dapat mengkaji kerangka dasar dalam islam yaitu akidah,syariah dan akhlak,pada bagian syariah diabgi menjadi 2 bidang yaitu ibadah dan muamalah yang termasuk pada bidang hukum penerapan Hukum Perikatan ini merupakan pelaksaan ibadah dalam arti luas bagi umat islam sebagaimana ditetapkan dalam bunyi pasal 29 UUD 1945 Sila Pertama.


Dasar Sosiologis Berlakunya Hukum Perikatan


Di Indonesia mayoritas penduduknya hadirnya Hukum Perikatan islam Di Indonesia hadir untuk mendukung pelayanan umat islam di Indonesia didalam melaksanakan Muamalat,khususnya dibidang Perniagaan dan kegiatan usaha selain itu perilaku bisnis dikalangan masyarakat relatif cepat berkembang kondisi ini jika tidak diimbangi dengan perangkat hukum yang memadai maka akan menjadi problem dalam kehidupan sosial dengan kemunculan  Hukum perikatan Islam diharapkan dapat menjadi sarana atau alat untuk membersamai kegiatan bisnis di dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa perkembangan cara masyarakat bermuamalah menjadi salah satu alas an mengapa Hukum Perikatan islan hadir


Dasar Yuridis Berlakunya Hukum Perikatan


Berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 umat islam dapat melaksanakan Perikatan sesuai dengan ketentuan mereka yang mereka yakini hal ini diartikan bahwa secara aturan konstitusi Negara memang mendukung adanya Hukum Perikatan islam selain itu ada UU No.10 tahun  1998 tentang Perbankan Syariah yang juga mendukung munculnya Hukum Perikatan sehingga dalam legislasinya pun Hukum Perikatan sudah diakui dan sudah dapat di praktikkan kedudukan Hukum perikatan semakin kuat setelah berlakunya UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah karena Hukum Perikatan sudah mendapatkan paying hukum.


 Kedudukan Hukum Perikatan Islam Dalam Tata Hukum Indonesia

Sebelum membicarakan mengenai kedudukan Hukum Periktan Islam di Indonesia, ada baiknya kita melihat kedudukan hukum islam di indonesia berdasarkan periode sejarah sebagai berikut:

Sebelum Kedatangan Belanda

Awal proses islamisasi kepulauan indonesia dilakukan oleh para saudagar dan perkawinan. Setelah agama islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar digantikan oleh para ulama sebagai guru dan pengawal hukum islam. Hukkum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakan tumbuh dan berkembang disampik kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami  kepulauan nusantara ini.

Setelah Kedatangan VOC

Masa VOC (1602-1800) berfungsi sebagai pedagang dan badan pemerintahan, karena dalam praktiknya susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum belanda tidak dapat berjalan. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. D. W. Freijer menyusun kompendium yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan islam yang digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa dikalangan umat islam. Selain itu ada kitab Hukum Mogharaer yang digunakan pada Pengadilan Negeri Semarang, dan Pepakem cirebon.

   Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda sikap terhadap hukum islam mulai berubah secara perlahan dan sistematis, yaitu sebagai berikut:

Pada masa Pemerintahan Belanda/Deandels (1808-1811) terdapat pemahaman umum bahwa "Hukum Islam adalah hukum asli orang pribumi".

Pada masa Pemerintahan Inggris/Thomas S. Raffles (1811-1816) juga terdapat anggapan bahwa "Hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah Hukum Islam".

 Setelah Indonesia kembali pada Belanda, ada usaha Belanda untuk menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia.

 Untuk mengekalkan kekuasaannya, Belanda melaksanakan politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. M. R. Scholten Van Oud Haarlem menyesuaikan Undang-Undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda. la berpendapat bahwa "untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan bahkan mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap orang Bumiputra & agama Islam, maka harus diikhtiarkan agar mereka dapat tetap dalam lingkungan Hukum Agama serta adat istiadat mereka". Pendapat ini menyebabkan: Pasal 75 KR/Regering Reglement menjadi dasar bagi Pemerintahan Belanda menjalankan kekuasaannya di Indonesia, dengan menginstruksikan pengadilan untuk menggunakan Undang-Undang Agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan mereka bila golongan Bumiputra yang bersengketa selama Undang-Undang Agama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan umum. Pasal 78 (2) RR mendorong Pemerintah Hindia Belanda men-dirikan Pengadilan Agama (Pries terrad/Pengadilan Pendeta) di Jawa dan Madura yang direalisasikan pada tahun 1882 dengan dikeluarkannya S. 1882 No. 15

Pada masa abad ke-19 berkembang pendapat, bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam, yaitu antara lain dikemuka-kan oleh Salomon Keyzer. Kemudian diperkuat oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg berpendapat, bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku bagi-nya. Pendapatnya dikenal dengan teori Receptio in Complexu yaitu orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan.Cristian Snouck Hourgronje menentang teori Receptio in Complexu, dan berpendapat, bahwa yang berlaku bagi orang Islam bukanlah Hukum Islam tetapi Hukum Adat. Dalam Hukum Adat telah masuk pengaruh Hukum Islam tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum bila telah benar-benar diterima oleh Hukum Adat (berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Gayo). Pendapat ini dikenal dengan Theorie Receptie yang diikuti oleh Cornells Van Vollenhoven dan Bertrand Ter Haar.

Melalui Theorie Receptie ini Belanda mulai membiasakan penggunaan Hukum Belanda di Indonesia terutama di bidang hukum perikatan, dengan jalan mengeluarkan Hukum Islam bidang perikatan dari aktivitas perdagangan karena dianggap tidak lagi berlaku di Indonesia.

Setelah Indonesia Medeka

Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia terbagi dalam dua periode yaitu: a) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif; b) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif. Sumber persuasif ialah sumber yang terhadapnya orang hams yakin dan menerimanya, sedang sumber otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (autority).

a)      Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif

Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945 walaupun di dalamnya tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta maka teori resepsi kehilangan dasar hukum-nya. Sebab, dasar hukum teori resepsi adalah Pasal 134 (2) Indische Slants Regeling (IS), sedangkan dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku lagi. Teori ini mendapat kritikan dari para ahli Hukum Islam di Indonesia, antara lain oleh Hazairin dan Sajuti Thalib yang berpendapat, bahwa Hukum Adat baru berlaku bila tidak bertentangan dengan Hukum Islam . Menurut Hazairin, teori resepsi bertujuan politik yaitu: untuk menghapuskan Hukum Islam di Indonesia dan mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan pemerintah kolonial yang dijiwai oleh Hukum Islam.UUD 1945, Aturan Peralihan Pasal II memang menyatakan, "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Namun demikian, dasar hukum yang di-tetapkan oleh suatu Undang-Undang Dasar yang sudah tidak berlaku, tidak dapat dijadikan dasar hukum suatu Undang-Undang Dasar baru.Setelah berlakunya UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal29 UUD 1945. Sejak ditandatanganinya kesepakatan antara para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada tanggal 22 Juni 1945 sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden RI pada tanggal 5 Juli 1959, ketentuan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" adalah sumber persuasif. Sebagaimana halnya semua hasil sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah sumber persuasif bagi UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI juga merupakan sumber persuasif UUD 1945.

b)      Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif

Barulah dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka Piagam Jakarta yang mengandung penerimaan terhadap Hukum Islam menjadi sumber otoritah/dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekadar sumber persuasif.Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pendahuluan dalam suatu konstitusi dan konsiderans (pertimbangan) dalam suatu peraturan perundang-undangan. 

Sebagaimana kita ketahui, semula Piagam Jakarta adalah pembuka-an rancangan UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dalam konsiderans Dekrit Presiden ditetapkan, "Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut".


Politik hukum negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan Hukum Agama dalam kehidupan Hukum Nasional. Dengan berpangkal pada teori Friederich Julius Stahl dan Hazairin, Tahir Azhary, mengemukakan teori "lingkaran Konsentris" yang menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama, Hukum, dan Negara pancasila adalah sumber hukum dari hukum nasional Indonesia dalam hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan pancasila berlaku hukum agama dan toransi antar umat beragama dalam bermasyarakat,berbangsa dan bernegara hal ini sesuai dengan nilai sila pertama.

Menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945  sistem hukum nasional yang berlaku sekarang ini berasal dari beberapa sistem Hukum yaitu:

  • Hukum Islam
  • Hukum Produk Kolonial
  • Hukum Adat dan
  • Hukum Produk Legislasi Nasional 


Sistem pembentukan hukum nasional yang dipilih adalah sistem unifikasi daripada sistem diferenisasi hal ini disebabkan karena adanya keragaman etnik dalam Masyarakat yang mengakibatkan adanya keberagaman hukum, namun sistem diferensiasi masih digunakan untuk hukum nasional karena adanya luralitas agama yang dianut.

Walaupun, dalam sistem hukum nasional tidak diatur mengenai hukum perikatan secara nasional, hukum perikatan islam dapat berlaku atas dasar pengakuan secara diferensiasi ataupun melalui pilihan hukum atas kehendak para pihak pada saat bertransaksi akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum islam termasuk hukum perikatan islam, setelah Indonesia merdeka sudah lebih kokoh tanpa dikaitkan dengan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan hukum nasional yang berprinsip sebagai berikut:

  1. Hukum islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat.
  2. Republic wajib mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum islam sepanjang hukum itu hanya berlaku bagi pemeluk agama islam.
  3. Kedudukan hukum islam dalam sistem hukum Indonesia sama dan sederajat denga hukum adat dan hukum barat.
  4. Hukum islam menjadi sumber pembentukan hukum nasional disamping hukum adat, hukum barat, dan hukum lainnya yang tumbuh dan berkembang di Negara republic Indonesia.


Perbedaan Pokok antara Hukum Perjanjian Islam, Hukum Perjanjian Barat, dan Hukum Perjanjian Adat

Perbedaan Hukum Perikatan Islam, Konvensional dan Adat






Kesimpulan dari hukum perikatan Islam itu sendiri ialah akad perjanjian yang menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak, dan hak bagi pihak yang lain atas prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi. Kewajiban bagi salah satu pihak merupakan hak bagi pihak lain, begitu sebaliknya.

Secara umum hukum perikatan Islam yang berlaku dalam tata hukum Indonesia didasari dengan rekam jejak yamg sudah dipraktikkan dari dahulu, masyarakat sosial Indonesia yang mayoritas muslim, iktikad mempraktikkan ajaran agama serta perundang-undangan yang sudah mengatur. 

Kaitannya dengan peraturan yang memperkuat kedudukan Hukum Perikatan menjadi otoritatif ialah Pasal 29 UUD 1945, serta peraturan turunan tentanf Lembaga Keuangan Syariah.

Perbedaan pokok antara Hukum Perikatan Islam, Hukum Perikatan Perdata Barat, Hukum Perikatan Adat dalam beberapa aspek yaitu, dilihat dari segi aspek landasan folosofisnya, dari segi sifatnya, ruang lingkupnya, proses terbentuknya, sahnya perikatan, sumber dari hukum perjanjian tersebut.

Dengan demikian Hukum Perikatan Islam telah memiliki dasar yang kuat hungga berlaku di Indonesia dengan berkekuatan hukum tetap.



Beberapa Referensi yang dapat Anda koleksi di bawah ini:


Mu’adil Faizin,”Hukum Perikatan Islam Di Indonesia”,(Lampung: Pustaka Warga Pers, 2020)


Gemala Dewi,Wirdiyaningsih,Yeni salma, Barlinti, “hukum perikatan islam di Indonesia”,(Jakarta: Kencana, 2005) 


Diktat Hukum Perikatan Islam


Hukum Perjanjian Islam di Indonesia


Hukum Perjanjian Syariah





 

Peminjam Aksara Seorang penulis, blogger, esais, dan pendidik yang berkebangsaan Indonesia

0 Response to "Dasar Keberlakuan Hukum Perikatan Islam di Indonesia"

Post a Comment